Satu Peta, Satu Referensi Bagi Indonesia

Agung Christianto
Pranata Humas pada Badan Informasi Geospasial
Konten dari Pengguna
21 Juni 2022 20:28 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Agung Christianto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Foto: Shutterstock

Peta sebagai Sistem Informasi Letak Titik di Muka Bumi

ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sistem, berasal dari kata Yunani, yang artinya disatukan untuk menghasilkan keteraturan (system-sciences.uni-graz.at). Ini menyiratkan, sistem tidak hadir dalam wujud objek fisik, namun hadir dalam bentuk abstrak konseptual. Sedangkan, er.yuvayana.com, mendefinisikan sistem sebagai seperangkat aturan yang telah ditetapkan sebelumnya. Pada perangkat itu, semua unit berkumpul dan bekerjasama, mencapai tujuan tertentu. Jam tangan misalnya, baik analog maupun digital, adalah sistem penunjuk waktu. Berdasar definisi di atas, semua perangkat dalam jam tangan disusun membentuk keteraturan, yang tujuannya untuk menunjukkan waktu. Jam tangannya berwujud fisik, namun perangkat-perangkat di dalamnya bekerja membangun sistem yang bersifat abstrak. Contoh sistem yang lain adalah jalan raya. Perangkat-perangkat berupa: jalan beraspal, jembatan, rambu-rambu lalu lintas maupun marka jalan, bekerja bersama, melayani kebutuhan berkendara, melangsungkan perjalanan dari satu tempat ke tempat lain dengan selamat.
ADVERTISEMENT
Akan halnya dengan sistem perpetaan, merupakan penggambaran objek muka bumi, di bidang datar. Di dalamnya terdapat perangkat, berupa gambaran objek muka bumi yang sama persis jarak, arah, maupun bentuknya. Namun akibat adanya perbedaan bentuk bumi yang sesungguhnya, dengan penggambarannya di atas permukaan bidang datar, perangkat itu tak tergambar secara benar. Contohnya, jika kita memindahkan gambar benua, daratan kutub, pulau dan objek lainnya yang terdapat pada Bola Dunia atau Globe ke bidang datar, dimana disebut sebagai proyeksi, dengan bagian yang berhimpit ke bidang datarnya adalah garis khatuliswa, maka Pulau Greenland dan Kutub Selatan jadi membesar, tidak seperti gambar semula. Tampilan ini tentu tidak sesuai. Demikian pula jika yang fokus gambar pada Kutub Utara, maka Benua Australia, Afrika dan Amerika jadi melebar di bagian ujungnya.
ADVERTISEMENT
Untuk mengatasi perbedaan kenyataan itu, para ahli matematika kebumian mengenalkan sistem proyeksi peta, yang mencantumkan perhitungan secara matematis, dengan memperhatikan ketiga unsur, yaitu jarak, arah dan bentuk, meskipun tidak mungkin menghadirkan ketiganya persis sama. Tujuan sistem ini adalah memberikan informasi, letak suatu titik di muka bumi.

Titik Referensi untuk Pemetaan

Bumi memang bukan bidang datar, juga bukan berwujud bola sempurna. Ada bagian bumi yang menggembung, khususnya di bagian Khatuliswa. Ada pula bagian-bagian tertentu Bumi yang cekung. Sehingga Bumi nampak bopeng. Akibatnya, bukan perkara mudah untuk memindahkan objek yang tak beraturan di permukaan yang tak beraturan pula, pada satu bidang datar. Analoginya, meratakan kulit jeruk agar rata semua sisinya.
Kerumitan ini terjadi ketika menggambarkan Indonesia. Wilayah kepulauan yang terbentang dari paling Barat, Pulau Bateeleblah - Aceh, hingga bagian paling Timur, ujung Sungai Torasi - Papua. Kemudian bagian paling Selatan, Pulau Ndana - Nusa Tenggara Timur, hingga ujung Utara, Pulau Miangas - Sulawesi Utara, merupakan wilayah sangat luas. Luasnya setara dengan benua Eropa, yang terbentang dari Inggris hingga Turki. Wilayah Indonesia seluas 5.180.053 kilometer persegi, terdiri dari 1.922.570 berupa daratan dan 3.257.483 kilometer persegi berupa perairan. Tentu ini bukan objek ideal untuk digambarkan dalam satu peta, di satu lembar bidang datar. Lain halnya ketika menggambarkan Australia, yang satu daratan benua, maupun negara-negara daratan benua lainnya, lebih mudah daripada menggambar Indonesia dalam satu peta. Dalam menggambar peta diperlukan titik-titik acuan atau referensi, untuk menentukan koordinat tepatnya di muka Bumi. Pada wilayah daratan yang luas titik-titik ini dapat disebar merata ke seluruh daratan, jadi semacam sketsa yang saling terkoneksi satu sama lain. Sehingga penggambaran objek dapat dilakukan secara lebih presisi. Makin rapat jarak antar titik, makin baik tingkat akurasinya.
ADVERTISEMENT
Akan halnya pada penggambaran Indonesia yang berupa pulau-pulau, titik referensinya harus dibangun secara permanen pada suatu permukaan yang stabil. Jadi tak mungkin membuat titik referensi di perairan. Untuk mengatasinya, titik referensi dibangun di setiap pulau. Lalu muncul pertanyaan : apakah titik referensi di satu pulau dapat terhubung dengan titik referensi di pulau lain? Secara awam, mungkin ada yang bisa terhubung, karena jarak antar pulau tidak terlalu jauh, ada pula yang mustahil terhubung karena antar pulau telah terpisah oleh laut yang luas. Persoalan inilah yang dihadapi Pemerintah Hindia Belanda, saat memetakan rupa bumi wilayah Indonesia dalam satu sistem referensi. Prof. Jacub Rais, dalam autobiografinya menyebutkan sejak pasca proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, terdapat 7 titik referensi atau dalam istilah geodesi disebut datum, yaitu 1) Datum Gunung Genuk, untuk penggambaran peta di Pulau Sumatera, Jawa, Bali, NTB dan NTT; 2) Datum Bukit Segara di Kalimantan Timur; 3) Datum Gunung Serindung di Kalimantan Barat, 4) Datum Gunung Monconglowe di Sulawesi Selatan, 5) Datum Ternate, 6) Datum Ambon, 7) Datum di Kepala Burung Papua. Pada titik-titik itulah, titik nol kegiatan pemetaan pada masa lalu, sebagaimana Titik Nol Ibu Kota Nusantara.
ADVERTISEMENT

Survei dan Pemetaan Dulu Kala

Pemetaan pada zaman dulu, dilakukan secara manual, langsung di area pemetaan. Ini diistilahkan sebagai pemetaan terrestrial. Dalam operasionalisasi pemetaan suatu wilayah harus diketahui perkiraan luasan kasarnya. Ini agar luasan wilayah dapat dibagi per orang. Sebelum pemetaan dilakukan, perlu adanya pengukuran secara geodesi. Aktivitasnya, berupa penentuan ‘titik ikat’ di suatu tempat tertentu. Titik ikat ini disebut sebagai titik triangulasi. Untuk membuat titik triangulasi, para surveyor menyebar ke seluruh penjuru wilayah yang akan dipetakan, pada ketinggian seperti gunung atau bukit. Antara surveyor satu dengan surveyor lain di suatu ketinggian, harus bisa saling melihat. Para surveyor ini dibantu dengan alat pengamatan, berupa theodolite. Alat ini berguna untuk menangkap cahaya dari heliotrope ~semacam kaca pemantul cahaya matahari, jika pengamatan dilakukan pada siang hari~, dan lampu jika dilakukan pada malam hari. Titik-titik pengamatan ini disebut sebagai titik primer, yang selanjutnya digunakan sebagai acuan untuk membuat titik sekunder dan seterusnya.
ADVERTISEMENT
Dapat dibayangkan, pekerjaan lapangan untuk survei dan pemetaan zaman dulu sangat sulit. Saat puncak ketinggian itu tertutup awan, pengamatan visual antara satu titik dengan titik lainnya, tak mungkin dilakukan. Demikian juga ketika titik-titik tersebut sedikit lebih tinggi dari cakrawala pengamatan, tak mudah melakukan pengamatan secara kasat mata. Untuk melakukan komunikasi antar satu surveyor dengan surveyor lainnya, digunakan kode morse. Ini memanfaatkan heliotrope maupun lampu di malam hari. Kegiatan pemetaan biasanya berlangsung selama 3 bulan, demi hasil pengukuran yang presisi.
Namun keadaannya berubah jadi lebih mudah. Sejak diluncurkannya satelit dalam konstelasi Global Navigation Satellite System (GNSS), yang diawali oleh Global Positioning System (GPS) milik Amerika di tahun 1978, kemudian dilanjutkan oleh GLONASS milik Rusia, lalu Galileo dari Uni Eropa, dan Compass (Beidou) yang diluncurkan oleh Tiongkok, pekerjaan triangulasi secara terrestrial, tak lagi dilakukan. Pemetaan tak perlu lagi melakukan pengukuran satu titik koordinat bumi lebih dari 3 bulan. Dengan alat GNSS Geodetik, dapat dilakukan pengukuran titik koordinat Bumi, tak lebih dari 3 x 24 jam. Hasil pengukurannya pun memiliki akurasi, hingga seperseribu milimeter.
ADVERTISEMENT

Sistem Referensi Tunggal

Pasca kemerdekaan Republik Indonesia, hingga tahun 1969, Jacub Rais menyebut bahwa peta topografi untuk seluruh wilayah Indonesia, hanya mencakup 15 persen wilayah saja. Terpetakan artinya, wilayah tersebut telah terkoreksi secara geodetik. Tantangannya, jika peta topografi yang tersedia sangat kecil, akan sulit melakukan invetarisasi kekayaan alam seluruh Indonesia. Inilah salah satu alasan dibubarkan Badan Atlas Nasional (Batnas), untuk digabung dengan Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal). Bakorsurtanal merupakan cikal bakal BIG (Badan Informasi Geospasial). Batnas dibentuk pada Tahun 1964 mengemban tugas membuat atlas sumber-sumber kemakmuran Indonesia.
Kecilnya cakupan wilayah pemetaan topografi oleh Batnas, antara lain disebabkan oleh terpisah-pisahnya titik referensi. Peta yang tersedia saat itu, khususnya hasil kegiatan Pemerintah Hindia Belanda, dengan menggunakan berbagai sistem referensi dan dengan berbagai sistem proyeksi peta untuk tiap skala peta yang berbeda. Sehingga, antara peta satu dengan peta lainnya tak dapat disatukan. Pada Tahun 1971 dari hasil pertemuan International Union of Geodesy and Geophysics (IUGG) di Moscow, secara internasional disepakati menggunakan satu sistem referensi internasional, yang disebut Geodetic Reference System 1967 (GRS 1967). Sistem ini diadopsi di Indonesia dengan nama ID 74. Ini tercantum pada Peta Rupabumi Indonesia, yang merupakan produksi awal berdirinya Bakosurtanal.
ADVERTISEMENT
Kemajuan teknologi pemetaan makin pesat, mengikuti pesatnya teknologi informasi dan komunikasi digital. Implikasinya, makin baik dan terujinya satelit GNSS, makin meningkat pula presisi pemetaan. Dari hasil pertemuan para ahli geodesi, IUGG pada tahun 1991, disepakati penggunaan sistem proyeksi WGS84 untuk menyempurnakan sistem yang terdahulu. Sistem ini, di Indonesia diadopsi sebagai DGN95 (Datum Geodesi Nasional 1995). Tak berhenti sampai situ, pada tahun 2013 dengan penyempurnakan sistem WGS84, BIG meluncurkan Sistem Referensi Geospasial Indonesia (SRGI2013). Ini menjadi sistem referensi tunggal bagi penyelenggaraan informasi geospasial. SRGI2013 lebih baik dari sistem sebelumnya, karena telah mempertimbangkan aspek-aspek lain dalam pengukuran muka bumi. Misalnya, memperhitungkan perubahan titik koordinat bumi, yang diakibatkan oleh fungsi waktu sebagai pengaruh pergerakan lempeng tektonik dan deformasi kerak Bumi.
ADVERTISEMENT
Dengan diberlakukannya SRGI2013, maka era Kebijakan Satu Peta sebagai satu kesatuan Indonesia, mutlak diwujudkan. Bahkan tak hanya pada tingkat ketelitian sedang, namun satu peta untuk seluruh wilayah Indonesia, dengan skala 1:5.000 atau tingkat ketelitianan sangat tinggi. Bertolak dari itu, BIG telah memproyeksikan, pada kesempatan mendatang, Perpres Nomor 9 Tahun 2016 dan Perpres Nomor 23 Tahun 2021 tentang Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta Pada Skala 1:50.000, akan berubah untuk skala yang lebih detail, yaitu 1:5.000. Ini akan jadi keniscayaan , dengan makin meningkatnya kebutuhan masyarakat, yang didorong oleh perkembangan teknologi digital, untuk dapat menggambarkan objek secara detail. Objek muka bumi secara detail ini harus memiliki tingkat akurasi tinggi, baik dari sisi penggambaran maupun letak lokasinya. Pada gilirannya ini akan makin memperluas dan mendekatkan pemanfaatan informasi geospasial dalam tiap aspek kehidupan masyarakat. Sistem referensi merupakan bagian penting untuk mengikat objek bumi sesuai dengan kenyataan lokasinya. Penggambaran muka bumi dalam resolusi yang detail sangat penting untuk menghadapi tantangan di era digital.
ADVERTISEMENT