Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Konten dari Pengguna
Kenaikan Gaji ASN dan Paradoks Kebijakan Insentif
30 Desember 2024 12:17 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Agung Hendarto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pemerintah mengumumkan akan menaikkan gaji Aparatur Sipil Negara (ASN) tahun depan, setelah sebelumnya pada 2024 naik sebesar 8%. Kenaikan ini diiringi pengumuman presiden yang menetapkan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2025 naik rata-rata sebesar 6,5%. Kebijakan mengenai kenaikan gaji ASN dan UMP ini menunjukkan paradoks dalam pengelolaan ekonomi Indonesia.
ADVERTISEMENT
Di tengah pertumbuhan ekonomi yang hanya sekitar 4,95% pada kuartal III 2024 dan tingkat pengangguran terbuka (TPT) sebesar 4,91% pada Agustus 2024, kebijakan ini menimbulkan pertanyaan besar: bagaimana pemerintah bisa terus memprioritaskan kenaikan gaji ASN, yang sebagian besar bekerja di sektor pelayanan, sementara kelompok produktif yang menopang perekonomian tidak mendapatkan insentif berarti.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada Februari 2024, jumlah pekerja sektor informal di Indonesia mencapai 84,13 juta orang atau 59,17% dari total penduduk yang bekerja. Sektor informal ini mencakup berbagai pekerjaan seperti pedagang kaki lima, buruh harian lepas, dan pekerja keluarga tanpa upah.
Sementara itu, sektor pertanian, yang meliputi petani, nelayan, perkebunan, dan peternakan, masih menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia. Berdasarkan Sensus Pertanian 2023, terdapat 28.419.398 rumah tangga usaha pertanian di Indonesia. Namun, meskipun sektor ini menyerap banyak tenaga kerja, banyak petani dan nelayan yang masih hidup di bawah garis kemiskinan.
ADVERTISEMENT
Kebijakan pemerintah yang terus memprioritaskan kenaikan gaji PNS tanpa memberikan insentif yang memadai bagi sektor produktif mencerminkan ketidakseimbangan dalam pengelolaan negara. Sementara ASN, yang mayoritas bekerja di sektor pelayanan, mendapatkan kenaikan gaji, sektor-sektor yang berperan langsung dalam produksi dan pertumbuhan ekonomi justru kurang mendapatkan perhatian.
Pemerintah menghadapi tantangan fiskal yang besar. Dengan keterbatasan anggaran, langkah-langkah yang diambil sering kali bersifat reaktif, seperti meningkatkan pajak dan iuran yang justru membebani rakyat. Kebijakan ini menciptakan lingkaran setan: pertumbuhan ekonomi yang lambat mengurangi penerimaan pajak, yang kemudian mendorong pemerintah untuk menaikkan pajak lebih tinggi. Akibatnya, daya beli masyarakat menurun, dan pelaku usaha, terutama UKM, semakin kesulitan bertahan. Banyak yang akhirnya gulung tikar, memperburuk tingkat pengangguran dan memperlebar ketimpangan ekonomi.
ADVERTISEMENT
Ekonom pembangunan Amartya Sen menegaskan bahwa pembangunan sejati terletak pada kemampuan negara untuk memperluas peluang bagi warganya. Sementara itu, Michael Porter melalui teorinya tentang keunggulan kompetitif menyoroti pentingnya peran pemerintah dalam menciptakan lingkungan yang memungkinkan industri lokal bersaing secara global.
Sayangnya, kebijakan ekonomi Indonesia cenderung melenceng dari prinsip-prinsip ini. Alih-alih mendorong ekosistem produksi yang kuat, pemerintah lebih fokus pada kebijakan populis seperti kenaikan gaji ASN. Langkah ini mungkin memberikan keuntungan politik jangka pendek, tetapi dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi jangka panjang sangat terbatas.
Untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, pemerintah perlu mengubah pendekatan kebijakan ekonomi secara mendasar. Pemerintah harus menciptakan lingkungan yang mendukung inovasi, seperti memberikan insentif berupa pemotongan pajak, hibah, atau subsidi bagi UKM dan start-up.
ADVERTISEMENT
Selain itu, perlu ada investasi besar-besaran dalam pengembangan keterampilan tenaga kerja melalui program pelatihan vokasi yang sesuai dengan kebutuhan pasar. Infrastruktur logistik dan digital juga harus diperbaiki untuk menurunkan biaya produksi dan meningkatkan akses pasar. Semua ini harus diiringi dengan kebijakan fiskal yang terintegrasi dan berfokus pada pertumbuhan jangka panjang.
Di sisi lain, peran Kementerian Keuangan juga perlu berubah. Mengacu pada pandangan ekonom Joseph Stiglitz, pengelolaan ekonomi tidak hanya tentang mengumpulkan pajak, tetapi juga menciptakan mekanisme pembangunan yang dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat. Menteri keuangan tidak boleh hanya menjadi "pemungut pajak," tetapi juga harus menjadi arsitek kebijakan ekonomi yang proaktif dalam meningkatkan kapasitas produksi dan distribusi kesejahteraan.
Di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto, Indonesia menghadapi tantangan nyata yang tidak dapat diselesaikan dengan retorika semata. Kompleksitas masalah ekonomi dan sosial bangsa membutuhkan pendekatan berbasis ilmu pengetahuan yang mengutamakan keadilan dan produktivitas.
ADVERTISEMENT
Kebijakan yang dibuat harus memastikan bahwa semua warga negara, baik pekerja sektor publik maupun swasta, mendapatkan manfaat yang adil dari pembangunan nasional.
Dalam konteks hak-hak warga negara, pemerintah seharusnya melindungi hak hidup, kebebasan, dan kesejahteraan ekonomi rakyat, sebagaimana diungkapkan oleh filsuf politik John Locke. Ketika pajak dan iuran meningkat tanpa disertai perbaikan kesejahteraan, pemerintah secara tidak langsung melanggar kontrak sosialnya dengan rakyat. Tugas utama pemerintah adalah menciptakan lingkungan di mana semua warga negara dapat berkembang secara adil dan merata.
Indonesia saat ini berada di persimpangan jalan. Kebijakan yang memprioritaskan kenaikan gaji ASN tanpa memperhatikan sektor produktif mencerminkan ketidakseimbangan dalam pengelolaan negara. Untuk mencapai kemajuan, pemerintah harus menciptakan keseimbangan antara pelayanan dan produksi, antara keadilan dan pertumbuhan, serta antara keuntungan jangka pendek dan keberlanjutan jangka panjang. Dengan demikian, Indonesia dapat memenuhi janji kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya.
ADVERTISEMENT