Konten dari Pengguna

Letkol Teddy dan Revisi UU TNI

Agung Wicaksono
Dosen FISIPOL Universitas Islam Riau. PhD (Cand) in Political Science, Corvinus University of Budapest
16 Maret 2025 10:15 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Agung Wicaksono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Panglima TNI Jenderal TNI Agus Subiyanto bersiap mengikuti rapat kerja bersama Komisi I DPR di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (10/7/2024). Foto: Rivan Awal Lingga/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Panglima TNI Jenderal TNI Agus Subiyanto bersiap mengikuti rapat kerja bersama Komisi I DPR di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (10/7/2024). Foto: Rivan Awal Lingga/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) semakin intensif di Komisi I DPR RI bersama pemerintah. Setelah lebih dari dua dekade, regulasi ini dianggap perlu diperbarui agar lebih adaptif terhadap dinamika pertahanan negara. Empat aspek utama menjadi fokus revisi ini, yaitu modernisasi alat utama sistem persenjataan (alutsista), peningkatan kesejahteraan prajurit, pengaturan ulang batasan penempatan personel TNI di lembaga sipil, serta revisi batas usia pensiun. Dua poin terakhir menjadi perdebatan utama karena menyangkut profesionalisme dan netralitas militer dalam sistem demokrasi.
ADVERTISEMENT
Di tengah pembahasan ini, sorotan publik tertuju pada Letkol (Inf) Teddy Indra Wijaya, yang menjabat sebagai Sekretaris Kabinet. Banyak pihak mempertanyakan legalitas posisinya, mengingat UU TNI saat ini membatasi penugasan prajurit aktif di lembaga sipil. Desakan agar Teddy mengundurkan diri dari dinas militer pun mencuat dengan alasan bahwa posisinya dianggap bertentangan dengan semangat reformasi TNI yang menegaskan pemisahan ranah militer dan sipil.

Ketentuan Penempatan Personel TNI di Lembaga Sipil

Saat ini, UU TNI hanya mengizinkan prajurit aktif menempati jabatan di sepuluh lembaga sipil tertentu, yaitu Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam), Kementerian Pertahanan (Kemenhan), Sekretariat Militer Presiden (Setmilpres), Badan Intelijen Negara (BIN), Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas), Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas), Badan SAR Nasional, Badan Narkotika Nasional (BNN), dan Mahkamah Agung (MA). Jika seorang perwira aktif ingin bertugas di luar institusi tersebut, maka ia harus mengajukan pensiun dini. Selain itu, aturan usia pensiun juga menjadi perhatian. Saat ini, perwira TNI pensiun di usia 58 tahun, sementara bintara dan tamtama lebih cepat, yakni pada usia 53 tahun. Ketimpangan ini semakin jelas jika dibandingkan dengan Polri, yang menerapkan usia pensiun seragam bagi seluruh jenjang kepangkatan, yaitu 58 tahun.
ADVERTISEMENT

Perbandingan dengan Polri

Pasca-reformasi, Polri memiliki fleksibilitas lebih besar dalam penempatan personelnya di lembaga sipil. Tidak seperti TNI yang dibatasi hanya pada sepuluh institusi, Polri menerapkan skema penugasan yang lebih longgar. Seorang perwira Polri dapat menduduki jabatan sipil mana pun selama ada permintaan dari institusi terkait dan mendapat persetujuan dari Mabes Polri. Fleksibilitas ini juga terlihat dalam aspek usia pensiun. Tidak ada perbedaan antara perwira tinggi, menengah, maupun tamtama—semuanya pensiun di usia 58 tahun. Dengan skema ini, Polri memiliki keleluasaan dalam memanfaatkan sumber daya manusia mereka tanpa harus kehilangan personel berpengalaman akibat batasan usia pensiun yang terlalu dini.

Usulan Revisi dan Dampaknya

Revisi UU TNI mengusulkan dua perubahan besar yang berpotensi mengubah wajah militer Indonesia. Perubahan pertama adalah penambahan lembaga sipil yang dapat diisi oleh personel aktif TNI. Jumlah lembaga sipil yang dapat ditempati oleh prajurit aktif akan bertambah dari sepuluh menjadi lima belas. Lima lembaga tambahan tersebut adalah Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kejaksaan Agung, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Badan Keamanan Laut (Bakamla), dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Langkah ini bertujuan membuka ruang bagi perwira aktif agar tetap berkontribusi di luar institusi militer. Saat ini, banyak perwira tinggi—termasuk mereka yang berpangkat kolonel hingga bintang dua—mengalami stagnasi karier akibat keterbatasan jabatan struktural di tubuh TNI. Fenomena "Perwira Lantai 8" di Mabes TNI AD menjadi gambaran kondisi ini, di mana banyak perwira hadir di kantor tanpa memiliki peran strategis. Selain itu, regulasi ini juga dapat mengurangi kecemburuan terhadap perwira Polri, yang memiliki fleksibilitas lebih besar dalam menempati jabatan sipil. Dengan aturan yang lebih seimbang, gesekan antar-institusi dapat diminimalisir.
ADVERTISEMENT
Perubahan kedua adalah revisi usia pensiun. Revisi ini mengusulkan perubahan batas usia pensiun bagi tamtama menjadi 56 tahun, bintara menjadi 57 tahun, dan perwira antara 58 hingga 62 tahun, tergantung pangkat dan jabatan. Untuk jenderal bintang empat, usia pensiun dapat diperpanjang sesuai diskresi Presiden, sementara bagi jabatan fungsional tertentu, masa pensiun dapat diperpanjang hingga 65 tahun.

Posisi Letkol Teddy: Sudah Sesuai Aturan?

Letkol Teddy Indra Wijaya yang menjabat Seskab. (Dok. laman setkab.go.id)
Merujuk pada regulasi saat ini, posisi Letkol Teddy Indra Wijaya sebagai Sekretaris Kabinet tidak melanggar aturan. Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 148 Tahun 2024 tentang Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg) menegaskan bahwa Sekretaris Kabinet merupakan jabatan setingkat eselon dua yang masih berada dalam struktur Sekretariat Militer Presiden (Setmilpres). Dengan demikian, posisi ini memang dapat diisi oleh perwira aktif TNI dengan pangkat maksimal bintang satu. Bahkan, jika UU TNI tidak direvisi pun, Teddy tetap dapat menduduki jabatan tersebut. Banyak pihak yang “keliru” menganggap bahwa Sekretaris Kabinet merupakan jabatan politik setingkat menteri yang seharusnya diisi oleh sipil. Padahal, secara struktur dan aturan yang berlaku, posisi ini tetap memungkinkan untuk diisi oleh seorang perwira aktif TNI.
ADVERTISEMENT

Kekhawatiran dan Tantangan

Penambahan lembaga sipil yang dapat ditempati prajurit TNI aktif menimbulkan kekhawatiran akan semakin kuatnya pengaruh militer dalam urusan sipil. Reformasi TNI pasca-1998 bertujuan membatasi keterlibatan militer dalam ranah nonmiliter agar TNI tetap fokus pada tugas utamanya sebagai penjaga pertahanan negara. Jika aturan ini diperlonggar tanpa mekanisme pengawasan yang jelas, potensi militerisasi sektor sipil menjadi ancaman nyata. Namun, di sisi lain, kenaikan usia pensiun dan penambahan ruang bagi perwira aktif di lembaga sipil bisa menjadi solusi atas surplus perwira tinggi yang selama ini "parkir" tanpa jabatan. Alih-alih menjadi beban institusi, mereka dapat dimanfaatkan untuk memperkuat kapasitas lembaga-lembaga strategis.
Revisi UU TNI bukan sekadar penyesuaian regulasi, tetapi juga pertarungan kepentingan antara kebutuhan reformasi dan realitas di lapangan. Jika tidak dikawal dengan baik, revisi ini bisa membuka kembali ruang bagi militerisasi tata kelola sipil dan mengaburkan batas antara ranah pertahanan serta pemerintahan sipil. Namun, jika dilakukan dengan mekanisme kontrol yang ketat, perubahan ini bisa menjadi solusi atas problem regenerasi kepemimpinan di tubuh TNI. Oleh karena itu, transparansi dalam pembahasan, keterlibatan publik, serta keseimbangan antara kepentingan sipil dan militer menjadi kunci utama agar revisi ini tetap berada dalam koridor profesionalisme, kesejahteraan prajurit, serta netralitas TNI dalam demokrasi.
ADVERTISEMENT
Hal ini menjadi semakin penting mengingat TNI secara konsisten menempati posisi teratas sebagai lembaga yang paling dipercaya oleh publik. Kepercayaan ini harus dijaga dengan memastikan bahwa setiap kebijakan yang diambil tetap mencerminkan semangat reformasi, memperkuat profesionalisme, serta mempertahankan independensi TNI dalam sistem demokrasi Indonesia.