Konten dari Pengguna

Mengkritisi Relevansi Teori Generasi dalam Konteks Indonesia

Agung Stefanus Kembau
Dosen Program Studi Bisnis Digital Universitas Bunda Mulia, Memiliki Antusias Digital Consumer Behavior dan Behavioral Economics
31 Agustus 2024 12:03 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Agung Stefanus Kembau tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Potret Masyarakat Indonesia. Photo by Fikri Rasyid on Unsplash
zoom-in-whitePerbesar
Potret Masyarakat Indonesia. Photo by Fikri Rasyid on Unsplash
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Teori pembagian generasi sering kali digunakan sebagai alat untuk mengkategorikan dan memahami perbedaan dalam perilaku, nilai, dan preferensi antara kelompok usia yang berbeda. Dengan memberikan penjelasan yang tampak sederhana, teori ini memetakan bagaimana Generasi X, Millennials (Generasi Y), dan Generasi Z memiliki karakteristik yang berbeda.
ADVERTISEMENT
Namun, penerapan teori ini dalam konteks Indonesia perlu ditelaah lebih kritis. Mengingat kompleksitas sosial, ekonomi, dan budaya Indonesia yang sangat berbeda dengan negara-negara Barat, kita harus bertanya: apakah perbedaan yang diamati benar-benar mencerminkan karakteristik generasi, ataukah ini sekadar cerminan dari tahapan kehidupan (life-stages) yang dialami oleh individu pada usia tertentu?
Pertanyaan ini menjadi krusial ketika kita menyadari bahwa perilaku yang sering dikaitkan dengan generasi mungkin sebenarnya lebih dipengaruhi oleh tahap kehidupan, seperti stabilitas ekonomi atau kematangan emosional, yang cenderung seragam di lintas generasi pada usia yang sama.
Di Indonesia, teori generasi telah diadopsi secara luas dalam berbagai konteks, dari skripsi mahasiswa hingga laporan pemerintah, menunjukkan pengaruhnya yang kuat dalam analisis sosial. Namun, adopsi yang luas ini tidak selalu disertai dengan pemahaman yang mendalam mengenai konteks lokal. Sering kali, teori ini diterapkan tanpa mempertimbangkan realitas sosial yang kompleks di Indonesia, seperti perbedaan akses terhadap pendidikan dan teknologi, atau dampak dari sejarah politik yang unik.
ADVERTISEMENT
Ketika kita menggunakan teori generasi tanpa penyesuaian ini, kita berisiko mengabaikan faktor-faktor penting yang membentuk perilaku dan nilai-nilai individu di Indonesia. Oleh karena itu, penerapan teori generasi harus dilakukan dengan hati-hati, mempertimbangkan konteks sosial-ekonomi yang spesifik untuk menghasilkan analisis yang lebih akurat dan relevan dalam menggambarkan masyarakat Indonesia yang beragam.

Sejarah dan Dasar Teori Generasi

Teori generasi, sebagaimana dipopulerkan oleh William Strauss dan Neil Howe dalam buku mereka "Generations: The History of America’s Future, 1584 to 2069" (1991), menyatakan bahwa sejarah dapat dipahami melalui siklus generasi yang berulang. Mereka mengidentifikasi empat tipe generasi yang berulang—Prophet, Nomad, Hero, dan Artist—dan berpendapat bahwa setiap generasi memiliki pola perilaku yang berbeda berdasarkan pengalaman kolektif mereka selama masa perkembangan.
ADVERTISEMENT
Konsep ini menjadi sangat populer, terutama di Amerika Serikat, karena menawarkan cara untuk mengkategorikan dan memprediksi perilaku kelompok besar berdasarkan tahun kelahiran mereka. Misalnya, Millennials sering digambarkan sebagai generasi yang adaptif terhadap teknologi dan mengutamakan pengalaman dibandingkan aset material, sementara Generasi Z dikenal sebagai digital natives yang sangat tergantung pada teknologi.
Namun, popularitas teori ini tidak lepas dari kritik akademik. Para kritikus berpendapat bahwa teori generasi terlalu menyederhanakan realitas sosial yang kompleks. Philip N. Cohen, seorang sosiolog terkemuka, misalnya, berpendapat bahwa teori ini lebih banyak mengandalkan stereotip daripada bukti empiris yang kuat. Dalam pandangan Cohen, perbedaan perilaku yang sering dikaitkan dengan generasi lebih mungkin disebabkan oleh tahap kehidupan (life-stages) daripada oleh karakteristik generasi yang unik.
ADVERTISEMENT

Tantangan dalam Menerapkan Teori Generasi di Indonesia

Ketika kita mencoba menerapkan teori generasi dalam konteks Indonesia, tantangan-tantangan ini menjadi semakin nyata. Indonesia adalah negara dengan sejarah, budaya, dan struktur sosial yang sangat berbeda dari Amerika Serikat. Setiap generasi di Indonesia dibentuk oleh kondisi sosial, ekonomi, dan politik yang unik.
Sebagai contoh, Generasi Baby Boomers di Indonesia (lahir antara 1946-1964) tumbuh dalam periode pasca-kemerdekaan yang penuh dengan upaya pembangunan nasional di bawah pemerintahan Sukarno dan kemudian Soeharto. Mereka dibentuk oleh narasi nasionalisme, pembangunan ekonomi, dan stabilitas politik yang dijanjikan oleh Orde Baru. Sebaliknya, Generasi X (lahir 1965-1980) di Indonesia mengalami masa transisi yang penuh ketidakpastian, termasuk krisis ekonomi 1998 dan transisi menuju demokrasi pasca-Reformasi.
ADVERTISEMENT
Ketika kita membandingkan ini dengan konteks Amerika, jelas bahwa pengalaman sosial dan politik yang membentuk setiap generasi sangat berbeda. Oleh karena itu, penggunaan teori generasi tanpa penyesuaian yang tepat untuk konteks Indonesia berisiko mengabaikan realitas sosial yang kompleks dan dinamis di negara ini.

Life-Stages vs Karakteristik Generasi

Salah satu kritik paling mendalam terhadap teori generasi adalah bahwa perbedaan yang diamati dalam perilaku kelompok usia sering kali lebih merupakan hasil dari life-stages daripada karakteristik generasi. Life-stages mengacu pada tahapan kehidupan yang dialami seseorang, seperti masa kanak-kanak, remaja, dewasa awal, dan seterusnya, yang secara alami mempengaruhi prioritas, nilai, dan perilaku.
Misalnya, anggapan bahwa Generasi Z kurang peduli terhadap menabung atau membeli rumah sering muncul dalam diskusi tentang perilaku generasi muda. Namun, apakah ini benar-benar mencerminkan karakteristik generasi, atau hanya fakta bahwa mereka masih muda dan belum mencapai stabilitas keuangan yang diperlukan untuk investasi jangka panjang?
ADVERTISEMENT
Generasi sebelumnya, seperti Millennials, juga menunjukkan pola pikir yang serupa ketika mereka berada pada usia yang sama. Ketika mereka tumbuh dan menghadapi tanggung jawab yang lebih besar, prioritas mereka juga berubah, seperti halnya yang akan terjadi pada Generasi Z seiring waktu.
Pendekatan ini menantang kita untuk mempertimbangkan bahwa apa yang tampaknya menjadi karakteristik generasi sebenarnya mungkin hanya cerminan dari tahap kehidupan yang berbeda. Dengan kata lain, perbedaan yang kita lihat mungkin lebih berkaitan dengan perkembangan alami dalam kehidupan seseorang daripada dengan perbedaan mendasar dalam nilai-nilai atau kepribadian.

Faktor Ekonomi dan Sosial yang Berperan

Selain life-stages, faktor ekonomi dan sosial juga sangat berpengaruh dalam membentuk perilaku generasi. Di Indonesia, misalnya, ketidakstabilan ekonomi, perubahan dalam kebijakan pemerintah, dan perbedaan dalam akses terhadap pendidikan dan teknologi dapat berdampak besar pada perilaku individu.
ADVERTISEMENT
Generasi Z di Indonesia tumbuh dalam dunia yang sangat berbeda dari Generasi X atau Y. Mereka adalah digital natives yang tidak pernah mengenal dunia tanpa internet. Namun, meskipun mereka sangat terbiasa dengan teknologi, akses terhadap sumber daya ini tidak merata di seluruh Indonesia. Perbedaan regional dalam akses teknologi dan pendidikan menciptakan kesenjangan yang signifikan dalam cara Generasi Z di perkotaan dan pedesaan memandang dunia.
Selain itu, situasi ekonomi juga memainkan peran besar. Dengan biaya hidup yang terus meningkat dan upah yang stagnan, banyak Generasi Z merasa sulit untuk mencapai stabilitas keuangan, apalagi memikirkan untuk membeli rumah. Ini bukanlah indikasi bahwa mereka tidak peduli tentang investasi jangka panjang, tetapi lebih merupakan cerminan dari kondisi ekonomi yang menantang yang mereka hadapi.
ADVERTISEMENT
Ketika kita mempertimbangkan semua faktor ini—life-stages, konteks sosial, ekonomi, dan budaya—menjadi jelas bahwa teori generasi dalam bentuk aslinya mungkin terlalu sempit untuk sepenuhnya menjelaskan perilaku dan nilai-nilai masyarakat Indonesia. Kita membutuhkan pendekatan yang lebih nuansa yang dapat mengakomodasi kompleksitas realitas sosial di Indonesia.
Dalam konteks ini, penting untuk mengakui bahwa sementara teori generasi dapat memberikan kerangka kerja yang berguna untuk memahami tren umum, itu tidak boleh digunakan sebagai satu-satunya alat analisis. Kita harus menggabungkannya dengan pemahaman yang lebih dalam tentang faktor-faktor lain yang mempengaruhi perilaku individu dan kelompok di Indonesia.

Mengapa Kita Harus Berhati-hati dalam Menerapkan Teori Generasi

Akhirnya, penting untuk diingat bahwa teori generasi, seperti semua teori, memiliki batasannya. Menerapkannya tanpa penyesuaian yang tepat untuk konteks lokal dapat menghasilkan kesimpulan yang menyesatkan. Ini tidak hanya berlaku untuk Indonesia tetapi juga untuk negara-negara lain dengan dinamika sosial dan budaya yang berbeda.
ADVERTISEMENT
Jika kita ingin memahami perilaku generasi dengan lebih baik, kita harus mengadopsi pendekatan yang lebih kritis dan analitis. Ini berarti mempertimbangkan tidak hanya kapan seseorang lahir tetapi juga bagaimana pengalaman hidup, tahap kehidupan, dan kondisi sosial-ekonomi membentuk perilaku mereka. Dengan cara ini, kita dapat menghindari generalisasi yang berlebihan dan lebih akurat dalam menganalisis dinamika sosial di Indonesia.
Jadi, ketika kita berbicara tentang Generasi Z atau Millennials di Indonesia, mari kita berhenti sejenak dan bertanya: Apakah kita benar-benar menggambarkan mereka sebagai kelompok generasi, atau kita hanya melihat refleksi dari tahap kehidupan yang mereka jalani saat ini?
Jika jawabannya adalah yang kedua, maka kita harus lebih berhati-hati dalam menarik kesimpulan dan lebih berfokus pada memahami konteks yang lebih luas di mana mereka hidup dan berkembang. Dengan demikian, kita dapat membangun pemahaman yang lebih komprehensif dan relevan tentang masyarakat Indonesia, tanpa terjebak dalam stereotip generasi yang terlalu sederhana.
ADVERTISEMENT