Penguatan Peran Komisi Yudisial dalam Mencegah Kemunduran Demokrasi

Agung Susanto
Asisten Penghubung Komisi Yudisial Bekerja di Penghubung Komisi Yudisial Wilayah Provinsi Bali
Konten dari Pengguna
18 Desember 2023 18:23 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Agung Susanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gedung Komisi Yudisial
zoom-in-whitePerbesar
Gedung Komisi Yudisial
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Komisi Yudisial disebutkan memiliki kewenangan mengusulkan hakim agung, dan kewenangan lain untuk menjaga kehormatan martabat kekuasaan kehakiman. Sebagai lembaga khusus penegak etika perilaku hakim, Komisi Yudisial dikategorikan sebagai Independence Regulatory Agencies sebagai pengawas, dan penegak etika perilaku hakim diluar kelembagaan cabang kekuasaan kehakiman. Gejala-gejala kemunduran demokrasi, ditandai dengan adanya usaha-usaha untuk melumpuhkan institusi hukum, khususnya distorsi terhadap imparsialitas kekuasaan peradilan yang semestinya dapat menjalankan fungsinya secara Independen. Dalam menghadapi tantangan kemunduran Demokrasi, Komisi Yudisial dapat berperan aktif menjaga independensi institusi hukum khususnya personalitas hakim, dengan memaksimalkan kewenangan pengawasan dan penegakan terhadap etika hakim.
ADVERTISEMENT
Kemunduran Demokrasi ditandai salah satunya dengan adanya distorsi terhadap independensi kekuasaan peradilan yang seharusnya dapat menjalankan fungsinya secara merdeka. Kasus suap hakim Konstitusi Akil Mochtar, Patrialis Akbar, dan Pencopotan Hakim Aswanto, adalah beberapa contoh perusakan independensi peradilan, khususnya yang terjadi di Mahkamah Konstitusi. Dan yang terbaru adalah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 90/PUU-XXI/2023 yang menimbulkan perdebatan di publik dikarenakan Mahkamah Konstitusi berada jauh melampaui kewenangannya dengan menjadi positive legislature. Sedangkan, dalam tataran peradilan dibawah MA, atau MA sendiri, terdapat banyak kasus suap yang melibatkan hakim MA, atau peradilan dibawah MA.
Komisi Yudisial, berdasarkan konstitusi memiliki kewenangan salah satunya untuk menjaga marwah peradilan, melalui penegakan kode etik perilaku hakim. Dalam kewenangan tersebut, sebenarnya dapat menjembatani upaya preventif dari berbagai pihak yang secara sengaja atau diam-diam ingin melemahkan independensi kekuasaan peradilan. Selain memiliki peran sebagai pengawas eksternal hakim Mahkamah Agung dan dibawah Mahkamah Agung, sebelumnya Komisi Yudisial juga memiliki kewenangan untuk mengawasi kode etik hakim Mahkamah Konstitusi. Kewenangan tersebut telah dianulir oleh MK berdasarkan putusan Nomor: 005/PUU-IV/2006. Dalam kondisi kontemporer, kewenangan tersebut sebenarnya amat dibutuhkan untuk menjamin dan menjaga netralitas hakim MK daripada serangan-serangan yang ingin merusak Independensi hakim MK. Terlebih lagi, secara gramatikal, dalam pasal 24 B UUD NRI 1945, kewenangan Komisi Yudisial atas pengawasan perilaku etik hakim, tidak hanya terbatas pada lingkup peradilan MA atau dibawah MA saja. Maka dari itu, perlu sekiranya untuk mempertimbangkan kembali urgensi penguatan peran Komisi Yudisial dalam menjaga marwah peradilan MK.
ADVERTISEMENT
Kekuasan Peradilan dalam Paradigma Negara Hukum
Tahapan dalam Proses Peradilan
Kekuasaan peradilan dalam paradigma negara hukum (rule of law) memiliki fungsi yang seharusnya terbebas dari intervensi pihak manapun. Komisi Yudisial, dalam hal ini memiliki fungsi yang dapat menunjang atau pembantu dari kekuasaan peradilan agar tetap dalam jalur independensinya sesuai dengan cita-cita negara hukum (rule of law). Berangkat dari penggantian hakim aswanto secara non-prosedural, maupun putusan Mahkamah Konstitusi pada perkara nomor: 90/PUU-XXI/2023 yang menimbulkan keresahan di publik. Penulis beranggapan bahwa terdapat potensi Komisi Yudisial sebagai lembaga pelindung netralitas hakim MK. Penggantian hakim aswanto secara non-prosedural, dapat dianggap sebagai tindakan sewenang-wenang yang menyalahi undang-undang MK ciptaan DPR itu sendiri. Peran Komisi Yudisial, apabila masih memiliki kewenangan untuk menjaga kehormatan dan marwah hakim MK, sesungguhnya dapat menjadi penyeimbang dari keputusan DPR tersebut.
ADVERTISEMENT
Kewenangan di dalam UU Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial
Dalam penjelasan atas UU Nomor 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Komisi Yudisial mempunyai tugas mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dan wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, yakni hakim Agung dan hakim pada badan peradilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung serta hakim Mahkamah Konstitusi sebagaimana di maksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Komisi Yudisial pada UU Nomor 22 tahun 2004 mempunyai kewenangan yang lebih kuat yaitu dalam Pasal 21 UU ini berbunyi, untuk kepentingan pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf b, Komisi Yudisial bertugas mengajukan usul penjatuhan sanksi terhadap hakim kepada pimpinan Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi.
ADVERTISEMENT
Dipertegas kembali pada Pasal 22 huruf e berbunyi, membuat laporan hasil pemeriksaan yang berupa rekomendasi dan disampaikan kepada Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi, serta tindakannya disampaikan kepada Presiden dan DPR.
Pasal 23 ayat 2 berbunyi, usul penjatuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a beserta alasan kesalahannya bersifat mengikat, disampaikan oleh Komisi Yudisial kepada pimpinan Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi.
Judicial Review yang dilakukan oleh 31 Hakim Agung
Adanya judicial review pada UU Nomor 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial oleh 31 Hakim Agung membuat kewenangan yang dipunyai oleh Komisi Yudisial menjadi hilang. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 005/PUU-IV/2006 berimplikasi kepada hilangnya kewenangan Komisi Yudisial dalam melakukan pengawasannya terhadap Mahkamah Konstitusi.
ADVERTISEMENT
Dimana hakim MK a quo yang mengabaikan asas nemo judex idoneus in propria causa yaitu suatu asas yang berbunyi bahwa tidak ada seorang pun yang dapat menjadi hakim bagi dirinya sendiri. Dalam perkara a quo sangat jelas sekali kentara MK dalam hal ini mengadili perkara yang menjadi subjek di dalam pengujian judicial review pada dirinya sendiri pada pokok permohonan, bahwa hakim MK bukan merupakan subjek dari pengawasan oleh Komisi Yudisial.
Lebih lanjut, Sebuah putusan apabila tidak ada Upaya hukum yang dapat ditempuh, maka telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) dan memperoleh kekuatan mengikat. Tegasnya, putusan MK mempunyai kekuatan yang mengikat bagi semua pihak dan wajib untuk dilaksanakan, wujud dari implentasi Asas res judicata proviritate habetur.
ADVERTISEMENT
Resistensi Mahkamah Konstitusi
Gedung Mahkamah Konstitusi
Salah satu aspek wewenang yang bertambah oleh Komisi Yudisial yakni dari peristiwa tertangkapnya Akil Mochtar Mantan Ketua MK oleh KPK yang kemudian direspon oleh Presiden dengan di terbitkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Dalam fase ini, terbilang wewenang KY mencapai puncaknya, sebab KY diminta untuk membentuk panel ahli untuk melakukan uji kelayakan dan kepatutan bagi Calon Hakim Konstitusi sebelum di tetapkan oleh Presiden demi mengantisipasi kekosongan 2 orang hakim MK pada saat itu yaitu Akil Mochtar yang tertangkap KPK dan Harjono yang akan memasuki pensiun, sehingga komposisi 9 (Sembilan) orang Hakim MK harus segera dilengkapi.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi perbuatan resistensi Mahkamah Konstitusi kepada Komisi Yudisial kembali terjadi karena kerja KY membentuk panel ahli kembali menjadi sia-sia karena MK melalui Putusan Nomor : 1-2/PUU-XII/2014 tanggal 11 Februari 2014 telah membatalkan bukan hanya terhadap Pasal-pasal yang menjadi dasar wewenang KY melaksanakan wewenang tambahannya tersebut, melainkan seluruh ketentuan didalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menjadi Undang-Undang (Tri Cahya Indra Permana, 2014 : 97).
Alasan dibatalkannya tambahan 3 wewenang Komisi Yudisial tersebut adalah menurut Mahkamah Konstitusi, Undang-Undang yang mengatur pengajuan calon Hakim Konstitusi melalui Panel Ahli yang dibentuk oleh Komisi Yudisial, walaupun 3 (tiga) dari 7 (tujuh) orang anggotanya masing-masing yang memilih adalah Mahkamah Agung, DPR, dan Presiden. Hal demikian, nyatanya bisa mereduksi kewenangan konstitusional Mahkamah Agung, DPR, dan Presiden. Lain halnya, apabila Lembaga negara yang bersangkutan membentuk panitia yang akan menyeleksi secara internal untuk melaksanakan kewenangan konstitutionalnya dalam mengajukan calon hakim konstitusi.
ADVERTISEMENT
Kewenangan di dalam UU Nomor 18 tahun 2011 tentang Komisi Yudisial
Dimana di dalam UU Nomor 18 tahun 2011 Pasal 21 telah di hapus oleh Mahkamah Konstitusi. Sementara dalam Pasal 23 dan Pasal 24 telah di hapus. Yang artinya subjek dari pengawasan Komisi Yudisial berganti pada Mahkamah Agung dan peradilan yang berada di bawahnya.
Diperlukannya penataan Konstitusi dengan menemukan titik jelas keberadaan dari Komisi Yudisial dengan memperkuatnya sebagai mitra dari kekuasaan kehakiman yang walaupun KY sebagai state auxiliary organ dengan mengembalikan kewenangannya terhadap pengawasan hakim MK sesuai dengan amanat dari UU 22/2004 tentang Komisi Yudisial, melalui amandemen ke V UUD NRI 1945.
Apalagi setelah terjadinya prahara yang terjadi di Mahkamah Konstitusi di akhir-akhir ini memunculkan urgensi untuk mendirikan MKMK secara permanen mengingat efesiensinya yang kurang apabila MKMK hanya berdiri secara ad hoc.
ADVERTISEMENT
Adanya urgensi didalam tubuh MK bahwa kurang efektivitasnya keberadaan MKMK yang hanya ad hoc dengan menjadikannya MKMK yang permanen. Disadur dari Hukumonline pendapat dari Direktur Riset Pusat Kajian Kebijakan Publik dan Hukum (Puskapkum) Indra L Nainggolan menerangkan untuk menghindari polemik serupa berkaitan dengan penyelesaian etik oleh hakim MK perlu pembentukan Majelis Kehormatan MK secara permanen. Tujuannya adalah agar memaksimalkan kinerja dalam mengawasi setiap putusan MK maupun perilaku hakim MK. Kedudukan Majelis Kehormatan MK yang bersifat ad hoc hanya menunjukan sikap pasif dalam merespon persoalan di lembaga negara pengawal konstitusi.
Menurut I Dewa Palguna berpendapat salah satu manfaat dari di bentuknya MKMK secara permanen adalah Menghilangkan perdebatan mengenai pelantikan MKMK yang di lantik oleh Ketua MK, jikapun MKMK sudah permanen maka terlepas dari campur tangan dari Mahkamah Konstitusi secara prosedural pembentukan. MKMK yang permanen sudah tidak ada lagi pelantikan yang sifatnya ad hoc karena pranatanya sudah permanen. Sebab, dengan tidak berfungsinya dewan etik maka tidak ada pihak khusus yang mengawasi para hakim konstitusi (hukumonline : 2023).
ADVERTISEMENT
Pengaturan kewenangan Komisi Yudisial di masa yang akan datang dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim
Komisi Yudisial sebagai Lembaga pengawas etik hakim penempatan Komisi Yudisial berada di UUD NRI 1945 sudah tepat, namun diharapkan adanya amandemen V UUD NRI 1945 yang memberikan penguatan dengan menambahkan beberapa poin isi dari pasal 24 B yang terdiri bukan hanya 4 ayat melainkan adanya penambahan ayat.
Khusus ayat 1 dalam pasal ini bisa di tambahkan normanya, Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim, hakim agung, hakim mahkamah konstitusi dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Hakim yang di maksud diatas adalah hakim mahkamah agung, serta para hakim yang berada di peradilan yang dibawahnya serta hakim mahkamah konstitusi.
ADVERTISEMENT
Kedudukan hukum dari Komisi Yudisial sebaiknya diperjelas kembali legal position KY mengacu kepada beberapa prahara yang terjadi dengan adanya resistensi dari Mahkamah Konstitusi terhadap check and balances yang dilakukan oleh Komisi Yudisial diperlukannya payung hukum yang diatur didalam konstitusi, amandemen V merupakan suatu cara dalam penguatan Lembaga kekuasaan kehakiman dengan menambahkan norma rekrutmen terhadap hakim MK, Pengawasan hakim MK dan wewenang lain yang sifatnya eksekutorial untuk menjamin kepastian hukum dalam menjaga kemandirian hakim.