Anomali Presiden Jokowi

Agung Wicaksono
Dosen FISIPOL Universitas Islam Riau. PhD (Cand) in Political Science, Corvinus University of Budapest
Konten dari Pengguna
7 Januari 2024 9:22 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Agung Wicaksono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Jokowi saat berpidato di Istana Negara. Sumber: BPMI Setpres
zoom-in-whitePerbesar
Jokowi saat berpidato di Istana Negara. Sumber: BPMI Setpres
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Di pertengahan tahun 2011, setelah saya menyelesaikan shalat Ashar di Musolla Hotel Sunan-Solo, saya berbincang selama sekitar 5-10 menit dengan seseorang sambil memakai sepatu. Ia menanyakan pandangan saya tentang Solo dari perspektif seorang siswa SMA dari luar Jawa. Tanpa protokoler yang ketat, kami mengakhiri perbincangan dengan foto bersama menggunakan kamera HP saya.
ADVERTISEMENT
Beberapa tahun kemudian, orang tersebut dilantik sebagai Presiden Indonesia ke-7, menjadi salah satu tokoh utama dalam panggung kekuasaan Republik ini selama satu dekade terakhir. Seseorang yang pernah berbincang santai mengenai Solo kini menjadi pusat kekuasaan dengan segala kompleksitasnya.
Tidak terasa, masa kekuasaan Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan segera berakhir, dan dalam berbagai kesempatan, ia menyatakan niatnya untuk kembali ke kampung halamannya, Solo, dan menjalani kehidupan sebagai rakyat biasa. Namun, meskipun kurang dari setahun lagi masa kekuasaannya berakhir, ia masih memegang kendali besar dalam politik negeri ini. Ia seakan mematahkan teori bebek lumpuh atau "lame duck theory," yang sering menghantui seorang penguasa yang akan mengakhiri masa kekuasaannya.
Teori Bebek Lumpuh dan Jokowi
ADVERTISEMENT
Teori bebek lumpuh adalah perumpamaan yang sering digunakan dalam analisis politik untuk menggambarkan fenomena seorang politisi yang akan berakhir masa kekuasaannya dan tidak bisa/ tidak terpilih lagi pada periode berikutnya. Teori ini menggambarkan seekor bebek yang sudah sakit, cedera, dan tidak bisa berbuat apa-apalagi bahkan untuk menolong dirinya sendiri. Teori bebek lumpuh ini awalnya sering dikemukakan untuk menganalisis situasi politik pasca pemilihan parlemen di Amerika Serikat dan Inggris.
Dalam konteks Indonesia, teori bebek lumpuh sering dikaitkan dengan pergantian kepemimpinan eksekutif yang akan berakhir dan tidak bisa/atau tidak terpilih lagi pada periode berikutnya. Beberapa tahun sebelum SBY berakhir masa kepemimpinannya pada tahun 2014, majalah ekonomi ternama dunia, The Economist, mengatakan SBY diumpamakan seperti bebek lumpuh, di mana dua faktor utama adalah kepuasan publik terhadap SBY dan Demokrat menurun drastis dikarenakan banyak kader tersangkut kasus korupsi, dan kedua dikarenakan banyaknya menteri yang sudah mulai berpindah fokus urusan kementerian kepada urusan partai politik untuk menghadapi pemilu yang semakin dekat.
ADVERTISEMENT
Situasi serupa sempat di prediksi sebagian orang untuk kepemimpinan Presiden Jokowi pada periode kedua ini. Mereka memprediksi bahwa Jokowi akan kehilangan power secara perlahan, terlebih lagi dia bukan pemilik partai manapun (hanya anggota PDIP tanpa Jabatan), sehingga ini bakal menyulitkannya dalam mengontrol situasi politik jelang 2024.
Namun, anomali tersebut ternyata salah besar. Jokowi mampu membuktikan kepada elit politik yang khalayak luas bahwa teori itu tidak berlaku pada dirinya. Jokowi mampu menunjukkan bahwa power-nya tidak berkurang, bahkan semakin menguat seiring dengan Pemilu 2024 yang akan dilaksanakan kurang dari 2 bulan lagi. Berbagai survei juga mengkonfirmasi hal itu, di mana kepuasan publik berkisar 70-80 persen terhadap Presiden Jokowi. Data tersebut menjelaskan kepada khalayak bahwa Jokowi masih sangat disukai dan dihargai oleh sebagian besar rakyatnya. Dalam pertarungan Pilpres juga, langkah dan sikap politiknya selalu ditunggu oleh elit dan masyarakat. Keberpihakan Jokowi terhadap salah satu paslon dianggap bisa memberikan dampak elektoral yang cukup besar. Endorsement Jokowi seakan menjadi salah satu faktor penentu utama dalam kemenangan Pilpres 2024 nanti.
ADVERTISEMENT
Bagaimana Jokowi Melakukan Itu?
Jokowi, sebagai seorang politikus, dapat belajar banyak dan cepat dari pengalaman politik yang telah ia lalui. Ia terbukti sebagai politisi handal karena bisa memenangkan pemilu sebanyak 5 kali secara berturut-turut, mulai dari dua kali pilkada Surakarta, Pilkada DKI Jakarta hingga dua kali Pilpres. Pada periode keduanya, Jokowi mampu mengejutkan banyak pihak. Akselerasi pembangunan infrastruktur yang sangat cepat, program hilirisasi industri pertambangan, bantuan sosial yang selalu hadir di tengah masyarakat, dan berbagai hal lainnya, mampu menghipnotis sebagian besar masyarakat bahkan elit-elit politik yang ada. Hal lain yang tak kalah mengejutkan adalah saat ia mengajak lawan politiknya dalam dua Pilpres, Prabowo Subianto, masuk ke dalam pemerintahan dan menjadi salah satu sekutu terkuatnya. Ia mampu merekonsiliasi kondisi politik yang sebelumnya sangat panas pasca Pilpres 2019. Rekonsiliasi ini juga dinilai banyak orang sebagai faktor utama mengapa Indonesia dapat menghadapi badai krisis COVID-19 dengan baik dan lebih cepat dibanding banyak negara di dunia. Bahkan Jokowi mampu mengorkestrasi pertumbuhan ekonomi pasca COVID-19 dengan cukup cepat.
ADVERTISEMENT
Kemudian hal lain yang dilakukan Jokowi adalah dengan kemampuannya untuk masuk ke dalam partai politik koalisi lainnya. Ia seakan-akan menjadi bandul politik bagi PAN, GOLKAR, PSI, dan mungkin beberapa partai lain dalam menentukan sikap politiknya. Partai-partai tersebut dalam berbagai kesempatan sering menyiratkan "restu" dari Presiden terhadap sikap politik yang mereka ambil. Ini menasbihkan seakan-akan, persetujuan atau arahan dari Jokowi adalah hal yang penting untuk diikuti oleh mereka. Jokowi seakan-akan menjadi Komisaris Utama dari banyak partai politik di Indonesia. Sebuah hal yang tidak bisa ia lakukan di partainya sendiri, yakni PDI Perjuangan.
Jokowi Sang Maestro Politik
Politisi PPP Romahurmuziy dalam suatu kesempatan pernah mengatakan bahwa Jokowi adalah Guru Besar Politik (bukan ilmu politik). Bahkan ia mengatakan bahwa Jokowi merupakan sutradara, aktor, dan produser dalam kancah perpolitikan Indonesia. Ungkapan ini tidak salah mengingat memang kita semua dapat melihat kepiawaian Jokowi dalam berpolitik selama kurang lebih hampir dua dekade terakhir. Dimulai saat menata kota Solo menjadi lebih tertata, rapi, dan nyaman, membangun kereta cepat pertama di Asia Tenggara bahkan membangun sebuah Ibukota baru yang bernama Nusantara di Pulau Kalimantan. Dalam beberapa tahun ke depan pasca berakhirnya masa kepresidenan Jokowi, akan banyak ilmuwan sosial politik yang akan menjadikan ia sebagai bahan analisis utama. Saya bisa mengatakan bahwa Jokowi adalah salah satu Maestro hebat Politik Indonesia yang pernah ada. Bagaimana dengan pendapat anda?
ADVERTISEMENT