Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten dari Pengguna
Pembenahan Partai Politik Sebagai Solusi Pemberantasan Korupsi
10 Desember 2019 21:42 WIB
Tulisan dari Agun Gunandjar Sudarsa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Isu pemberantasan korupsi di Indonesia selama ini terlalu didominasi oleh perspektif hukum dan administrasi, meskipun merupakan salah satu sisi yang penting dari upaya pemberantasan. Padahal dalam banyak kasus, ditemukan adanya relasi antara tindakan korupsi dengan aspek politik, terutama partai politik sebagai institusi penting dalam sistem politik yang demokratis.
ADVERTISEMENT
Perlu dipahami bahwa perspektif hukum tidak cukup lagi untuk memberantas korupsi. Mengingat korupsi akan selalu berhubungan dengan modal yang memasuki dan terintegrasi ke dalam institusi penyelenggaraan negara secara massif. Sehingga pada akhirnya pembahasan tentang korupsi juga harus melihat keterkaitannya dengan aspek politik, seperti demokrasi, pemilu dan partai politik.
Indonesia menganut sistem demokrasi yang menempatkan kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat. Rakyatlah yang membentuk pemerintahan, ikut menyelenggarakan pemerintahan, dan menjadi tujuan utama penyelenggaraan pemerintahan Negara. Pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat yang demikian itulah disebut dengan sistem demokrasi. Hal itu sebagaimana yang tercantum dalam pasal 1 ayat (2) UUD 1945 : “kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan melalui Undang undang dasar”
ADVERTISEMENT
Untuk menjalankan mekanisme demokrasi tersebut, maka di dalam konstitusi juga diatur tentang keberadaan pemilu. Pemilu yang diselenggarakan setiap lima tahun sekali merupakan mekanisme sirkulasi elit baik itu di eksekutif maupun legislatif di pusat maupun daerah, sekaligus juga menjadi ukuran apakah negara itu telah demokratis atau tidak. Di dalam proses penyelenggaraan pemilu itu, juga menghadirkan partai politik sebagai pilar utama demokrasi.
Keberadaan partai politik adalah penting karena demokrasi mensyaratkan wewenang warga untuk memerintah dan menjadi bagian dari hak warga berpartisipasi menentukan kebijakan publik dan pemimpinnya. Para pakar politik setidaknya merangkum beberapa fungsi penting partai politik di dalam demokrasi, antara lain: artikulasi dan agregasi kepentingan, pendidikan politik, kaderisasi, dan rekrutmen.
Peran sentral partai politik
ADVERTISEMENT
Semenjak era reformasi tahun 1999, peran dan kedudukan partai politik semakin menguat. Partai politik tidak lagi hanya sebagai boneka dan perpanjangan tangan penguasa seperti di masa Orde Baru, tetapi sudah menjadi pemegang peranan sentral hampir di semua proses kehidupan berbangsa.
Berdasarkan konstitusi, partai politik menjadi kendaraan satu-satunya dalam Pemilihan Umum Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres), serta menjadi pengusung calon kepala daerah dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada). Pembentukan dan pengisian lembaga-lembaga negara juga sangat ditentukan oleh apa maunya partai politik melalui fraksi-fraksi di DPR, sebut saja misalnya, seleksi untuk anggota Komisi Yudisial (KY), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan sebagainya.
Namun dengan peran yang semakin kuat itu, selama lima kali pemilu yang diselenggarakan di era reformasi sejak tahun 1999, partai politik belum mampu menjalankan peran dan fungsi sebagaimana mestinya. Partai politik malah berkubang dalam berbagai permasalahan, terutama terkait citranya yang lekat dengan tindakan korupsi. Perkembangan demokrasi sampai saat ini malah membuat korupsi makin masif baik di pusat maupun daerah, dan mayoritas pelakunya adalah para elit politik dan kepala daerah. Bahkan korupsi juga menyertakan pihak swasta.
ADVERTISEMENT
Berbagai Jajak pendapat yang dilakukan oleh berbagai lembaga juga mengonfirmasi betapa belum berjalannya fungsi partai politik secara baik, selaku pilar demokrasi. Jejak pendapat yang dilakukan Indo Barometer pada 2017 lalu, menunjukkan tingginya tingkat ketidakpercayaan masyarakat terhadap partai politik, karena sebanyak 51,3 persen masyarakat menganggap partai politik berkinerja buruk. Dari survei itu, dijelaskan bahwa masyarakat semakin tidak percaya kepada partai karena banyak kader partai yang terjerat kasus hukum, terutama korupsi. Besarnya ketidakpercayaan itu juga berdampak terhadap tingkat kedekatan masyarakat kepada partai yang semakin rendah. Sebanyak 62,9 persen masyarakat merasa tidak dekat dengan partai.
Hasil survei Indo Barometer terkait rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap partai politik itu, seirama dengan survei yang dilakukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menjelang Pemilu 2019. Hasil survei LIPI itu menunjukkan kinerja lembaga demokrasi seperti partai politik memperoleh penilaian terendah sebagai institusi berkinerja baik, yaitu sebesar 13,10 persen.
ADVERTISEMENT
KPK sebagai lembaga superbody diharapkan mampu untuk memberantas praktik koruptif dalam penyelenggaraan pemerintahan di pusat dan daerah sejak didirikan tahun 2002, ternyata tidak bisa secara maksimal menghilangkan korupsi. Korupsi masih saja marak serta makin menggurita, dan menurut data sejak 2004 sampai 2019 sudah 124 kepala daerah yang notabene para politisi terjerat kasus korupsi.
Korupsi, baik yang dilakukan secara individu maupun kolektif untuk kepentingan partai politik, merupakan fenomena yang marak sejak reformasi bergulir. Selain itu kasus-kasus skandal korupsi partai politi juga makin marak dengan melibatkan individu-individu di pemerintahan. Maraknya fenomena ini tidak lain disebabkan karena partai politik belum bisa menjadi institusi yang baik sebagai pilar demokrasi.
Parpol hari ini belum mampu menjadikan sebuah institusi yang menghadirkan sosok-sosok pemimpin yang bisa berfikir bagaimana menyejahterakan rakyat. Begitu pula jalannya pemerintahan yang sebagian besar tidak terlepas dari peran partai politik, juga belum mampu membawa ke arah pemerintahan efektif yang berujung pada meningkatnya kesejahteraan rakyat. Kita lihat saja pertumbuhan ekonomi kita yang masih stagnan di angka 5 persen, dan peringkat ekonomi kita belum beranjak dari middle income trap (jebakan negara berpendapatan menengah).
ADVERTISEMENT
Jadi, bisa dikatakan bahwa partai poitik dengan wewenang yang begitu besar di era reformasi ini, belum mampu menopang penyelenggaraan pemerintahan efektif yang mengurus kepentingan rakyat. Hal itu terjadi, karena figur-figur yang dihasilkan partai tidak memiliki sebuah tekad kuat untuk mewujudkannya, atau tidak berdaya karena partai politik sudah sangat bermasalah.
Politik biaya tinggi
Kita tidak bisa menutup mata bagaimana faktor politik biaya tinggi baik dalam pemilu legislatif, pemilu eksekutif di pusat maupun di daerah, menjadi faktor destruktif bagi partai politik sebagai pilar demokrasi. Biaya politik yang tinggi membuat begitu rentannya para politisi terjerat korupsi. Sehingga membuat politik pemberantasan korupsi menemui jalan buntu.
Seperti kita ketahui, dalam arena pilkada, pengeluaran calon pimpinan daerah tidak berhenti hanya sampai operasional kampanye dan Pilkada semata, lebih awal dari itu adalah biaya yang harus dikeluarkan kepada partai politik, yang biasanya dikenal dengan “mahar politik”. Istilah ini mengacu pada “pembebanan kewajiban oleh partai politik/gabungan partai politik kepada seorang bakal calon untuk mengeluarkan sejumlah biaya sebagai syarat untuk mendapat dukungan atau syarat untuk dapat maju dalam pemilihan”.
ADVERTISEMENT
Dalam aturan,UU No. 10 Tahun 2016, pasal 40 ayat 1 disebutkan bahwa partai politik/gabungan partai politik dapat mencalonkan kandidat apabila mendapat 25% suara atau 20% kursi dari jumlah keseluruhan kursi di DPRD bersangkutan, dan bakal calon harus mendapatkan persetujuan dari DPP masing-masing partai yang mengusulkan. Di sinilah umumnya transaksi ‘mahar politik’ terjadi, sebagaimana yang diindikasikan KPU. Bahkan, penelitian KPK terhadap 286 kepala daerah yang kalah dalam Pilkada 2015 menyebutkan bahwa mahar politik merupakan komponen pengeluaran biaya terbesar dari seorang kandidat, dan angkanya melebihi Rp. 2 milyar.
Besarnya kebutuhan dana membuat rawan terjadinya praktek korupsi dan makin sulit terlaksananya prinsip tata kelola pemerintahan yang efektif, karena gaji ketika mereka terpilih nantinya tidak sebanding dengan pengeluaran untuk Pemilu. Seperti yang dilaporkan KPK dalam kajiannya terkait pendanaan Pilkada 2015, bahwa sebanyak 51,4% responden politisi mengeluarkan dana kampanye melebihi harta kas (uang tunai, tabungan, dan deposito). Bahkan, 16,1% mengeluarkan dana kampanye melebihi total harta yang mereka cantumkan dalam laporan harta kekayaan penyelenggara negara. Selain itu, 56,3% responden mengatakan tahu bahwa donatur kampanye mengharap balasan saat calon kepala daerah terpilih. Sebanyak 75,8 persen responden mengatakan akan mengabulkan harapan donatur. Sebanyak 65,7 persen donatur menghendaki kemudahan perizinan usaha dari calon kepala daerah ataupun anggaran di daerah). Kecenderungan ini jelas mengarah pada korupsi, dimana pada caleg akan mengupayakan agar investasinya selama pemilu bisa kembali dalam waktu cepat selama ia menjabat.
ADVERTISEMENT
Jadi, maraknya mahar politik itu tidak lain disebabkan oleh pembiayaan yang tinggi di arena politik. Sehingga tidak heran jika partai melakukan jalan pintas seperti berkolaborasi dengan para pemodal dan penguasa, sehingga fungsi rekrutmen yang seharusnya terbuka bagi semua kalangan yang memiliki integritas dan kompetensi menjadi didominasi kalangan pemilik modal dan penguasa. Padahal, proses rekrutmen dan kaderisasi dalam demokrasi dapat diibaratkan seperti bercocok tanam untuk mendapatkan hasil yang unggul, yang juga harus diikuti dengan memilih, menanam dan mengolah bibit itu secara unggul pula.
Realitas politik seperti minimnya sumber pendanaan dan menguatnya pragmatisme dan politik transaksi, pada akhirnya menimbulkan kencenderungan partai untuk memberikan dukungan kepada kandidat dari eksternal partai (non kader) demi memenuhi kebutuhan akan dana operasional dan biaya kompetisi politik yang besar. Selain itu, komposisi pendanaan yang secara dominan dikuasai elit politik dan pengusaha akan menciptakan struktur kebijakan yang oligarkis. Partai politik dan kandidat sebagai aktor utama kebijakan publik akan lebih mudah dikontrol oleh kekuataan oligarkis.
ADVERTISEMENT
Jeffrey A. Winters dalam bukunya bertajuk Oligarchy menempatkan oligarki dalam dua dimensi. Dimensi pertama, oligarki dibangun atas dasar kekuatan modal kapital yang tidak terbatas, sehingga mampu menguasai dan mendominasi simpul-simpul kekuasaan. Dimensi kedua, oligarki beroperasi dalam kerangka kekuasaan yang menggurita secara sistemik.
Akibat dari oligarki tersebut, partai politik menjadi semakin tak mampu menjalankan peran dan fungsi secara mandiri karena terkooptasi oleh kekuatan modal atau oligarki. Partai akan sangat mudah dikontrol oleh kekuatan pemodal, sehingga fungsi penting terutama dalam hal rekrutmen, menjadi lemah. Maka tidak heran jika dalam konteks mengusung calon anggota legislatif atau calon kepala daerah, partai politik cenderung mengistimewakan figur-figur yang dinilai memiliki modal dan kekuasaan.
Kondisi tersebut amat berbahaya dan menyuburkan tindakan korupsi, karena determinasi kekuatan uang dalam politik di Indonesia (negara yang sedang transisi politik dengan fragmentasi yang cukup tinggi) menimbulkan ketergantungan yang besar pada kuasa ekonomi. Hal itu dapat menimbulkan kooptasi langsung maupun tidak langsung terhadap kekuasaan politik. Fenomena ini kelak diwarnai dengan penguasaan struktur atau pos anggaran tertentu dalam pemerintahan untuk posisi kaum pemodal yang secara tidak langsung juga memberikan kekuasaan politik untuk mengakumulasikannya. Selain itu, komposisi pendanaan yang secara dominan dikuasai elit politik dan pengusaha akan menciptakan struktur kebijakan yang oligarkis. Partai politik dan kandidat sebagai aktor utama kebijakan publik akan lebih mudah dikontrol oleh kekuataan oligarkis.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, salah satu pembenahan partai politik di Indonesia demi memberantas korupsi adalah dengan mengeliminasi faktor politik biaya tinggi. Selama faktor itu belum diselesaikan, maka jangan berharap korupsi bisa diatasi dan dihilangkan.Dengan adanya politik biaya tinggi, maka partai politik juga akan semakin tidak demokratis, bahkan semakin oligarki, karena dikuasai dan dikendalikan oleh para pemodal, orang-orang kaya, dan penguasa.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Pasca reformasi kita menyaksikan terjadinya penguatan kewenangan partai politik. Berbeda dengan era Orde Baru, di mana partai politik hanya sebagai boneka penguasa, di era reformasi kewenangan partai politik begitu besar hampir di semua proses kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kekuasaan yang besar ini tentu saja diikuti dengan kebutuhan partai yang besar pula untuk menjalankan fungsinya, terutama untuk mempertahankan keberadaannya dan mengupayakan berbagai cara untuk memenangkan pertarungan elektoral. Namun sayangnya, besarnya pengeluaran ini tidak dibarengi dengan pendapatan atau pemasukan yang memadai.
ADVERTISEMENT
Pendapatan partai politik sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang partai politik , mencakup lima sumber, yaitu iuran anggota, sumbangan perseorangan anggota, sumbangan perseorangan bukan anggota, sumbangan badan usaha, dan subsidi Negara. Subsidi negara yang diharapkan dapat menjadi pendapatan yang memadai bagi operasional partai, ternyata belum memadai demi menjaga berlangsungnya fungsi partai selaku pilar demokrasi.
Padahal, solusi membenahi parpol agar mandiri, di tengah biaya politik yang makin tinggi ini adalah kehadiran negara melalui subsidi yang memadai. Sesungguhnya pendanaan parpol yang relatif lebih baik pernah dilakukan pada masa reformasi, di saat pemerintahan Abdurahman Wahid (Gus Dur), melalui PP 51 tahun 2001 tentang Bantuan Keuangan Kepada Partai Politik, yang besarnya Rp 1.000 per suara. Angka subsidi untuk partai politik itu cukup besar bila melihat APBN kita waktu itu yang hanya sekitar Rp 1.400 triliun.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, di era Susilo Bambang Yudhoono (SBY) melalui PP 29 Tahun 2005, subsidi dana parpol diubah hanya sebesar Rp 108 per suara. Akibatnya parpol mengalami kesulitan keuangan, dan menjadi sulit untuk mandiri dalam melakukan fungsinya. Maka tidak heran jika pasca 2004 partai politik berlomba-lomba masuk ke pemerintahan dan membentuk kartel politik. Akibatnya parpol cenderung transaksional dan pragmatis, serta mengenyampingkan idiologi dalam perjuangannya.
Kita bersyukur, pada tahun 2018 pemerintah menyadari akan kondisi itu, dengan dikeluarkannya PP 1 tahun 2018 yang mengembalikan besarnya subsidi untuk partai per suara sebesar Rp 1.000. Namun, negara perlu mengkaji dengan serius antara besaran subsidi dengan aspek proporsionalitas terhadap postur APBN kita. Mengingat tidak masuk akal kalau kita ingin membangun partai yang bermartabat, bersih, dan mandiri, jika negara hadir hanya memberikan Rp 130 miliar per tahun untuk 9 partai politik (Dengan asumsi suara sah pemilu 2019 sebesar 130 juta). Padahal postur APBN kita saat ini sebesarRp 2.300 triliun. Bagaimana mereka bisa melakukan kaderisasi, musyawarah daerah, pendidikan politik, dan sebagainya dengan dana minim? Maka tidak heran jika proses pencalonan marak korupsi. Apa kita tidak mau untuk maju karena selalu berkutat di masalah korupsi politik itu saja?
ADVERTISEMENT
Penulis adalah orang yang selalu konsiten di setiap forum rapat di DPR terkait dana partai yang ideal, walau belum ada kajian yang kredibel terkait kebutuhan partai politik dalam menjalankan fungsinya. Tapi kalau kita asumsikan misalnya anggaran subsidi parpol itu ditingkatkan dari Rp 1.000 menjadi Rp 10.000 per suara, maka sesungguhnya negara sudah memiliki kemauan untuk membenahi partai politik.
Walaupun jika dilihat total subsidinya yaitu Rp 1,3 triliun, angka yang relatif kecil dibandingkan dengan postur APBN kita saat ini sebesarRp 2.300 triliun. Namun dengan bantuan yang lebih besar itu, kita bisa memberikan harapan parpol yang mandiri dan bisa menjauhkan diri dari pendanaan ilegal yang berujung korupsi.
Tak kalah penting, memastikan partai politik sebagai pilar demokrasi harus kembali kepada falsafah demokrasi, dimana pengambilan keputusan harus dilakukan melalui mekanisme kolektif-kolegial. Sehingga meminimalisir terjadinya praktik oligarki dalam kepengurusan partai. Mengingat kepartaian yang teroligarki itu dapat menimbulkan kooptasi langsung maupun tidak langsung terhadap kekuasaan politik, yang pada akhirnya akan menciptakan struktur kebijakan publik yang mudah dikontrol oleh kekuataan oligarkis.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, dalam menjalanakan fungsi agregasi dan mengartikulasi aspirasi masyarakat untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat, parpol harus semakin dekat dengan rakyat, dan tidak elitis. Secara umum, partai-partai era reformasi masih dicirikan oleh rendahnya kemauan dan kemampuan profesional mereka dalam membentuk serta memelihara konstituen. Sebagian besar partai mendekati masyarakat manakala mereka membutuhkan suara dukungan dalam pemilu. Padahal, korupsi politik memiliki hubungan erat dengan partai politik. Samuel Huntington pernah mengatakan bahwa makin lemah dan kian tidak diterimanya partai politik oleh publik, maka makin besar kemungkinan terjadinya korupsi politik.
Saat ini ada kecenderungan bagaimana partai-partai dalam menyelenggarakan acara seperti Munas lebih memilih di hotel-hotel mewah ketimbang di tempat yang dekat dan terbuka bagi rakyat untuk berpartisipasi. Ke depan seharusnya acara kepartaian seperti Munas atau kongres sekalipun lebih mendekat kepada rakyat yang adalah akar demokrasi, seperti di lapangan terbuka, sehingga membuka peluang rakyat berpartisipasi dan menyaksikan.
ADVERTISEMENT
Kedekatan antara partai dengan rakyatnya adalah penting, karena jika hubungan itu menjauh atau bersifat labil, situasi ini berpengaruh terhadap perkembangan partai politik, sehingga arah hubungan lebih banyak dipengaruhi dari faktor eksternal, seperti upaya politik transaksional (money politics) yang dianggap dapat memenuhi tuntutan dan kebutuhan pragmatisme pemilih. Maka sudah saatnya kita serukan : Benahi Partai, Berantas Korupsi!