Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Mukjizat Dee: Kemunculan Zombie di Kota Depok
2 Januari 2018 8:32 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:19 WIB
Tulisan dari Agung Putranto Wibowo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
30 Desember 2037. Tidak ada yang spesial bagi Dee, kecuali fakta bahwa dirinya tidak dapat kumpul bersama sanak famili pada malam pergantian tahun. Sejak jauh hari, bosnya mengingatkan agar divisi perakitan robot stand by hingga waktu yang tidak ditentukan. Pasalnya, ada klien besar yang akan meluncurkan produk layanan berbasis robot tepat pada 1 Januari. Jika upacara peluncuran sukses, bosnya mungkin akan memperkenalkan mereka, termasuk Dee ke atas panggung. Sebaliknya, jika robot itu berulah di acara peluncuran, divisi perakitan setidaknya hadir untuk dicaci maki dan tentu saja berkesiap menerima potongan honor. Bukankah hidup penuh dengan drama ketidakpastian?
ADVERTISEMENT
Sepulang dari kantor, Dee tidak segera pulang ke rumah kontrakannya. Malam itu sudah larut, Dee berpikir sebotol bir mungkin akan menghangatkan dirinya. Apalagi akhir-akhir ini ia tak pernah tidur pulas. Ia sampai lupa kapan terakhir kali imajinasi hadir di alam mimpinya.
Dengan mantap ia langkahkan kaki menuju kedai minuman yang tak jauh dari tempat ia tinggal. Masih sama-sama berada di jalan Margonda. Meski sudah lewat Pukul 12, Kota Depok masih super sibuk. Lalu lalang kendaraan bermotor, pemuda pemudi kesepian yang meramaikan sudut-sudut kota, dan para pengamen hilir mudik mencari receh, adalah sedikit gambaran bahwa kawasan ini tidak kenal tidur.
Di sudut bar, Dee mengambil majalah filsafat yang lantas dibacanya perlahan. Sambil menenggak bir hitam, pikirannya menerawang ke sebuah artikel berjudul “Mukjizat: Keajaiban atau Tanda Simbolis?”.
ADVERTISEMENT
“Hei bung, apa kau percaya mukjizat itu nyata?” tanya seorang bartender
“Entahlah. Tahun 2037 saya lebih percaya robot.” jawab Dee
“Bukankah robot-robot itu termasuk mukjizat? Berarti kau percaya mukjizat dong?”
“Yang saya pahami sedari kecil, mukjizat itu datangnya dari para nabi. Robot bukan mukjizat, mereka adalah hantu yang menjadi nyata.”
“Berarti kau percaya hantu?”
“Sebagai bartender, kau ini banyak cakap. Lebih baik kau berikan saya sebotol lagi.”
Dee tidak pernah berbicara dengan orang asing sebelumnya. Terakhir kali dilakukan, jerawat di wajah dan juga punggungnya masih banyak dan kumisnya masih berantakan. Ia masih mahasiswa saat berbincang dengan orang tak dikenal.
Tekad minum satu botol hanya bertahan lima belas menit. Entah mengapa di menit ke-16, Dee merasa yakin lambungnya kuat menampung dua botol dengan kadar alkohol tinggi. Botol ketiga, keempat, kelima, bahkan menyusul dengan tangkasnya. Dan ketika Dee meronta-ronta minta botol keenam, bartender sudah berhasil mengantar Dee ke rumah kontrakannya.
ADVERTISEMENT
31 Desember 2037. Dee terbangun dengan kepala pusing. Nafasnya masih bau alkohol dan pakaian kerjanya masih melekat di tubuh kurus itu. Dengan sisa kekuatan, ia coba mengingat peristiwa yang terjadi pada malam itu.
“Sial, gue minum terlalu banyak.” gerutu Dee sambil menggosok gigi.
Dirinya sadar sudah terlambat hampir satu setengah jam. Kepala divisi perakitan robot meminta seluruh staf hadir pada hari itu untuk dilakukan peninjauan terakhir. Alhasil ia putuskan untuk tidak mandi dan tidak mengganti baju. Setidaknya ia sudah gosok gigi yang mana itu akan menjadi kamuflase bagi aroma alkohol di sekitaran mulutnya.
Sejak Walikota Depok meresmikan layanan transportasi terpadu, ia berangkat ke kantor menggunakan transportasi umum. Motornya ia hibahkan untuk saudara di kampung. Lagipula, kemacetan Depok sudah pada taraf mematikan. Berkendara di Depok sama saja dengan bunuh diri. Angka kematian karena kecelakaan lalu lintas di Depok adalah yang tertinggi di Asia. Jika manusia bisa memilih kematian, tentu mati di jalanan tidak akan pernah jadi daftar pilihan.
ADVERTISEMENT
Namun, hari itu lain daripada yang lain. Depok lengang tidak seperti biasanya. Dee sampai berulang kali menampar wajahnya sendiri tuk buktikan dirinya tidak sedang bermimpi. Ia sudah bertahun-tahun tinggal di Depok. Fenomena ini tentu membingungkannya. Jika pun ada car free day, pastilah warga Depok yang haus akan hiburan itu tumpah ruah di jalanan.
“Gila! Kenapa nih Depok?”
“Jangan-jangan gue masih mabuk.”
Dee segera mengeluarkan smartphone dari dalam sakunya. Lantas ia googling “cara membuktikan manusia sedang mabuk atau tidak”
“Anjir lah enggak ada sinyal!”
Saat diketahui tidak ada sinyal, Dee mulai panik. Cucuran air keringat segera membahasi dahi bahkan kemejanya. Sejak 2017, manusia memang secara spontan akan panik jika diketahui tak kunjung dapat sinyal. Seorang psikolog lulusan UI melakukan penelitian semacam ini. Ia bersikukuh, jika risetnya dilakukan sebelum 2017, manusia tetap akan panik jika kehilangan sinyal. Bahkan di dalam penelitiannya itu terungkap fakta bahwa manusia modern lebih rela kehilangan teman daripada harus kehilangan sinyal.
ADVERTISEMENT
Dee berlari menyusuri sepanjang jalan Margonda. Sampailah ia di kedai minuman yang semalam ia datangi. Tanpa ragu, Dee masuk ke dalam.
“Halo apakah ada orang?”
“Di pintu masuk tertulis “open” lho, kalian semua nggak lagi bercanda kan?”
Dee mulai merasa ada yang tidak beres. Kondisi tempat itu berantakan, seperti dihantam angin puting beliung. Depok memang pernah diterpa badai beberapa kali. Akan tetapi, ia belum pernah melihat efek yang ditimbulkan sebesar ini. Jika memang hal itu disebabkan oleh badai, mengapa kamarnya tidak ikut berantakan. Pepohonan pun tiada yang tumbang. Badai adalah badai, ia akan menghantam apa saja yang berada di jalurnya. Tidak pilih kasih, tidak pandang bulu. Badai adalah hakim paling adil yang pernah turun ke muka bumi.
ADVERTISEMENT
Dengan pemikiran seperti itu, Dee segera mencoret bencana alam dari daftar. Ia bahkan merasa perlu menggigit jarinya sendiri hingga berdarah. Sekali lagi, untuk memastikan dirinya tidak sedang berhalusinasi.
Saat ia sibuk mencari obat merah untuk mencegah infeksi pada jarinya, ia jumpa seekor kucing di dekat toilet. Ia merasa kasihan pada kucing itu. Matanya berair, bulu-bulunya rontok, dan tinggal di kawasan Depok. Mantan kekasihnya yang pernah menimba ilmu di kedokteran hewan pernah bilang begini kepada Dee:
“Hei Dee, seandainya aku jadi kucing, sepertinya aku tidak mau hidup di Depok.”
“Lho kenapa? Kamu bisa jadi kucing dengan tingkat intelejensi di atas rata-rata bangsa kucing. Depok ini kan banyak kampus, kamu bisa menghadiri kelas tanpa perlu jual diri bayar uang semester. Kamu bisa belajar sejarah kucing, berfilsafat dengan cakar-cakarmu, atau mengenal lebih dalam hak dan kewajiban para kucing. Jadi jika ada kucing kampung dan kucing Persia kawin, kamu bisa mengajukan diri untuk mengurus prosesinya. Mungkin mereka akan memberi kamu satu dua lele sebagai imbalan.”
ADVERTISEMENT
“Kamu ini kenapa senang betul guyon sih. Lagian, hewan itu kawin ya tinggal kawin. Selama si cowok bernafsu ya mereka tinggal cari si betina.”
“Ya elah, manusia juga suka gitu kali, nggak cuma binatang.”
“Tapi aku serius Dee, aku nanti mau tulis skripsi tentang kesehatan kucing-kucing liar di Depok. Nanti aku bandingkan dengan kucing-kucing liar di kampungku yang aku yakin betul jauh lebih sehat secara jasmani maupun rohani.”
“Ya terserah kamu aja lah. By the way obrolan tentang kucing ini kok jadi bikin aku pengen kawin ya, hehehe”
“Dasar binatang!”
Kenangan tentang mantan pacar seketika buyar. Kucing yang berhasil membuat Dee bernostalgia itu, menggigit sepatunya. Sejak awal, kucing itu memang memperlihatkan gelagat yang aneh. Dee sama sekali tidak menyangka jika si kucing akan bertindak se-agresif itu.
ADVERTISEMENT
Dee segera menjauh, dengan terlebih dulu melayangkan tendangan ala David Beckham ke perut si kucing. Jika ia payah dalam urusan cinta, setidaknya ia mahir dalam permainan sepak bola. Bukti kehebatannya adalah, si kucing terlempar cukup jauh dan mungkin mengalami mual luar biasa saat mendarat.
Saat dirinya yakin tidak ada manusia di tempat itu, Dee segera keluar. Saat menuju pintu, ia melihat majalah filsafat yang ia sempat baca semalam. Dee baru ingat, semalam ia baca artikel tentang mukjizat. Khidmat sekali, sampai-sampai bartender yang mengoceh ia hiraukan. Ia pun segera membawa majalah itu bersamanya.
Di luar, langit Depok tetiba menghitam. Tentu saja dilengkapi pemandangan jalan raya dan bangunan-bangunan yang masih kosong melompong. Hal ini menjadi dilematis. Di satu sisi, Dee bersyukur karena Depok tidak pernah menjadi se-tenang ini sepanjang hidupnya. Di sisi lain, fenomena ini jelas menakutkannya. Bagaimana jika ia manusia terakhir di tempat itu. Bagaimana jika seluruh manusia telah berubah wujud menjadi zombie. Hal ini mengingatkannya pada film yang dibintangi Will Smith berjudul “I Am Legend”.
ADVERTISEMENT
Ketika pikirannya tengah kalut, Dee membaca kembali isi tulisan pada majalah filsafat yang ia ambil di kedai minuman. Ia tidak pernah percaya dengan hal-hal gaib lagi mistis. Satu tahun di sekolah tinggi filsafat, membuat dirinya semakin tidak mempercayai hal-hal yang tidak kasat mata. Mukjizat, nabi, iblis, dan Tuhan hanyalah imaji manusia tentang hal-hal yang tidak mampu dibuktikan. Ketika Musa dipercaya mampu membelah lautan dengan sekali ketukan tongkat, Dee merasa peristiwa itu dilebih-lebihkan. Fenomena terbelahnya lautan, dapat dianalisa melalui kajian ilmu. Begitu pula dengan fenomena di Depok saat ini. Setidaknya, itu yang ia yakini. Meski sayangnya belum bisa dibuktikan oleh ilmu manapun termasuk filsafat.
Pada halaman ke-69 majalah itu, Dee membaca dengan takzim:
ADVERTISEMENT
“Di zaman modern, sejak munculnya rasionalisme dan Zaman Pencerahan, banyak pakar filsafat dan sains berargumentasi melawan mukjizat. Salah satu pakar pembantah mukjizat paling terkenal dan berpengaruh ialah seorang filsuf empirisme, David Hume. Argumentasinya dengan singkat dapat dirangkum: karena berdasarkan semua pengalaman manusia, hukum-hukum alam sudah pasti, kesaksian tentang mukjizat yang bertentangan dengan hukum alam itu tidak pernah mempunyai probabilitas, sebab tak pernah didukung pengalaman yang sama kuat dan luas, malah sebaliknya, dicurigai Hume sebagai kesaksian segelintir orang bodoh dan tidak berbudaya yang suka didengar orang banyak, misalnya tuk dijadikan legitimasi kepercayaannya. Menurut Hume, kesaksian tentang mukjizat harus ditolak oleh orang terdidik yang berakal sehat.”
Sebagai individu bergelar sarjana robotik industrial dengan predikat cum laude, Dee tentu sepemahaman dengan David Hume. Dee terdidik dan berakal sehat menurut pemahamannya sendiri. Subjektif memang. Apalagi dirinya pernah belajar filsafat yang memang bertumpu kepada akal sehat, alih-alih kepada teori ataupun dogma tertentu. Meskipun cita-cita menjadi dosen filsafat harus pupus karena orang tua tidak setuju, Dee tetap mengikuti perkembangan ilmu filsafat.
ADVERTISEMENT
Dee berjalan dan terus berjalan, lalu sampailah ia di tempat ia bekerja. Seperti bangunan lain pada hari itu, pabrik robot tempat Dee bekerja sepi tanpa aktivitas manusia. Ketika ia sisir daerah tempat perakitan, ia menemukan robot-robot yang besok akan diluncurkan. Semua benda itu tampak bersih mengkilat. Berbaris rapi laiknya para tentara.
Dari kiri ke kanan, dari kanan ke kiri, Dee terus menikmati hasil kerja kerasnya. Tak jarang, ia buka obrolan dengan robot-robot. Satu dua robot dimintai keterangan, mulai dari nama, hobi, dan juga status. Hal itu penting dilakukan, demi menjaga akal sehat Dee tetap bekerja. Hampir berjam-jam tidak bertemu manusia lain, cukup membuat seorang anak manusia frustasi. Masalahnya, ketiadaan eksistensi manusia muncul di Depok, tempat yang selama 24 jam tidak pernah luput dari kegiatan manusia. Dari mulai makan, belajar, bekerja, berkendara, sampai bercinta. Tetapi kali ini lain cerita. Hanya ada Dee dan robot-robotnya pada hari itu. Hari terakhir di tahun 2037.
ADVERTISEMENT
Selagi meratapi robot-robot, ia tidak bisa tidak melihat plat tembaga berukuran lambang OSIS seperti pada seragam SMA. Pasalnya, disitu terdapat inisial nama pembuatnya. Perusahaan tempat Dee bekerja sengaja menerapkan SOP seperti itu. Divisi perakitan bekerja secara tim, hanya sampai tahap mekanisme rancangan. Dalam merakit menjadi sebuah benda, tiap orang di divisi tersebut diwajibkan mengimplementasikan hasil rancangan mereka. Dengan begitu, dapat diketahui rancangan siapa yang memenuhi target dan sesuai spesifikasi.
Dee jelas kaget karena tak ada huruf “D” di dada robot-robot itu. Hal itu menandakan, robot rakitannya hilang entah kemana. Seharusnya robot-robot itu berjumlah lima, mengingat ada lima staf yang diberikan wewenang untuk merakit robot. Namun robot itu hanya berjumlah empat dan menjadi sebuah kejanggalan tersendiri mengapa harus robot Dee yang lenyap.
ADVERTISEMENT
Tiba-tiba terdengar suara meledak dari arah gudang. Dee segera menuju sumber suara. Lagi-lagi tidak ada manusia, baik yang hidup atau setidaknya yang mati. Sejak keluar dari kedai minuman, Dee menurunkan standar. Dari mulai harapan bertemu manusia hidup, hingga bertemu mayat alias manusia mati. Toh sama-sama manusia, daripada tidak ada petunjuk sama sekali.
Pabrik tempat Dee bekerja cukup besar, sehingga dua tahun bekerja tak cukup membuat Dee hafal denah lokasinya. Apalagi ia bekerja di divisi perakitan. Jangankan ke area gudang, ke kantin saja kalau sempat. Dalam pergaulan sesama karyawan, anak-anak di divisi perakitan kerap dijuluki mayat berjalan alias zombie. Mungkin karena jarang tidur serta jarang bersosialisasi dengan manusia normal lainnya.
“Woy kalo lu setan gue nggak takut. Gue nggak beragama apalagi bertuhan. Gue nggak percaya apapun! Jadi, siapapun lo, gue sama sekali nggak takut.”
ADVERTISEMENT
Dee mengambil tongkat baja yang sedari tadi berserakan di dekat gudang. Tentu ia gunakan sebagai senjata. Pabrik itu cukup luas, tetapi hanya bagian gudang yang berantakan. Ketika ia beranikan diri buka pintu gudang, Dee mencium bau yang sangat amat menyengat.
Ia paham bau itu. Bau itu disebabkan oleh campuran limbah pabrik dan bau amis darah. Di saat seperti ini, ia merindukan bau nafasnya sendiri. Dee pun menyesal telah gosok gigi.
Ketika lampu gudang dinyalakan, ia mendapati bagian tubuh manusia berserakan. Ada tangan, kaki, kepala, telinga, jeroan, dan masih banyak lagi. Beberapa manusia memang masih utuh namun tak sadarkan diri. Dee tidak mengerti apa yang tengah terjadi. Yang coba ia pahami, lokasi gudang pabrik bak area pembantaian.
ADVERTISEMENT
Di luar, hujan mulai turun membasahi Depok. Petir saling sambar, menambah efek mencekam di dalam gudang. Tangga demi tangga ia susuri. Gudang tersebut bertingkat, dan di tiap lantainya menampilkan lukisan yang sama: jasad manusia, baik yang utuh maupun yang sudah dimutilasi. Semakin ke bawah, bau makin menyengat. Dee tidak dapat pastikan ada berapa jumlah mayat di dalam sana. Namun dari kadar bau yang ditimbulkan, pastilah jumlah itu cukup banyak.
Dee pun akhirnya muntah. Saat isi di dalam perutnya keluar, tongkat yang sedari tadi ia andalkan sebagai alat pertahanan diri jatuh ke dasar gudang. Ketakutan semakin menyelimuti dirinya. Selain karena sudah tidak ada lagi alat untuk memukul, ternyata gudang ini sangat tinggi. Diketahui dari bunyi jatuh tongkat ke dasar gudang yang gelap. Dee yakin masih ada ratusan anak tangga lagi sampai menyentuh dasar gudang. Alih-alih menyusuri ke bawah, Dee segera lari ke atas. Tak lupa ia berteriak minta tolong dengan harapan masih ada manusia lain di atas sana.
ADVERTISEMENT
Sesampainya di atas, Dee dikagetkan oleh pemandangan yang sama sekali berbeda. Tiba-tiba terjadi kekacauan yang sayangnya tidak dapat Dee saksikan sendiri. Pintu gudang yang tidak ia tutup lagi, mungkin membuat seseorang atau sesuatu keluar, lantas melakukan hal apapun yang ia/mereka sukai.
Dari belakang, jas kemeja Dee ditarik oleh sesuatu. Beruntung ia segera menjatuhkan diri lantas membuka jas mahal tersebut. Saat ia membalikkan badan, rasa khawatir Dee berubah menjadi kenyataan. Ia melihat sosok mayat menyerupai zombie yang selama ini hanya mampu ia saksikan di televisi.
Dee yang panik segera melempari barang apa saja yang berada di dekatnya. Baut, obeng, papan keyboard, tisu toilet, hingga iphone yang berada di saku celana. Namun zombie menolak kalah dan terus berusaha mendapatkan Dee. Air liur yang bergelayutan di mulut zombie, cukup membuktikan dirinya lapar.
ADVERTISEMENT
“Hei pemabuk, gunakan bukumu.”
Dee mendengar teriakan itu dari pengeras suara yang menancap di sudut ruangan. Dee tak pernah mengira, speaker yang biasanya berfungsi sebagai alarm tanda bahaya itu sanggup menyelamatkan nyawanya. Tanpa waktu lama, ia laksanakan perintah dari suara asing itu. Lantas ia keluarkan majalah yang dibawa dari kedai minuman, kemudian dilemparkan ke arah zombie.
Kali ini si zombie merasakan sakit yang teramat sangat. Entah mengapa hanya dengan majalah, zombie itu berhasil dilumpuhkan. Padahal berat majalah itu tak seberapa dibandingkan dengan iphone keluaran terbaru. Saat zombie itu tergelepak kesakitan, suara asing itu muncul dengan instruksi terbaru.
“Sekarang kau ambil buku itu lalu arahkan dalam kondisi terbuka ke tubuh zombie.”
ADVERTISEMENT
“Hei tunggu kau siapa?”
“Nanti akan aku jelaskan, sekarang laksanakan saja perintahku.”
Dee melakukan persis seperti apa yang disuruh. Tanpa mengucap bismillah, ia arahkan buku itu ke tubuh zombie. Seketika, zombie berteriak dengan bahasa yang mengandung makna rintihan sakit luar biasa. Zombie itu masuk ke dalam buku dan tidak ada satu bagian tubuhnya tersisa, kecuali air liur yang berceceran di lantai pabrik. Singkatnya, buku atau majalah itu telah menelan zombie.
“Terima kasih telah menyalamatkan ku. Hei, hei tunggu. Dari mana kau tahu aku ini pemabuk?”
“Dasar manusia cuek. Apa kau tidak mengenali suara ku? Semalaman aku bicara tentang buku, filsafat, dan menyinggung sedikit tentang zombie.”
“Astaga, jadi kau ini bartender di kedai minuman itu?”
ADVERTISEMENT
“Jika ini caramu berkenalan, aku bisa pastikan sekarang bukan saat yang tepat. Sekarang kau harus keluar dari gedung ini, dari pabrik ini. Temui aku di parkiran. Jangan lupa kau bawa buku itu.”
Dee segera melaksanakan perintah si bartender. Ia sempat berhenti di sebuah kaca besar yang menghadap Jalan Margonda. Dari situ ia melihat, ratusan orang dengan gerak gerik yang aneh berjalan memadati jalan. Mereka semua seolah menuju ke suatu tempat. Dee melihat buku yang digenggamnya itu, lalu pada sebuah halaman tertulis:
“FILSAFAT HANYA PENGANTAR, SELEBIHNYA KAU SAKSIKAN SENDIRI MUKJIZAT ITU.”
Bersambung…