Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Lipstick Effect: Konsumsi di Tengah Ketidakpastian
2 November 2024 17:56 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Agung Stefanus Kembau tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Di tengah ketidakpastian yang melanda, pilihan konsumsi kita mencerminkan harapan dan kebutuhan akan kebahagiaan serta koneksi. Dengan Indonesia mengalami deflasi —lima bulan berturut-turut harga barang dan jasa turun—masyarakat menghadapi tantangan baru. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat deflasi sebesar 0,12% pada September 2024, dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) turun dari 106,06 menjadi 105,93. Meskipun harga yang lebih murah dapat memberikan sedikit kelegaan, deflasi juga menandakan penurunan permintaan yang dapat memicu kecemasan dalam perekonomian. Namun, di balik statistik yang menggambarkan kesulitan ini, muncul sebuah fenomena menarik dan penuh makna: Lipstick Effect .
Fenomena ini menunjukkan bagaimana konsumen cenderung membeli barang-barang kecil dan terjangkau sebagai pelipur lara di tengah badai ketidakpastian. Dalam tulisan ini, saya akan mengajak pembaca menyelami dinamika Lipstick Effect di Indonesia , menganalisis berbagai faktor yang mempengaruhinya, serta merenungkan dampaknya terhadap perilaku konsumsi masyarakat.
ADVERTISEMENT
Lipstick Effect: Sebuah Fenomena Psikologis dan Sosial
Faktor Psikologis: Saat kondisi ekonomi memburuk, kecemasan dan stres menyelimuti banyak orang. Pembelian, bahkan untuk barang-barang kecil, menjadi cara untuk meredakan perasaan tersebut. Konsumen menemukan dalam lipstik atau produk kecantikan lainnya sepotong kendali—seolah-olah dalam dunia yang berantakan ini, mereka masih dapat menentukan satu aspek dari kehidupan mereka (Hill et al., 2012). Produk-produk ini bukan hanya sekadar kosmetik; mereka adalah pengingat bahwa kebahagiaan, meskipun hanya sesaat, masih dapat dijangkau.
ADVERTISEMENT
Faktor Sosial: Di tengah komunitas yang begitu menghargai penampilan, barang-barang kecil ini berfungsi sebagai simbol status. Pembelian ini mengungkapkan makna yang dalam—di balik setiap lipstik yang dibeli terdapat keinginan untuk diakui, untuk merasa menarik dan berharga di mata orang lain (Netchaeva & Rees, 2016). Dalam konteks Indonesia, tekanan sosial untuk tampil “sempurna” menciptakan siklus di mana individu merasa perlu untuk terus berbelanja, meskipun anggaran mereka terjepit.
Di samping itu, fenomena FOMO (Fear of Missing Out) dan YOLO (You Only Live Once) semakin memperkuat dorongan untuk membeli. FOMO membuat individu merasa harus segera membeli experience atau produk terbaru agar tidak ketinggalan tren atau pengalaman sosial, sementara YOLO mendorong mereka untuk menikmati hidup meskipun kondisi keuangan terbatas. Meskipun daya beli masyarakat mengalami penurunan, kita melihat fenomena menarik di Indonesia, di mana produk-produk tersier tetap laris manis. Misalnya, penjualan tiket konser dari artis lokal dan internasional terus meningkat, meskipun harga tiket sering kali tidak murah. Masyarakat merasa bahwa pengalaman ini adalah investasi berharga yang tidak ingin mereka lewatkan. Selain itu, penjualan handphone terbaru dan produk skincare juga menunjukkan tren positif. Banyak konsumen yang tetap mengeluarkan uang untuk perawatan kulit dan kosmetik, meskipun dalam keadaan ekonomi yang sulit. Ini menunjukkan bahwa barang-barang tersebut bukan hanya sekadar kebutuhan, tetapi juga simbol status dan cara untuk merasakan kebahagiaan di tengah tekanan.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, Dan Ariely , seorang ahli perilaku ekonomi, mengemukakan bahwa kita sering kali tidak menyadari betapa besar pengaruh konteks dan situasi terhadap keputusan yang kita buat. Dalam karyanya, Predictably Irrational , Ariely menunjukkan bahwa individu tidak selalu bertindak rasional dalam keputusan belanja mereka. Dalam hal ini, membeli barang-barang kecil selama masa krisis ekonomi bukanlah keputusan yang sepenuhnya rasional, tetapi lebih merupakan respons terhadap tekanan emosional dan sosial yang ada.
ADVERTISEMENT
Dampak Lipstick Effect: Antara Pelipur Lara dan Kecenderungan Berbahaya
Sementara Lipstick Effect memberikan dorongan bagi sektor-sektor tertentu, seperti kosmetik dan fashion, yang mengalami pertumbuhan pesat, kita harus menyadari bahwa tidak semua yang bersinar itu baik. Laporan dari Euromonitor International menunjukkan bahwa pasar kosmetik Indonesia diperkirakan tumbuh hingga 8% per tahun, bahkan di tengah tekanan ekonomi (Euromonitor International, 2024). Namun, ada sisi gelap di balik kecenderungan ini.
Kecenderungan Berbahaya: Konsumsi barang-barang kecil ini, meskipun memberikan kepuasan sesaat, sering kali menimbulkan masalah yang lebih besar. Survei oleh OJK menunjukkan bahwa 45% responden terjebak dalam utang kartu kredit akibat belanja impulsif. Di sinilah ironi terjadi: barang-barang kecil yang seharusnya memberikan kebahagiaan justru dapat berujung pada rasa bersalah dan kecemasan yang mendalam. Penelitian oleh Netchaeva dan Rees (2016) menunjukkan bahwa perilaku konsumsi yang tidak sehat ini bisa menjadi pemicu gangguan kecemasan dan depresi, menciptakan siklus kesedihan baru dalam upaya mencari kebahagiaan.
ADVERTISEMENT
Motivasi di Balik Lipstick Effect: Sebab dan Akibat
1. Krisis Identitas: Ketika krisis ekonomi melanda, banyak individu merasa kehilangan arah. Pembelian barang kecil dapat berfungsi sebagai pernyataan diri, sebuah cara untuk menegaskan kembali identitas di tengah ketidakpastian. Dalam dunia yang kacau, barang-barang ini memberikan rasa bahwa mereka masih memiliki kendali, seolah-olah mereka dapat mengatur satu aspek dari kehidupan mereka yang semakin tidak pasti.
2. Dampak Media Sosial: Di era digital, tekanan dari media sosial untuk mempertahankan citra positif semakin menguat. Gambar-gambar glamor di Instagram mendorong individu untuk berinvestasi dalam penampilan mereka, menciptakan sebuah ilusi bahwa kebahagiaan dapat dibeli. Banyak yang merasa terjebak dalam kompetisi visual ini, yang semakin menegaskan keberadaan Lipstick Effect dalam keseharian mereka (MacDonald & Dildar, 2020).
ADVERTISEMENT
3. Kebutuhan untuk Menghibur Diri: Lipstick Effect juga dapat dilihat sebagai upaya untuk menghibur diri. Dalam kondisi penuh tekanan, individu mencari cara untuk mengalihkan perhatian dari realitas pahit. Pembelian barang kecil memberikan pengalihan yang menyenangkan, seolah-olah menjanjikan kebahagiaan yang bisa diandalkan (Hill et al., 2012).
4. Norma Sosial dan Lingkungan: Tekanan sosial untuk terlihat baik dan mengikuti tren juga menjadi pendorong utama. Dalam budaya Indonesia yang mengutamakan penampilan, orang merasa terpaksa untuk membeli produk yang bisa meningkatkan citra mereka, meskipun kondisi keuangan mereka terbatas. Hal ini memperkuat kebutuhan untuk berbelanja sebagai bentuk pengakuan sosial.
Kesimpulan: Lipstick Effect sebagai Fenomena Perilaku Konsumen di Indonesia
Lipstick Effect di Indonesia pada tahun 2024 mengungkapkan kisah yang menggugah tentang bagaimana masyarakat beradaptasi menghadapi tantangan ekonomi. Fenomena ini bukan hanya sekadar perilaku konsumsi; ia mencerminkan kebutuhan emosional dan sosial yang dalam, di mana individu mencari kebahagiaan di tengah kesulitan. Dalam masyarakat yang kerap menilai penampilan sebagai cerminan status sosial, Lipstick Effect mengungkapkan kerinduan akan pengakuan dan validasi.
ADVERTISEMENT
Dengan meningkatnya tekanan ekonomi, banyak konsumen beralih ke produk-produk kecil untuk merasakan sedikit kendali dan kebahagiaan. Meskipun barang-barang ini memberikan ilusi bahwa mereka masih dapat menikmati hidup, realitas sering kali berbicara lain. Lipstick Effect adalah cerminan dari kebutuhan emosional yang lebih dalam, di mana produk-produk kecil menjadi simbol harapan dan pelarian dari kenyataan yang sulit.
Memahami Lipstick Effect sebagai fenomena unik dalam konteks perilaku konsumen di Indonesia mengajak kita untuk merenungkan makna di balik tindakan konsumsi tersebut. Di balik setiap keputusan untuk membeli, ada cerita, harapan, dan keinginan yang mencerminkan siapa kita sebenarnya. Dalam konteks ini, Lipstick Effect bukan hanya tentang barang yang kita beli; ia adalah cermin dari aspirasi dan tantangan yang kita hadapi sebagai individu dan sebagai masyarakat.
ADVERTISEMENT
Referensi
1. MacDonald, D., & Dildar, Y. (2020). Social and psychological determinants of consumption: Evidence for the lipstick effect during the Great Recession. Journal of Behavioral and Experimental Economics, 86, 101527. https://doi.org/10.1016/j.socec.2020.101527
2. Hill, S. E., Rodeheffer, C. D., Griskevicius, V., Durante, K., & White, A. E. (2012). Boosting beauty in an economic decline: Mating, spending, and the lipstick effect. Journal of Personality and Social Psychology, 103(2), 275. https://doi.org/10.1037/a0028728
3. Netchaeva, E., & Rees, M. (2016). Strategically stunning: The professional motivations behind the lipstick effect. Psychological Science, 27(8), 1157-1168. https://doi.org/10.1177/0956797616647763
4. Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII). (2024). Laporan Survei Pengguna Internet 2024. Diakses dari website APJII.
5. Otoritas Jasa Keuangan (OJK). (2023). Survei Kesehatan Keuangan dan Perilaku Konsumsi Masyarakat. Diakses dari website OJK.
ADVERTISEMENT
6. World Bank. (2023). Indonesia Economic Quarterly: Navigating Uncertainty. Diakses dari website World Bank.
7. Euromonitor International. (2024). Beauty and Personal Care in Indonesia. Diakses dari website Euromonitor.