Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Pelari Kalcer: Konsumerisme Olahraga
17 Agustus 2024 16:46 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Agung Stefanus Kembau tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Fenomena Pelari Kalcer di Indonesia merupakan salah satu manifestasi menarik dari persimpangan antara olahraga, konsumerisme, dan identitas sosial. Pelari Kalcer, yang memadukan olahraga lari dengan fashion, telah mengubah persepsi umum tentang kebugaran. Kini, lari bukan hanya tentang kebugaran fisik, tetapi juga tentang estetika, status, dan gaya hidup baik di jalanan kota maupun di feed Instagram dan Fotoyu . Pertanyaannya adalah, apakah tren ini benar-benar membantu masyarakat menjadi lebih sehat, atau justru menjebak kita dalam lingkaran konsumerisme yang tidak produktif?
ADVERTISEMENT
Makna di Balik "Kalcer"
Menurut Handoko Hendroyono, istilah "Kalcer" tidak sekadar ungkapan bercanda dari "Kali Lari Cepat," tetapi merupakan kependekan dari "Culture." Kalcer merepresentasikan subkultur urban yang menggabungkan olahraga dengan fashion dan gaya hidup, mirip dengan fenomena "Kawai" di Jepang, di mana estetika menjadi pusat identitas sosial. Pelari Kalcer bukan hanya pelari, tetapi mereka adalah bagian dari subkultur yang memproyeksikan citra diri melalui penampilan, bukan sekadar kebugaran. Tren ini lebih dari sekadar kebugaran, tetapi juga cerminan budaya.
Pengaruh Kelas Menengah dan Konsumerisme
Secara kasatmata, tren ini dipicu oleh perkembangan kelas menengah perkotaan yang semakin peduli dengan kesehatan dan penampilan. Data dari Euromonitor International mengindikasikan pertumbuhan signifikan kelas menengah di Indonesia yang mencapai 52 juta pada 2023, mencerminkan daya beli yang meningkat dan gaya hidup yang lebih aspiratif. Kelas menengah ini merupakan konsumen utama yang menopang tren Pelari Kalcer, dengan tuntutan akan produk-produk premium yang tidak hanya memberikan kenyamanan saat berolahraga, tetapi juga memproyeksikan status sosial yang diinginkan.
ADVERTISEMENT
Sejalan dengan itu, industri pakaian olahraga juga mengalami lonjakan pertumbuhan. Pada 2022, penjualan pakaian olahraga di Asia-Pasifik, termasuk Indonesia, mencapai angka sekitar 109 miliar USD, menurut Statista . Angka ini mengungkapkan bahwa tren olahraga telah menjadi bagian dari gaya hidup modis, didorong oleh pemasaran yang cerdas dan pengaruh media sosial. Produk-produk dari merek seperti Nike, Adidas, dan 2XU diposisikan bukan sekadar untuk meningkatkan performa, tetapi untuk membentuk gaya hidup dan citra diri. Strategi pemasaran aspiratif yang mereka gunakan membentuk hubungan emosional antara konsumen dan produk, meyakinkan kita bahwa membeli produk-produk ini bukan hanya soal kenyamanan tetapi tentang siapa kita dan bagaimana kita ingin dilihat.
Namun, terdapat dilema mendasar yang perlu dipertimbangkan. Olahraga pada dasarnya adalah aktivitas sederhana yang bertujuan menjaga kesehatan tubuh dan pikiran. Dengan tren Pelari Kalcer, apakah kita mulai kehilangan esensi dari lari itu sendiri? Lari, yang seharusnya hanya memerlukan sepasang sepatu dan semangat, kini berubah menjadi sesuatu yang kompleks dengan tuntutan fashion dan branding. Apakah kita berlari untuk kesehatan, atau hanya untuk memenuhi standar sosial yang dikonstruksi oleh budaya konsumsi?
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, sulit untuk menyangkal bahwa tren ini juga memiliki efek positif yang tidak dapat diabaikan. Survei oleh Indonesia Running Club pada 2023 menunjukkan bahwa 68% pelari di Jakarta dan Bandung mengaku termotivasi untuk memulai lari karena tren media sosial yang mempromosikan lari sebagai gaya hidup sehat dan modis. Apakah ini hal buruk? Jika konsumerisme mampu mendorong orang untuk lebih aktif, bahkan meskipun sebagian besar didorong oleh motivasi eksternal seperti pengakuan sosial, maka ini tetaplah langkah ke arah yang lebih baik.
Namun, retorika ini tidak bisa diabaikan begitu saja: apakah kita hanya mengganti satu bentuk penindasan sosial dengan yang lain? Jika sebelumnya masyarakat diukur oleh kekayaan material yang nyata, kini kita diukur oleh simbol-simbol yang lebih halus—apakah sepatu kita bermerek, apakah pakaian olahraga kita sesuai dengan standar tren terkini. Dalam konteks ini, fenomena Pelari Kalcer memperlihatkan bagaimana olahraga, yang seharusnya inklusif dan merdeka dari tekanan sosial, kini menjadi medan lain untuk membuktikan diri melalui konsumsi simbolis.
ADVERTISEMENT
Konsumerisme, Social Proof dan Anchoring Bias
Fenomena Pelari Kalcer di Indonesia menunjukkan bagaimana konsumerisme, gaya hidup, dan olahraga berkelindan menjadi satu. Teori konsumerisme simbolis dapat menjelaskan bagaimana produk yang dibeli oleh pelari Kalcer tidak hanya memenuhi fungsi praktis, tetapi juga menjadi sarana untuk memproyeksikan identitas dan status sosial. Produk-produk dari merek besar seperti Nike dan Adidas lebih dari sekadar barang; mereka adalah simbol impian dan aspirasi yang dikonstruksikan oleh melalui strategi pemasaran.
Dalam behavioral economics , konsep social proof menjadi relevan di sini. Orang cenderung meniru perilaku yang dianggap "normal" dalam kelompok sosial mereka, terutama jika dipromosikan oleh tokoh-tokoh terkenal di media sosial. Konsumen dalam kelompok Pelari Kalcer termotivasi oleh keinginan untuk diterima dan dianggap sebagai bagian dari kelompok bergengsi yang mengikuti tren terkini. Di tengah tren ini, ada anchoring bias , di mana konsumen sering kali memandang harga tinggi sebagai indikator kualitas atau status. Dalam kasus ini, banyak pelari Kalcer percaya bahwa memiliki perlengkapan bermerek bukan hanya soal kenyamanan atau peningkatan performa, tetapi juga untuk memenuhi standar estetika yang berlaku dalam komunitas lari yang fashionable.
ADVERTISEMENT
Instagram, Fotoyu, dan Penguatan Tren Pelari Kalcer
Instagram dan aplikasi lokal seperti Fotoyu berperan besar dalam memicu dan memperkuat tren Pelari Kalcer. Dengan filter-filter yang menonjolkan estetika, foto-foto pelari yang tampil modis dan stylish menjadi viral. Algoritma media sosial ini secara tidak langsung mendorong pengguna untuk mengikuti standar visual yang telah ditetapkan oleh para influencer. Platform-platform ini tidak hanya berfungsi sebagai tempat berbagi pengalaman, tetapi juga sebagai katalisator yang mempercepat adopsi tren. Bagi banyak orang, memiliki sepatu lari yang tepat dan outfit yang "on point" menjadi penting bukan hanya untuk lari yang nyaman, tetapi juga untuk foto yang bisa dibagikan di media sosial.
Aplikasi-aplikasi ini menciptakan lingkaran sosial yang terus-menerus memperkuat norma-norma konsumsi. Setiap kali kita melihat seseorang berlari dengan outfit bermerek yang sempurna, kita terdorong untuk menirunya. Ini memperkuat budaya konsumerisme di sekitar olahraga dan mengaburkan tujuan asli dari aktivitas fisik: kebugaran. Apakah kita berlari untuk diri kita sendiri, atau untuk menunjukkan pada dunia bahwa kita berlari?
ADVERTISEMENT
Manfaat di Balik Konsumerisme dalam Olahraga
Namun, meskipun motivasi mungkin didorong oleh faktor eksternal, seperti status dan citra diri, tren ini tetap membawa dampak positif. Berdasarkan kebijakan Global Action Plan on Physical Activity (GAPPA) 2018-2030 yang dipublikasikan oleh World Health Organization (WHO), prevalensi ketidakaktifan fisik di Indonesia masih cukup tinggi. Sebanyak 87% anak-anak usia 11-17 tahun tidak memenuhi rekomendasi aktivitas fisik harian, diikuti oleh 22% pada kelompok dewasa usia 18 tahun ke atas, dan 34% pada kelompok usia lanjut di atas 70 tahun. Selain itu, menurut data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI), masyarakat Indonesia rata-rata hanya berjalan sebanyak 3.513 langkah per hari, jauh lebih sedikit dibandingkan dengan warga Tiongkok yang rata-rata berjalan sebanyak 6.189 langkah per hari. Dengan semakin banyaknya orang yang terlibat dalam olahraga berkat tren Pelari Kalcer, ada harapan bahwa tingkat aktivitas fisik di Indonesia akan meningkat, yang pada akhirnya membawa manfaat bagi kesehatan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, dilema yang dihadapi masyarakat modern adalah menemukan keseimbangan antara motivasi internal dan eksternal. Kita harus bertanya: apakah partisipasi ini berkelanjutan? Jika motivasi utama untuk berlari adalah pengakuan sosial dan konsumerisme, maka apa yang akan terjadi ketika tren ini memudar? Akankah orang-orang tetap berlari, ataukah mereka akan kembali ke gaya hidup yang lebih pasif setelah tren ini berlalu?
Kesimpulan
Pelari Kalcer adalah refleksi dari bagaimana olahraga di era modern tidak lagi hanya tentang fisik, tetapi juga tentang bagaimana kita memproyeksikan diri kepada orang lain. Meskipun tren ini membawa manfaat dalam hal kebugaran, kita harus bertanya: Apakah kita berolahraga untuk kesehatan kita sendiri atau hanya untuk memenuhi ekspektasi sosial yang terus berkembang?
ADVERTISEMENT
Referensi:
1) Hendroyono, H. (2021, December). Kalcer: Sebuah Budaya atau Fenomena Estetika? Instagram. Retrieved from https://www.instagram.com/handokohendroyono/p/CWYQaa6J0CL/
2) Media Indonesia. (2023, August 15). Melirik fenomena pelari kalcer: Antara olahraga dan fesyen. Media Indonesia. https://mediaindonesia.com/jelita/676792/melirik-fenomena-pelari-kalcer-antara-olahraga-dan-fesyen
3) Euromonitor International. (2023). Indonesia: Consumer Profile – Middle-Class Growth and Expenditure Patterns. Euromonitor International. Retrieved from https://www.euromonitor.com
ADVERTISEMENT
4) Statista. (2022). Revenue of the sports apparel market in the Asia Pacific region from 2016 to 2022. Statista. Retrieved from https://www.statista.com
5) Indonesia Running Club. (2023). Survei Motivasi Pelari di Jakarta dan Bandung: Dampak Tren Sosial terhadap Partisipasi Olahraga. Indonesia Running Club. Retrieved from https://www.indonesiarunningclub.com
6) World Health Organization. (2018). Global Action Plan on Physical Activity 2018-2030: More active people for a healthier world. World Health Organization. https://www.who.int/initiatives/global-action-plan-on-physical-activity
7) Tempo. (2020). Indonesia negara rendah aktivitas fisik. Tempo. https://grafis.tempo.co/read/3637/indonesia-negara-rendah-aktivitas-fisik