Konten dari Pengguna

Menggusur Ayah

2 Januari 2018 15:42 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:12 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Agung Putranto Wibowo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
“Kota ini sebuah muara, bagi sekawanan burung yang telah bermigrasi dari tanah-tanah jauh hanya untuk tiada.”
ADVERTISEMENT
Purwo turun dari panggung dengan tepuk riuh penikmat. Sajak karya Sapardi Djoko Damono dibawakan dengan penuh khidmat. Namun di sebuah kedai kopi daerah Margonda, hanya ada satu meja yang tidak terpikat.
Meja itu tempat Purwo tadi beranjak, bersama seorang kawan yang sejak maba membantunya beradaptasi, ia meyakinkan diri tuk bertanya.
“Penampilan saya tadi jelek ya dho?”
Ridho tak bergeming, ia masih berusaha mencerna harum biji kopi robusta dan untaian sajak yang dilantunkan kawannya tadi. Selang beberapa menit, jemari tangannya meraih cangkir. Kafein cair itu lantas diseruput dengan gaya yang Aceh sekali. Meski sudah puluhan tahun tinggal di Jakarta, metode menikmati secangkir kopi khas tanah Gayo amerta baginya.
Purwo menatap kawannya tajam sekali, setajam ingatan Ridho saat menyaksikan Purwo di atas panggung.
ADVERTISEMENT
Malam itu hujan turun, kendati pada bulan Juni. Ridho masih siaga di pos ronda bersama para laskar yang juga guru ngajinya. Hanya saja fokus mereka bukan kepada volume air, tapi kepada rumah-rumah warga dan orang asing yang sering terlihat membawa beceng.
“Waspadalah, kita sudah siaga satu.” Tokoh masyarakat itu mengingatkan. Sejak lurah setempat menggelar rapat akbar di pinggiran kali, warga semakin cemas. Sebagian ada yang langsung berkemas, ada pula yang memilih bertahan dan menggalang perlawanan. Keluarga Ridho salah satu yang memilih bertahan. Ibunya sedari lahir tinggal di sana, bahkan sang nenek juga tumbuh besar di kawasan yang sama. Tiada alasan untuk angkat kaki, tanah ini warisan leluhur yang patut lestari. Praktis hanya sang ayah yang berstatus pendatang, itupun terpaksa karena waktu itu gerakan PRRI/Permesta sudah sampai ke Aceh. Kakeknya yang seorang perwira, terpaksa memindahkan seluruh keluarga ke ibukota. Ayahnya masih terlalu kecil saat dilepas ke arus ibukota. Sampai sang ayah tumbuh besar dan menikahi ibunya, sang kakek sudah tiada sebab gugur di medan juang.
ADVERTISEMENT
Selesai sholat shubuh berjamaah, Ridho pulang ke rumah hendak mengambil sepotong roti untuk sarapan. Semalam suntuk hilir mudik menjaga kampung, tentu membuat fisiknya tidak prima.
Sesampainya di sana, betapa terkejut dirinya menyaksikan kondisi rumah terlihat berbeda. Dapur berantakan, pakaian bersih dan kotor berserakan di lantai, kertas-kertas berhamburan. Namun itu tidak menjadi perhatian, ibunya terbaring lemah di tempat tidur, kedua adiknya berpelukan, saling menikam rasa takut satu sama lain.
“tadi ada dua orang berseragam masuk ngacak-ngacak, bang.” Bibir adiknya gemetar, entah memberikan informasi atau sekadar melawan kebisuan.
“lantas ayah dimana?” tanya Ridho dengan nada gusar
“ayahmu mengejar dua orang tadi, coba kau susul, ibu takut kalau terjadi apa-apa.” Jawab ibunya dengan lirih
ADVERTISEMENT
Ridho tak kuasa menahan emosi. Air matanya keluar bersamaan dengan sinar mentari yang masuk lewat sela-sela kamar. Pagi itu langit Jakarta merah merekah, siap membakar amarah. Entah amarah aparat karena sikap warga yang masih bertahan, atau amarah warga yang sedari awal mengecam rencana penggusuran.
Ridho keluar pagar rumah dengan ketapel yang menggantung di leher. Ia berlarian tak tentu arah, demi mencari sang ayah. Langkahnya terhenti di utara, tertegun oleh besarnya mesin garuk rumah yang berada tepat di hadapannya. Ia tak tahu pasti kapan mesin itu datang, sebab semalam tempat itu masih kosong. Dari tempat yang sama, ratusan warga dengan segenggam batu kerikil bergantian melempari mesin tersebut.
Ridho terjebak di antara amukan warga, kakinya perlahan mengajak mundur ke belakang. Kondisi sudah kacau-balau. Tak lama berselang, TNI AD sudah siaga dengan posisi perang. Seolah amukan warga adalah musuh dan mesin garuk adalah kedaulatan negara yang wajib dijaga. Kehadiran serdadu loreng bertubuh kekar dan berwajah sangar sontak membuat warga ketakutan, warga pun berhenti melempari batu dan mundur dengan sendirinya.
ADVERTISEMENT
Matahari nyaris tegak berdiri, namun ia belum juga berhasil menyelesaikan misi; menemukan sang ayah. Dari kejauhan, matanya menangkap peristiwa para pedagang ditendang-tendang. Gerobak mereka dijungkir-balikkan membuat barang dagangan tumpah ruah, tiada sempat diselamatkan. Kepalanya digeser beberapa derajat ke barat, lantas menangkap lagi peristiwa kejam yang dilakukan aparat. Aksi saling dorong pukul antara warga dengan aparat membuat sekujur tubuhnya lemas. Alih-alih menemukan ayah, malah beberapa kelumit peristiwa pahit yang ditangkap indera penglihatannya.
Puing-puing bangunan mulai berjatuhan, mencipta debu penggores aspal yang sempat becek diguyur hujan. Beberapa aparat bersiaga dengan raut wajah ketakutan. Sementara beberapa warga berlomba tangis dengan bayi-bayi mereka yang meronta meminta ASI. Ridho beranjak dari suatu titik ke titik yang baru, membuat dirinya bertemu dengan tetangganya dulu.
ADVERTISEMENT
“dho, nggak ikut ke rumah sakit? tadi saya lihat di sana ada ibu dan kedua adik kamu dho”
Ridho terperanjat, tanpa pikir panjang ia lekas pergi ke rumah sakit terdekat. Ridho memang sangat jarang pergi ke rumah sakit, namun banyaknya orang pada hari itu jelas tidak lazim dan bukan kabar baik. Ibunya menyambut dengan pelukan erat disertai banjir air mata yang mengucur deras hingga membuat pundak Ridho basah kuyup.
Ibunya masih menjerit di pelukan kala seorang perawat mendorong jenazah keluar dari kamar operasi. Ridho mengenal betul jasad tersebut, itu adalah sosok yang ia cari sejak shubuh tadi.
Hasil visum menyatakan terdapat luka memar pada dahi kiri dan kanan, juga terdapat luka robek pada pipi kanan ukuran panjang 4 cm dan lebar 2 cm. Selain itu terdapat pendarahan pada rongga mulut dan patah gigi seri pada bagian depan kanan atas. Pada bagian dada kiri atas terdapat luka lecet memanjang hingga ke bagian kanan bawah perut sepanjang 30 cm, lebar 6 cm. Juga terdapat luka lecet di pangkal paha kanan depan dengan ukuran panjang 9 cm, lebar 8 cm berjarak dari sumbu tubuh 8 cm dan jarak dari lutut 16 cm. Luka robek di paha kanan belakang dengan ukuran panjang 14 cm, lebar 1 cm, jarak dari pangkal paha 2 cm dan jarak dari lutut 23 cm. Dari hasil pemeriksaan luar dapat disimpulkan kematian ayahanda Ridho kemungkinan disebabkan syok hipovolemic pada luka robek yang menganga di bagian pipi dan punggung paha kanan.
ADVERTISEMENT
Berita duka yang menimpa ayahnya tersebar luas hingga ke media nasional, namun tiada satu pun yang berhasil mengungkap tabir kematian korban gusuran yang merupakan warga sipil. Tiada satu pun pihak yang bertanggung jawab, dianggapnya tragedi sebagai angin lalu saja.
Purwo terheran-heran akan sikap kawannya yang pergi begitu saja. Ridho adalah penggemar berat Sapardi, mustahil ia pergi hanya karena dirinya membawakan sajak karya beliau. Purwo menerawang jauh sekali hingga akhirnya ia membuat suatu hipotesis. Mungkin karena kopi yang dipesan tidak sesuai selera, maklum Ridho adalah maniak kopi sejak dicekoki oleh sang ayah saat masih berusia tujuh tahun.
Ketika pikirannya masih berkelebat menyusun hipotesa-hipotesa tentang Ridho, smartphone-nya berdering. Ternyata itu adalah pesan singkat dari kakak perempuannya di kampung.
ADVERTISEMENT
“Cepat pulang, bapak sedang sekarat di rumah sakit.” begitu isi pesan dari kakaknya.
Depok-Purworejo nyaris 500 km jaraknya, tentu sebuah perjalanan panjang yang akan terus mendentumkan kalimat tanya disertai lantunan doa yang dipanjatkan oleh Purwo.
Sesampainya di stasiun, kakak Purwo lekas menjemput. Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, kakak-beradik itu tiada sempat bertukar rindu. Topik pembahasan selalu mengarah kepada ayahanda. Ayahnya sampai masuk rumah sakit karena terkena lemparan balok saat bertugas mengamankan pembongkaran bangunan liar milik warga. Begitu kata sang kakak.
Purwo tak habis pikir sebab ayahnya adalah sosok polisi yang baik. Ia sungguh mengecam aksi brutal warga yang bertindak anarkis saat dilakukan penertiban oleh aparat. Berita tersebut dibacanya saat di kereta, ia mempelajari tiap paragraf yang selalu bermuara pada kesalahan warga karena mendirikan bangunan di atas tanah negara. Ditambah warga tersebut adalah para pendatang yang berwatak keras, bukan warga asli Purworejo yang terkenal akan pribadi-pribadi yang sopan dan lemah lembut.
ADVERTISEMENT
Sesampainya di rumah sakit, Purwo mendapati ayahnya sedang makan bubur dengan kepala berbalut perban. Purwo memeluk sang ayah dengan erat, sekaligus bersyukur kepada Tuhan yang telah mengabulkan doanya sepanjang perjalanan.
Tak lama berselang polisi gagah datang membesuk. Wibawa yang bergelantungan di pundak menghentikan prosesi haru-rindu antara bapak dengan anaknya. Purwo lantas menyimpulkan dengan tangkas bahwa sosok itu adalah komandan ayahnya.
“warga yang melempari bapak sudah ditangkap, sekarang sedang dilakukan tahap interogasi.”
“matur nuwun ndan, izin tidak dapat bergabung dengan pasukan di lapangan”
“izin diterima, sampeyan istirahat saja sampai pulih total.”
Purwo meraih sebuah koran yang tergeletak di meja pasien selagi ayahnya asyik berbincang. Halaman utama mengisahkan peristiwa penggusuran, lengkap dengan foto-foto bergambar amukan warga. Pada paragraf terakhir dahi Purwo mengernyit.
ADVERTISEMENT
“Kini para pedagang tidak mampu lagi berdagang, mereka terpaksa harus pulang kandang. Ratusan warga tergusur dari peraduan nasib yang sudah mereka diami selama bertahun-tahun. Mungkin Sapardi Djoko Damono benar, mereka tak ubahnya sekawanan burung dari tanah jauh yang mendiami suatu kota hanya untuk tiada.”