Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Cerpen: Dosa
30 Oktober 2023 6:00 WIB
Tulisan dari Agung Rifna Ajie tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Embun-embun kepalaku terasa seperti ada petir yang menyambar. Penglihatan seketika gelap gulita, tak ada sedikitpun cahaya. Aku menggosok mataku beberapa kali, kemudian mencoba menatap dengan penuh konsentrasi. Gelap. Hanya suara-suara saja yang terdengar, itupun tidak jelas.
ADVERTISEMENT
“Ampun ya Allah!” Aku seketika tertunduk lunglai ditepi ranjang. Kedua sisi mataku tak terbendung dan tiba-tiba hangat oleh air mata, yang terus mengalir ke pipi.
“Salah sendiri, perilakumu sudah keterlaluan!” Terdengar suara Abah Zakaria, bergema.
Kaget. Aku menoleh kanan-kiri mencari sumber suara. Tapi demi Allah tak terlihat apapun hanya warna hitam disekeliling. Aku berusaha beranjak, sambil kesusahan mulai menyusuri sekeliling kamar meraba dengan tangan. Jelas di kamar ini tidak ada siapa-siapa, kecuali aku sendiri. Pada akhirnya Aku kembali tertunduk lunglai ditepi ranjang.
“Saya mengaku salah…” Kataku, sambil terisak-isak.
“Syukur kalau kau memang merasa!” Balas dari suara Abah Zakaria.
“Mataku kenapa seperti ini Bah?. Tolong…!”
“Biarlah, hitung-hitung pedebus dosa.” Suara Abah Zakaria mulai melembut.
ADVERTISEMENT
“Bagaimana nanti hidupku Bah?. Jika tanpa penglihatan seperti ini?”
“Kenapa Kau harus menyesal?”
Aku takut, tak berani menjawab.
Aku hanya terduduk lemas, terisak-isak, tersedu-sedu. Tepi ranjang sampai basah oleh airmataku, seraya meremas ujung seprai dari ranjang.
“Ini gara-gara Lilis Bah!” Kataku dengan suara lantang.
“Kenapa menyalahkan orang lain?!” Suara Abah Zakaria meninggi.
“Kalau Kau tidak menggoda, tidak akan jadi seperti ini…!”
“Kau yang lemah!, dan Kau yang sudah memaksaku untuk mengajari ilmu Basirah, ilmu yang dapat mengobati penyakit gaib. Aku kan sudah bilang, belum cukup umur Kau untuk menggenggam ilmu itu, tidak akan kuat Kau membawanya. Tidak akan kuat Kau dengan godaannya. Kau yang sudah memaksa sambil memelas dan bekata seperti anak kecil… Oranglain diajari sedang anak sendiri tidak…!”
ADVERTISEMENT
Aku takut, tak berani menjawab.
Aku masih tetap tertunduk lunglai ditepi ranjang. Terisak-isak. Hati penuh penyesalan.
Ingatanku kembali kepada Lilis, wanita yang mengantarkanku kepada musibah ini… Belum lama aku bertemu Lilis. Bukan! Lilis lah yang meminta untuk bertemu. Tepatnya sore hari, saat Aku baru saja pulang bekerja, nampak ada tamu wanita yang sudah menunggu di rumah, masih muda. Kata Ibu, ia sudah menunggu dari sebelum Zuhur. Ingin berobat katanya.
“Lilis! Lilis…!” Bisikku dengan suara lirih, lantaran gambaran Lilis terus nampak di balik kelopak mata ini.
Ya, wanita yang datang kerumah itu begitu lancar berbicara, sambil bercerita tentang penyakitnya. Namanya Lilis, orang Kampung yang jauh, Aku tidak pernah dengar nama tempat tinggalnya. Perutnya sudah lama sakit dan perih. Katanya sudah diperiksa ke Puskemas dan ke dokter beberapakali tetap tidak nampak penyakitnya. Dia tahu Aku dari cerita temannya yang kebetulan adalah tetanggaku.
ADVERTISEMENT
“Kenapa datang sendiri?. Tidak dengan Suami?” Kataku, basa-basi.
Kulit Lilis mendadak sedikit memerah, “Eu…, baru saja bercerai dengan suami…” Jawabnya. “Tadinya ingin mengajak teman, tapi takut merepotkan.” Sambungnya.
“Oh, maaf…” Kata Ku.
“Tak apa…” Balas Lilis pendek.
Beberapa saat kami terdiam, habis bahan untuk cerita.
“Diminum airnya, Dek!” Kata Ibuku yang datang dari belakang.
“Oh, iya terimakasih banyak…” Kata Lilis sedikit terhentak dari lamunan.
“Maaf merepotkan.” Kata Lilis lagi.
“Tidak, tidak merepotkan. Ini juga cuma bisa menyajikan air saja.” Ibuku menjawab.
“Kalau ingin sekarang diobati, sudah disediakan tikar di tengah rumah. Khawatir sudah terlalu lama menunggu.” Kata Ibuku lagi.
“Mari sekarang!” Aku beranjak mengajak Lilis, lalu berjalan ke tengah rumah, Lilis mengikuti.
ADVERTISEMENT
“Silahkan, berbaring saja di tikar.”
Lilis menurut. Lalu ia terus berbaring.
“Biar, tidak perlu membuka pakaian!” Kataku, melihat Lilis tiba-tiba membuka kancing bajunya.
“Oh…” Kata Lilis. Kulit pipinya mendadak merah sambil kembali mengancingkan bajunya.
Saat itu suara jantungku berdetak kencang tak sengaja melihat putihnya kulit bagian dalam Lilis meski cuma sebentar. Jujur saja ini pertamakali Aku mendapatkan pasien wanita muda seperti Lilis… Sambil menghela napas panjang, segera detak jantungku kembali normal. Aku mendekati Lilis, lalu mulai memeriksa badannya…
Benar saja, ada di dalam badan Lilis, ada penyakit dekat rahimnya. Hanya saja penyakit ini tidak akan terdeteksi oleh dokter dan teknologi medis karena ini bukan penyakit biasa, tapi penyakit buatan manusia. Aku sendiri hampir muntah-muntah, perutku seperti ada yang membelit. Ya, memang begitu jika penyakit buatan manusia, suka menyerang ke orang yang akan mengobati.
ADVERTISEMENT
Cepat Aku mengambil segelas air putih. Membaca mantra yang diwariskan dari Abah Zakaria, lalu kutiupkan ke air…
“Silahkan, sekarang minum air ini.” Kataku.
Lilis bangun, menerima air yang aku berikan, kemudian diminum.
“Penyakit apa diperut saya?” Kata Lilis.
“Ah, penyakit perut biasa.” Balasku. Sengaja aku menutupi penyakit yang sebenarnya, lantaran Abah Zakaria pernah berpesan jangan sembarangan mengungkap penyakit buatan manusia, takut menjadi fitnah.
“Jangan dipikirkan, apapun penyakitnya yang penting segera sembuh.” Balasku lagi. “Hanya saja penyakit ini tidak cukup diobati sekali, mungkin sampai dua atau tigakali.” Sambungku.
“Baik.” Balas Lilis, pendek.
Sesudah itu, Lilis berterimakasih, sambil menyimpan amplop di atas meja karena Aku memaksa tidak mau menerima, Lilis kemudian pamit pulang…
ADVERTISEMENT
Aku hanya berdiri termenung di depan pintu, melihat Lilis yang berlalu pulang. Di dalam hati, rasanya Aku tidak mengerti kenapa wanita seperti itu menjanda. Bodoh sekali suami yang meninggalkannya. Sayang, wanita yang cantik rupawan, kulit putih bersih, badan bagus terawat. Pasti akan mengundang birahi banyak laki-laki.
Gambaran Lilis terus nampak di balik kelopak mataku, berbarengan dengan amanat Abah Zakaria.
“Hati-hati, harus bisa menjaga ilmu Basirah. Harus dipakai menolong. Harus tahan godaannya, lantaran melihat umur Kau yang masih muda, masih anak-anak. Oranglain yang diwarisi ilmu ini semuanya berumur lebih dari kepala empat…” Itu sebagian amanat yang disampaikan Abah Zakaria yang aku ingat sewaktu empat puluh hari puasa mutih dan puasa beuti.
ADVERTISEMENT
Aku menghela nafas.
Besoknya, Lilis datang lagi. Aku obati kembali dengan cara yang sama. Namun rasanya semakin hari, aku semakin tertarik dengan pesona Lilis. Naluri lelakiku mulai memudarkan amanat Abah Zakaria.
Seusai duakali pengobatan, penyakit Lilis berangsur-angsur sembuh. Ketigakalinya, benar-benar sudah sembuh. Meski begitu Lilis terus datang berkunjung kerumahku. Setiapkali datang Lilis membawa banyak oleh-oleh. Katanya sebagai tanda terimakasih sambil memanjangkan tali silaturahmi.
Semakin sering bertemu, semakin menggebu-gebu naruli lelakiku, melupakan amanat dari Abah Zakaria. Kebetulan aku merasa Lilis juga seperti memberi tanda ketertarikan. Bukan, memang Lilis yang menggodaku, memberikan tubuhnya. Diawali dengan mulai memberi perhatian, kemudian bersentuhan kulit, tak terasa tidak ada batasan lagi diantara kita, lalu membuat dosa.
ADVERTISEMENT
Sampai berada pada batas naluri lelakiku. Embun-embun kepalaku terasa seperti ada petir yang menyambar. Penglihatan seketika gelap gulita, tak ada sedikitpun cahaya. Aku menjerit menyesal.**
Aku masih tertunduk lunglai di tepi ranjang, kini tak lagi terisak. Airmataku sudah surut. Sekarang dadaku terasa lega setelah selesai tumpah keluar semua air mata.
“Maafkan Saya Bah” bisikku, “Saya mengakui tidak berpikir panjang. Dulu Saya memelas agar diwaris ilmu Basirah… Iri kepada murid Abah… Maafkan saya, karena sudah mengingkari amanat Abah. Saya pasrah kalaupun kepala ini Abah akan penggal, badan ini Abah akan potong…”
“Emh, syukur jika Kau sudah sadar…!” Balas suara Abah Zakaria, “Biarkanlah, nantinya matamu akan sembuh dengan sendirinya. Hanya saja ilmu ini akan Aku cabut kembali!”
ADVERTISEMENT
Dengan berhentinya suara Abah Zakaria, mataku mulai kembali melihat cahaya. ***