Konten dari Pengguna

Joy of Missing Out: Dari Tekanan Digital ke Pilihan Bijak Konsumen

Agung Stefanus Kembau
Dosen Program Studi Bisnis Digital Universitas Bunda Mulia, Memiliki Antusias Digital Consumer Behavior dan Behavioral Economics
12 Januari 2025 8:24 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Agung Stefanus Kembau tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Gambar Illustrasi tolgart/Getty Images
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Gambar Illustrasi tolgart/Getty Images
ADVERTISEMENT
Di tengah derasnya arus informasi dan gaya hidup digital yang serba terhubung, banyak konsumen merasa tertekan untuk terus mengikuti tren. Fenomena ini dikenal dengan Fear of Missing Out (FOMO), rasa cemas atau takut ketinggalan sesuatu—apakah itu diskon besar-besaran, acara sosial, atau pengalaman yang dibagikan orang lain di media sosial. Namun, dari tekanan FOMO ini lahir sebuah gerakan baru: Joy of Missing Out (JOMO).
ADVERTISEMENT
JOMO adalah kebalikan dari FOMO. Jika FOMO membuat seseorang terjebak dalam tekanan sosial dan dorongan untuk selalu “ikut-ikutan,” maka JOMO hadir sebagai sebuah perayaan atas kebebasan untuk memilih tidak terlibat. JOMO adalah tentang bahagia dengan keputusan untuk melewatkan sesuatu, menikmati momen yang lebih tenang, dan berfokus pada apa yang benar-benar penting bagi diri sendiri.
Dalam konteks dunia usaha, terutama bagi pelaku UMKM dan e-commerce, fenomena JOMO ini menghadirkan tantangan yang tidak kecil. Selama bertahun-tahun, strategi pemasaran telah mengandalkan FOMO untuk menciptakan rasa urgensi. Tapi, bagaimana jika konsumen kini mulai berpaling dari rasa takut itu? Bagaimana jika konsumen lebih memilih untuk berhenti berlari dalam roda digital yang tak pernah berhenti berputar?
ADVERTISEMENT

Mengapa JOMO Muncul?

Munculnya JOMO bukanlah suatu kebetulan. Ini adalah reaksi terhadap era hiper-digitalisasi yang terus memaksa orang untuk selalu terhubung, mengonsumsi, dan membandingkan hidup mereka dengan orang lain. Fenomena ini dapat dijelaskan melalui beberapa perspektif teoretis yang relevan:
1. Overload Informasi dan Digital Fatigue
Menurut teori Information Overload yang dikemukakan Alvin Toffler (1970), manusia memiliki kapasitas terbatas untuk memproses informasi. Di era digital, kapasitas ini diuji secara ekstrem. Konsumen dibanjiri dengan pemberitahuan, promosi, dan konten media sosial tanpa henti. Bukan hanya melelahkan, situasi ini juga memunculkan perasaan cemas karena takut ketinggalan informasi penting.
JOMO adalah bentuk perlawanan terhadap kondisi ini. Sebagaimana dicatat oleh Chan et al. (2022), konsumen yang mengadopsi JOMO berusaha mengurangi tekanan informasi dengan memilih untuk melepaskan keterlibatan mereka di dunia digital secara sadar. Ini bukan sekadar tentang menonaktifkan notifikasi media sosial, melainkan tentang membuat pilihan yang lebih mindful dalam mengatur kehidupan mereka.
ADVERTISEMENT
2. Teori Otonomi dan Self-Determination
Dalam perspektif Self-Determination Theory (Deci & Ryan, 1985), manusia memiliki kebutuhan dasar untuk merasa otonom dan memiliki kendali atas hidup mereka. FOMO sering kali membuat konsumen merasa kehilangan kendali karena tekanan untuk mengikuti tren yang ditentukan oleh orang lain. Sebaliknya, JOMO memberikan ruang untuk menegaskan kembali kendali itu.
Seperti yang dijelaskan oleh Rautela dan Sharma (2022), JOMO adalah tentang memberikan konsumen kebebasan untuk memilih apa yang relevan bagi mereka, alih-alih tunduk pada tekanan sosial atau komersial. Konsumen yang mindful tidak lagi melihat nilai dalam mengejar “pengalaman sempurna” yang ditawarkan media sosial, tetapi justru menemukan kepuasan dalam rutinitas sederhana dan pengalaman yang lebih personal.
3. Pergeseran Menuju Konsumsi yang Mindful
ADVERTISEMENT
Tren ini juga menunjukkan pergeseran yang lebih luas dalam perilaku konsumen menuju konsumsi yang lebih mindful atau penuh kesadaran. Konsumen yang mengadopsi pola pikir JOMO lebih selektif dalam mengonsumsi produk dan informasi. Mereka mengutamakan kualitas dibanding kuantitas, dan sering kali mencari produk yang selaras dengan nilai-nilai pribadi mereka, seperti keberlanjutan atau etika bisnis.
Sebagaimana diungkapkan oleh Dalton (2019) dalam bukunya The Joy of Missing Out: Live More by Doing Less, pola pikir ini mencerminkan kebutuhan mendasar manusia untuk memperlambat langkah di dunia yang semakin cepat. JOMO, dalam banyak hal, adalah seruan untuk kembali ke nilai-nilai sederhana, seperti kehadiran penuh dalam momen atau kebahagiaan yang tidak tergantung pada validasi eksternal.
ADVERTISEMENT

Dampak JOMO pada Strategi Pemasaran

Bagi UMKM dan e-commerce, perubahan pola pikir konsumen ini membawa tantangan yang signifikan. Jika selama ini FOMO menjadi strategi utama untuk menciptakan rasa urgensi, kini pendekatan itu mulai kehilangan daya tariknya di mata konsumen JOMO. Berikut beberapa perubahan yang perlu diperhatikan:
1. FOMO-Based Tactics Tidak Lagi Efektif
Teknik pemasaran seperti flash sale, promosi berbatas waktu, atau kampanye “last chance” mungkin masih bekerja untuk sebagian segmen konsumen. Namun, bagi konsumen yang mengadopsi JOMO, strategi ini justru dianggap membebani dan manipulatif. Mereka cenderung mengabaikan pesan-pesan yang memanfaatkan rasa takut dan lebih tertarik pada narasi yang menonjolkan nilai autentik dan relevansi produk.
2. Tantangan dalam Meningkatkan Engagement Media Sosial
Konsumen JOMO cenderung mengurangi waktu mereka di media sosial atau bahkan memilih untuk meninggalkan platform tertentu. Hal ini menciptakan tantangan bagi UMKM yang sangat bergantung pada media sosial sebagai kanal utama pemasaran.
ADVERTISEMENT
3. Meningkatnya Permintaan Akan Keaslian
Konsumen JOMO memiliki radar yang tajam terhadap pemasaran yang terasa palsu atau terlalu dibuat-buat. Mereka menghargai merek yang transparan, jujur, dan memiliki cerita yang autentik.

Strategi untuk Menjangkau Konsumen JOMO

Bagaimana UMKM dapat merespons perubahan ini? Berikut beberapa strategi yang relevan:
1. Fokus pada Pemasaran Berbasis Nilai (Value-Based Marketing)
Daripada menekankan urgensi, UMKM dapat menonjolkan nilai-nilai yang relevan dengan konsumen JOMO. Misalnya, menekankan keberlanjutan produk, penggunaan bahan ramah lingkungan, atau dampak sosial positif dari bisnis mereka.
2. Autentisitas dan Transparansi
Narasi yang autentik akan lebih menarik bagi konsumen JOMO. UMKM dapat berbagi cerita tentang perjalanan bisnis mereka, proses produksi yang etis, atau hubungan mereka dengan komunitas lokal.
3. Diversifikasi Kanal Pemasaran
ADVERTISEMENT
Dengan berkurangnya keterlibatan konsumen di media sosial, UMKM perlu mendiversifikasi strategi pemasaran mereka. Pendekatan offline, seperti acara komunitas atau kolaborasi lokal, dapat menjadi alternatif yang efektif.
4. Personalization over Generalization
Alih-alih melakukan kampanye massal, UMKM dapat memanfaatkan teknologi untuk menghadirkan pengalaman yang lebih personal. Misalnya, menggunakan data pelanggan untuk menawarkan rekomendasi produk yang relevan dengan kebutuhan mereka.
5. Promosi Gaya Hidup Mindful
Produk yang mendukung gaya hidup mindful, seperti jurnal untuk refleksi diri atau produk yang mendukung relaksasi, dapat diposisikan sebagai bagian dari solusi untuk mencapai keseimbangan hidup di tengah tekanan digital.

Kesimpulan

JOMO bukan sekadar tren sesaat, melainkan refleksi dari perubahan mendalam dalam cara konsumen memandang dunia digital dan perilaku konsumsi mereka. Dalam dunia yang semakin penuh dengan tekanan dan distraksi, konsumen mencari ketenangan, kontrol, dan relevansi.
ADVERTISEMENT
Bagi UMKM dan e-commerce, JOMO adalah tantangan sekaligus peluang. Merek yang mampu beradaptasi dengan nilai-nilai baru ini, seperti mindfulness, autentisitas, dan keberlanjutan, akan memiliki peluang lebih besar untuk membangun hubungan jangka panjang dengan pelanggan mereka.
Sebagaimana diungkapkan oleh Chan et al. (2022), “JOMO bukan hanya tentang memutuskan apa yang akan dilewatkan, tetapi juga tentang menciptakan ruang untuk apa yang benar-benar penting.” Dalam hal ini, merek yang memahami esensi JOMO akan lebih siap untuk memenuhi kebutuhan konsumen di era baru ini.

Referensi

Chan, S. S., Van Solt, M., Cruz, R. E., Philp, M., Bahl, S., Serin, N., ... & Canbulut, M. (2022). Social media and mindfulness: From the fear of missing out (FOMO) to the joy of missing out (JOMO). Journal of Consumer Affairs, 56(3), 1312-1331.
ADVERTISEMENT
Deci, E. L., & Ryan, R. M. (1985). Intrinsic motivation and self-determination in human behavior. Springer Science & Business Media.
Dalton, T. (2019). The Joy of Missing Out: Live More by Doing Less. Thomas Nelson.
Rautela, S., & Sharma, S. (2022). Fear of missing out (FOMO) to the joy of missing out (JOMO): shifting dunes of problematic usage of the internet among social media users. Journal of Information, Communication and Ethics in Society, 20(4), 461-479.
Toffler, A. (1970). Future Shock. Random House.