Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Konten dari Pengguna
Memulihkan Norma Berbangsa
5 Februari 2025 15:15 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Agung Hendarto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Indonesia memasuki usia ke-80 tahun sebagai negara merdeka pada tahun ini. Sejak Proklamasi 17 Agustus 1945, perjalanan negeri ini dipenuhi dinamika politik, sosial, budaya, dan ekonomi yang menempa dan membentuk karakter bangsa. Delapan dekade adalah usia yang cukup matang untuk mencapai konsensus nasional tentang prinsip-prinsip kebangsaan, dengan konstitusi sebagai fondasi hukum dan norma-norma sosial sebagai panduan moral. Keandalan bangsa ini sudah teruji selama berpuluh-puluh tahun berkat norma-norma yang tumbuh di tengah masyarakat. Namun, sebagai sebuah bangsa, saat ini kita mendapatkan ujian berat karena banyaknya pengabaian norma yang terus berulang, terutama dalam satu dekade terakhir, yang selanjutnya memunculkan pertanyaan besar: sejauh mana norma-norma ini masih dihormati dan dipegang teguh oleh bangsa ini?
ADVERTISEMENT
Konstitusi Indonesia merupakan sumber hukum tertinggi yang membimbing arah kebijakan dan aturan negara. Sejak awal, konstitusi telah menjadi dasar dalam membangun sistem hukum yang menghargai demokrasi dan melindungi hak-hak warga negara. Empat kali amandemen konstitusi telah memperluas ruang demokrasi dan memperkuat jaminan hak-hak dasar. Namun, konstitusi sendiri tak cukup kuat tanpa didukung oleh norma sosial yang tumbuh dalam kesepakatan bersama masyarakat. Norma adalah elemen tak tertulis yang mengatur perilaku berdasarkan nilai-nilai yang dipegang oleh suatu komunitas. Norma berfungsi menjaga keteraturan dan solidaritas sosial dengan menetapkan batasan antara yang baik dan buruk.
Ketika norma sosial melemah, menurut Emile Durkheim, masyarakat akan mengalami anomie—kondisi di mana aturan kehilangan pengaruh atas perilaku individu. Pelanggaran norma bukan hanya masalah moral, melainkan ancaman bagi stabilitas sosial dan keberlangsungan bangsa. Pelanggaran terhadap aturan tertulis membawa konsekuensi hukum seperti sanksi pidana atau kewajiban ganti rugi. Namun, pelanggaran terhadap norma sosial memiliki dampak yang jauh lebih dalam: menurunkan kepercayaan publik, melemahkan solidaritas sosial, dan menciptakan fragmentasi di tengah masyarakat. Lebih buruk lagi, ketika pelanggaran norma terjadi secara kolektif dan dibiarkan tanpa konsekuensi, integritas moral bangsa pun dipertaruhkan, dan ancaman krisis yang lebih dalam tak terelakkan.
ADVERTISEMENT
Dalam satu dekade terakhir, pelanggaran terhadap norma sosial semakin mencolok. Kebijakan publik yang memengaruhi kesejahteraan rakyat sering diambil tanpa partisipasi yang memadai. Kenaikan harga bahan bakar minyak, listrik, dan tarif tol adalah contoh kebijakan yang diumumkan tanpa dialog yang transparan dengan masyarakat. Norma keterbukaan dan partisipasi publik yang seharusnya menjadi ciri khas demokrasi deliberatif diabaikan, menunjukkan lemahnya etika komunikasi pemerintah kepada rakyat. Keputusan sepihak seperti ini menciptakan ketidakpercayaan yang merusak legitimasi demokrasi. Norma dalam sistem demokrasi mewajibkan pemerintah untuk melibatkan rakyat dalam pengambilan keputusan yang memengaruhi kesejahteraan mereka. Mengabaikan prinsip ini mencerminkan kelalaian terhadap etika publik dan tanggung jawab moral.
Contoh lain yang cukup signifikan adalah pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja yang sarat masalah prosedural. Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No. 91/PUU-XVIII/2020 menegaskan bahwa pembentukan UU tersebut cacat secara formil karena pelibatan publik yang minim. Norma partisipasi adalah elemen esensial dalam demokrasi deliberatif, di mana keputusan yang diambil harus melalui konsultasi dengan masyarakat. Legitimasi hukum terletak pada penghormatan terhadap proses pembentukan aturan, karena keadilan prosedural menjadi fondasi ketertiban sosial. Pelanggaran norma ini tak hanya memperlihatkan pengabaian terhadap prosedur, tetapi juga mencerminkan kegagalan mematuhi standar demokrasi yang seharusnya dijunjung tinggi.
ADVERTISEMENT
Lebih mencolok lagi adalah penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi dan keluarga. Perubahan aturan yang membuka peluang bagi anak presiden untuk mencalonkan diri dalam kontestasi politik tingkat nasional adalah pelanggaran terhadap norma hukum, meritokrasi dan integritas politik. Ketika kekuasaan digunakan untuk keuntungan pribadi atau kelompok tertentu, hukum kehilangan otoritas moralnya, dan kepercayaan masyarakat terhadap institusi politik melemah. Perilaku pengabaian norma oleh elit ini akan menyebar ke tingkat yang lebih luas dalam masyarakat, dan menciptakan iklim di mana penyalahgunaan wewenang dianggap wajar.
Menurut Transparency International, Indonesia berada di peringkat ke-96 dari 180 negara dalam Indeks Persepsi Korupsi 2024. Angka ini menunjukkan rendahnya tingkat kepercayaan terhadap tata kelola negara dan lemahnya penegakan hukum. Korupsi yang dibiarkan terus berkembang tanpa sanksi yang tegas mencerminkan pelanggaran norma yang telah menjadi bagian dari kebiasaan politik. Budaya permisif seperti ini semakin memudarkan harapan akan keadilan dan kesejahteraan sosial yang merata.
ADVERTISEMENT
Immanuel Kant, dalam teorinya tentang imperatif kategoris, menekankan bahwa setiap tindakan harus dapat dijadikan prinsip universal. Norma moral tidak boleh bergantung pada tujuan pragmatis, melainkan harus menghormati manusia sebagai tujuan dalam dirinya sendiri. Kekuasaan yang digunakan untuk kepentingan pribadi atau kelompok bertentangan dengan prinsip ini karena memperlakukan rakyat sebagai alat, bukan sebagai subjek yang memiliki hak dan martabat yang harus dihormati.
Tentang tantangan moral dalam kehidupan kolektif, Reinhold Niebuhr menyatakan bahwa manusia secara individu mungkin mampu bertindak berdasarkan moralitas tinggi, tetapi dalam kelompok besar, kepentingan egois cenderung mendominasi. Niebuhr menegaskan bahwa hanya kepemimpinan yang memiliki komitmen moral kuat yang dapat membawa perubahan dalam masyarakat yang telah tenggelam dalam krisis nilai. Kepemimpinan yang berintegritas harus menempatkan keadilan dan kebenaran di atas kekuasaan, serta berani menegakkan norma yang adil meski menghadapi tekanan politik.
ADVERTISEMENT
Pemulihan norma adalah tugas berat yang menuntut keberanian politik dan komitmen moral. Presiden Prabowo Subianto kini menghadapi tantangan besar untuk memulihkan norma yang terus memburuk dan membangun kembali kepercayaan rakyat. Reformasi yang diperlukan tidak hanya berupa perubahan kebijakan, tetapi juga menciptakan budaya politik baru yang menempatkan nilai-nilai moral di atas kepentingan jangka pendek. Reformasi moral di Indonesia memerlukan perubahan nyata dalam perilaku para pemimpin yang harus menjadi teladan dalam menjunjung tinggi etika publik. Langkah nyata lain adalah penegakan hukum tanpa diskriminasi dan peningkatan transparansi kebijakan yang akan menjadi kunci untuk membangun kembali legitimasi moral dan sosial.
Masyarakat juga memiliki peran penting dalam menjaga norma-norma sosial. Kesadaran kolektif untuk tidak mentoleransi pelanggaran etika harus ditumbuhkan melalui pendidikan karakter dan penguatan nilai-nilai kebangsaan. Lembaga pendidikan, organisasi kemasyarakatan, organisasi keagamaan, dan media perlu berkolaborasi dalam mempromosikan budaya integritas dan nilai-nilai kebangsaan. Dalam konteks demokrasi yang semakin dinamis, tanggung jawab moral bukan hanya milik para pemimpin, melainkan seluruh elemen bangsa. Rakyat harus berani menyuarakan kebenaran, menolak praktik korupsi, dan mendukung tata kelola yang transparan dan akuntabel.
Kini, tanggung jawab besar berada di pundak Presiden Prabowo Subianto untuk memulihkan norma berbangsa yang mengalami penurunan nilai. Membangun kembali moralitas bangsa memerlukan upaya serius dan konsisten. Sebagaimana Durkheim menyatakan bahwa norma adalah fondasi kehidupan kolektif, bangsa yang kehilangan norma akan kehilangan arah, dan tanpa arah, peradaban suatu bangsa akan runtuh. Mengakhiri pelanggaran norma adalah langkah pertama dalam perjalanan panjang menuju kedewasaan demokrasi dan kebangkitan moral yang sejati. Hanya dengan kembali menghormati norma, Indonesia dapat mewujudkan cita-cita sebagai bangsa yang bermartabat dan berkeadilan. Masa depan Indonesia ditentukan oleh norma dan moralitas keputusan para pemimpinnya hari ini.
ADVERTISEMENT
Live Update