Setelah Kepercayaan Masuk Kolom Agama KTP

23 November 2017 15:49 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
7 November 2017. Hari yang biasa-biasa saja itu berubah menjadi hari bersejarah bagi para penghayat kepercayaan di seluruh Indonesia. Hari itu, Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan uji materi yang dilayangkan para penghayat kepercayaan terkait sejumlah pasal diskriminatif dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.
ADVERTISEMENT
Putusan MK mengabulkan permohonan uji materi itu bernilai penting, utamanya karena menyangkut pengakuan atas hak-hak sipil para penghayat kepercayaan di Indonesia. Hal tersebut sekaligus mengisyaratkan bahwa negara wajib mengakui keberadaan sekaligus menjamin hak-hak para penghayat aliran kepercayaan di Indonesia.
Dengan demikian, kini paling tidak, para penghayat kepercayaan berhak mencantumkan aliran kepercayaan mereka pada kolom agama di Kartu Tanda Penduduk Elektronik (e-KTP) maupun Kartu Keluarga (KK).
Salah satu anggota presidium Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia (MLKI), Suprih Suhartono, menyatakan dengan adanya putusan MK, kedudukan agama dan aliran kepercayaan menjadi dua entitas yang setara.
“Kami bisa menuliskan kepercayaan kami seperti halnya saudara-saudara kami yang lain, di kolom KTP”, ujar Suprih kepada kumparan, Selasa (21/11).
Gedung Mahkamah Konstitusi. (Foto: Ferio Pristiawan/kumparan)
Putusan MK jelas bersifat mengikat. Artinya, pemerintah punya kewajiban untuk mematuhinya. Namun, seperti halnya produk-produk hukum lain, putusan MK ini tetap memiliki ruang interpretasi yang dapat diterjemahkan pemerintah sesuai konteks politik yang sedang berlangsung.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, secara politis nasib para penghayat kepercayaan sebenarnya masih mengambang, sampai pemerintah secara resmi mengeluarkan kebijakan atau peraturan yang bersifat implementatif. Maka persoalan tentang bagaimana putusan MK diterjemahkan pemerintah dalam tataran praktis, agaknya menjadi persoalan yang penting untuk diperhatikan.
Engkus Ruswana dari MLKI membenarkan hal tersebut. “Ini kan sedang diskusi di mana-mana, karena pemerintah juga mau mendengar semua pihak. Dari Hindu, Kristen, Katolik, Buddha, Islam. Semua majelis keagamaan dan organisasi keagamaan juga diminta pendapatnya. Otomatis pendapat akan beragam. Kami masih harap-harap cemas juga. Meskipun sebagian besar mendukung, tapi di pemberitaan ada juga warga yang kontra terhadap putusan tersebut.”
Engkus pun cemas bila ada pihak-pihak tertentu yang mendesak pemerintah untuk tidak mematuhi amar putusan MK. Menurut dia, ada pihak yang ingin agar urusan ini ditangguhkan, bahkan ada pula yang menggelontorkan ide agar para penghayat kepercayaan diberi KTP berbeda--yang artinya: diskriminasi tiada henti.
ADVERTISEMENT
“Kelihatannya ada kelompok-kelompok yang ingin keputusan ini tidak dilakukan. Yang satu ingin menunda supaya putusan tidak dilaksanakan. Yang kedua politik pembedaan lewat pembuatan Kartu Tanda Penduduk khusus untuk para penghayat kepercayaan. Kalau model begitu ya sama saja kami tetap didiskriminasi,” ujar Engkus.
Sampai saat ini, berdasarkan keterangan Direktur Jederal Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri, Zudan Arif Fakrulloh, pihaknya bersama instansi-instansi terkait, yaitu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian Agama, masih membahas rencana teknis implementasi putusan MK tersebut.
e-KTP. (Foto: Antara/Ardiansyah)
Salah satu persoalan penting yang langsung menjadi topik pembahasan adalah bagaimana para penghayat menuliskan kepercayaan mereka di kolom agama e-KTP.
Sejauh ini Kemendagri telah mewacanakan setidaknya tiga opsi pengisian kolom agama di e-KTP. Pertama, mencantumkan tulisan “Kepercayaan Terhadap Ketuhanan Yang Maha Esa”. Kedua, menuliskan “Penghayat Kepercayaan”. Ketiga, menuliskan secara spesifik nama masing-masing aliran kepercayaan ke kolom agama e-KTP.
ADVERTISEMENT
Dari ketiga opsi di atas, menurut Zudan, pihaknya lebih menyukai opsi untuk menuliskan keterangan “Kepercayaan Terhadap Ketuhanan Yang Maha Esa” atau “Penghayat Kepercayaan”, dibanding opsi menuliskan masing-masing nama aliran kepercayaan yang jumlahnya mencapai 187 aliran itu.
Menurutnya, opsi menuliskan nama masing-masing aliran kepercayaan secara spesifik di kolom agama e-KTP berpotensi menimbulkan masalah. Problem potensial misalnya apabila di kemudian hari, aliran kepercayaan itu bermasalah sehingga dibubarkan, maka pengikutnya terpaksa harus mengubah KTP lagi.
Suprih mengatakan, pihaknya mengusulkan kepada Kemendagri agar keterangan yang tercantum pada kolom agama e-KTP para penghayat kepercayaan diisi dengan keterangan “Kepercayaan terhadap Ketuhanan Yang Maha Esa”. Ide tersebut disepakati oleh aliran-aliran kepercayaan yang tergabung dalam MLKI.
Menurut Engkus, selama ini para penghayat memang percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, sehingga kepercayaan itu sudah seharusnya dicantumkan pada kolom agama e-KTP.
ADVERTISEMENT
“Kalau menuliskan penghayat di kolom KTP kurang tepat. Penghayat itu kan orangnya. Pemeluk agama lain pun tidak ditulis di kolom KTP sebagai pemeluk Hindu, Kristen, atau Buddha. Tapi kan yang ditulis nama agama atau kepercayaannya. Jadi buat kami, ‘penghayat’-nya nggak usah disebutkan,” kata dia.
Sembahyang Purnama Tilem penghayat kepercayaan. (Foto: Riddho Robby/kumparan)
Penulisan “Kepercayaan terhadap Ketuhanan Yang Maha Esa”--kalimat yang secara eksplisit mengacu pada sila pertama Pancasila--pada kolom agama e-KTP juga dapat menghindari perdebatan bersifat sektarian di kemudian hari, yang dapat menyudutkan aspek ketuhanan para penghayat kepercayaan.
Kalimat tersebut, paling tidak, membuat alasan-alasan untuk mendiskreditkan atau mendiskriminasi para penghayat kepercayaan menjadi tak relevan.
Sementara apabila pilihan jatuh ke opsi-opsi lain, yaitu dengan menuliskan keterangan “Penghayat Kepercayaan” atau mencantumkan spesifik aliran kepercayaan yang dianut, maka para penghayat kepercayaan dikhawatirkan masih rentan mengalami tindakan diskriminatif.
ADVERTISEMENT
Asumsi itu muncul atas dasar pengalaman selama ini, bahwa para penghayat kepercayaan sering dilabeli “sesat” oleh sebagian masyarakat. Dan tentu saja, putusan MK atau tindak lanjut pemerintah atasnya melalui revisi Undang-Undang, tak serta-merta dapat mengubah cara pandang stigmatis segelintir masyarakat terhadap para penghayat kepercayaan.
Sebab untuk mengubah paradigma berpikir, tak cukup dengan sekadar mengeluarkan aturan bersifat legal formal, namun harus melalui pembinaan kesadaran yang dilakukan secara terus-menerus. Ini jelas membutuhkan waktu relatif lama.
Sementara untuk opsi ketiga Dukcapil Kemendagri, yakni menuliskan secara spesifik nama masing-masing aliran kepercayaan ke kolom agama e-KTP, persoalan administratif perlu dicermati. Sebab jika organisasi atau aliran kepercayaan tertentu bubar, akan cukup merepotkan bila para pengikutnya harus kembali mengubah e-KTP, seperti disinggung di atas.
ADVERTISEMENT
Para Penghayat Ajaran Leluhur (Foto: Ridho Robby/kumparan)
Selama ini, akibat pasal-pasal diskriminatif dalam Undang-Undang Administrasi Kependudukan, para penghayat kepercayaan terpaksa harus memilih: mengosongkan kolom agama di KTP mereka, atau melakukan apa yang oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat diistilahkan sebagai “penipuan publik” yakni mengaku sebagai penganut dari salah satu dari enam agama yang diakui negara.
“Menipu publik” dengan mengaku menganut agama lain, memang tak soal secara administratif. Berbeda dengan mengosongkan kolom agama pada KTP. Sebab dengan mengosongkan kolom agama, ujar Suprih, banyak penghayat kepercayaan memperoleh stigma dari masyarakat.
Oleh sebab itu, putusan MK sesungguhnya membuat para penghayat kepercayaan akhirnya memperoleh kesetaraan, seperti yang selama ini diperoleh para pemeluk agama lain yang diakui pemerintah.
Hingga saat ini, para penghayat kepercayaan masih menunggu bagaimana pemerintah akan menindaklanjuti putusan MK tersebut. Mereka tak ingin lagi menerima cibiran dan pandangan sinis bak komunis dan ateis, karena kolom agama di KTP kosong.
ADVERTISEMENT