Konten dari Pengguna

Refleksi Budaya Feodal: Kenapa Hanya Husein yang Protes?

Agung Rifna Ajie
Pengajar dan Content Writer, Instagram: @agungrifna
13 Mei 2023 13:53 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Agung Rifna Ajie tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Bupati Pangandaran Jeje Wiradinata (kanan) dengan Husein Ali Rafsanjani di Pendopo Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat, Kamis (11/5/2023). Foto: Adeng Bustomi/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Bupati Pangandaran Jeje Wiradinata (kanan) dengan Husein Ali Rafsanjani di Pendopo Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat, Kamis (11/5/2023). Foto: Adeng Bustomi/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Mochtar Lubis dalam pidatonya yang kemudian dibukukan dengan judul “Manusia Indonesia” menjelaskan dengan sinisme tentang enam sifat manusia Indonesia yang sayangnya hampir atau seluruhnya buruk.
ADVERTISEMENT
Salah satu di antaranya adalah “feodal”. Feodal yang dimaksud Lubis bukanlah sistem pemerintahan berbentuk monarki/kerajaan namun lebih kepada watak manusia Indonesia yang masih mengagungkan hierarki.
Penjelasan yang lebih sederhana mungkin dapat dilihat dari pernyataannya Heru Joni Putra dalam sebuah diskusi di Komnas HAM yang dimuat di Gatra pada tanggal 23 Agustus 2019, di mana menurutnya masalah budaya feodal pada masyarakat Indonesia ialah ketakutan dalam mengkritik dan berpikir karena orang yang lebih tua, lebih tinggi jabatannya cenderung membungkam.
Mulanya saya agak tidak setuju dengan pernyataan Lubis. Bagi saya apa yang dijelaskan Lubis terlalu subjektif, stereotip, dan general. Bagaimanapun juga, manusia Indonesia mana yang dimaksud? Mengingat Indonesia sangat beragam yang terdiri dari ratusan etnis yang mempunyai karakter khas masing-masing. Toh antar saudara yang lahir dari rahim yang sama saja sifatnya bisa berlainan.
ADVERTISEMENT
Namun, lewat beberapa hal yang saya alami, saya bisa memaklumi perkataan Lubis dan Heru Joni. Budaya feodal di Indonesia nampaknya sudah sistemik, ada dalam nadi kita yang terselubung dalam kemasan yang menyenangkan untuk di dengar seperti sopan santun, tata krama, dan hormat.
Padahal sambil tidak menghakimi kata-kata yang baik itu, beberapa di antaranya digunakan dengan tidak bertanggung jawab untuk membungkam suara-suara kritis manusia.

Pendidikan yang Menghambat

Ilustrasi kursi dan menja sekolah. Foto: Shutterstock
Meskipun tidak tersurat, sejak kecil generasi saya dididik untuk tidak mempertanyakan keputusan orang tua, guru, atau orang yang hierarkinya lebih tinggi, baik di lingkungan hidup maupun di pendidikan formal.
Memang tidak diajarkan secara langsung, tetapi saat diceramahi karena berbuat salah kita seakan tak diberi ruang untuk membela diri, bahwa alasan-alasan atas kesalahan kita tidaklah penting bagi mereka yang terpenting adalah ceramah dan nasihat mereka.
ADVERTISEMENT
Lebih parahnya, sikap pembelaan diri dan kritik kita kadang dianggap sebagai serangan yang mampu menghambat hegemoni kekuasaan mereka.
Pendidikan yang penuh tekanan seperti ini akan menghambat pada sikap dan cara berpikir kritis. Pada akhirnya orang yang berada di bawah harus tunduk diam kepada yang di atas. Akibatnya kita akan melihat manusia Indonesia yang hanya duduk, dengar, dan kerjakan apa yang diperintah.
Saya memahami bahwa orang tua, senior, guru, bahkan pejabat kita merupakan figur yang layak untuk dihormati. Peran-peran mereka dalam membangun keharmonisan lingkungan sosial adalah usaha-usaha yang patut untuk dipuji.
Disisi lain mereka bukanlah manusia yang tanpa cela, sudut pandang dari orang yang “derajatnya” lebih rendah juga perlu mendapatkan ruang untuk didengar demi perbaikan hidup bersama.
ADVERTISEMENT

Aturan yang Melarang

Guru di Kabupaten Pangandaran, Husein Ali Rafsanjani, curhat di media sosial mengenai dugaan adanya pungutan liar ketika mengikuti Pelatihan Dasar Calon Pegawai Negeri Sipil (Latsar CPNS). Foto: Rachmadi Rasyad/kumparan
Dikutip dari BBC pada 17 Oktober 2019, Menteri PAN-RB Syafruddin mengungkapkan pernyataan kontroversial bahwa ASN dilarang mengkritik pemerintah di ruang publik. Seruan ini kemudian dikritisi sebagai pembatasan kebebasan untuk berekspresi.
Menurut Syafrudin hal ini memang sudah menjadi aturan yang termaktub dalam Undang-undang, apalagi tindakan yang sifatnya menyerang.
Dalam konteks kasus dugaan pungli yang menimpa Husein, jika dihubungkan dengan pernyataan tersebut seperti melaporkan tindakan pungli ke lapor.go.id dan membuat pernyataan di media sosial menurut saya dapat ditafsirkan sebagai tindak menyerang pemerintah.
Bisa kita lihat bersama bahwa budaya feodal masih kental sehingga memainkan peran penting dalam kasus-kasus seperti Husein karena memang secara pendidikan dan aturan dirancang seperti itu.
Jika memang kasus ini benar adanya, saya melihat mungkin tetap kita akan kesulitan melihat pernyataan atau dukungan dari ASN yang juga korban lain, karena justru mereka akan dianggap sebagai orang yang tidak patuh pada hierarki yang ada dan mengganggu stabilitas lingkungan sosial.
ADVERTISEMENT
Jika terus dibiarkan budaya feodal ini lestari, pada akhirnya akan menghambat sikap kritis dan yang membatasi kebebasan berbicara dan berekspresi. Orang-orang yang memiliki pendapat atau pandangan yang berbeda cenderung tidak dihargai atau malah dianggap sebagai ancaman yang harus ditumpas.