Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Meniti Garis Tipis Demokrasi: Sebuah Pandangan Alternatif Politik Dinasti
2 Juli 2024 9:14 WIB
·
waktu baca 8 menitTulisan dari Agung Hariwarma tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam tahun politik ini masyarakat Indonesia dihadapkan oleh tanggungjawab untuk memilih calon pemimpin dan perwakilan legislatif mereka dalam pemerintahan. Kesempatan ini pula menjadi kali pertama beberapa anak muda untuk menyuarakan pilihannya secara demokratis melalui proses pemilu. Kendati demikian, muncul berbagai narasi politik yang tersebar dalam berbagai perbicaraan menjelang pemilu. Salah satunya adalah isu terkait runtuhnya demokrasi Indonesia yang disebabkan oleh Politik Dinasti.
ADVERTISEMENT
Praktik Politik Dinasti dinilai menerapkan beberapa praktik politik yang menurut Levitsky dan Ziblatt dalam How Democracies Dies, sebagai tindakan pembunuhan demokrasi. Pembunuhan demokrasi disebutkan terlahir dari terjadinya praktik-praktik pelemahan penerapan norma demokrasi oleh penguasa yang kerap terlahir dari proses demokrasi itu sendiri. Menurut mereka tindakan ini kerap kali dilakukan oleh para “pembunuh demokrasi” melalui proses-proses yang memanfaatkan institusi demokrasi untuk melemahkan norma demokrasi secara perlahan dan legal. Kendati demikian, penulis ingin mengajak pembaca untuk melihat konseptualisasi politik dinasti ini dengan lebih kritis dan mempertimbangkan pandangan alternatif terhadap praktik politik yang hangat diperbincangkan dewasa ini.
Politik Dinasti
Apa itu politik dinasti? Politik dinasti merujuk pada penerapan kekuasaan politik oleh sekelompok orang yang memiliki hubungan keluarga. Ari Dwipayana menyebutkan bahwa kemunculan politik dinasti lahir sebagai gejala neopatrimonialisme yang mengedepankan regenerasi politik berdasarkan keterhubungan genealogis daripada merit system. Penempatan yang tidak mempertimbangkan prestasi ini memiliki resiko tinggi terhadap terjadinya korupsi dan kebocoran sumber pendanaan daerah.
ADVERTISEMENT
Praktik politik dinasti dilakukan melalui penempatan langsung anggota keluarga pada posisi politik tertentu atau melalui proses pemilihan umum. Kedekatan dan kepercayaan yang dimiliki pemilih terhadap anggota keluarga yang menjabat dinilai dapat dikucurkan kepada anggota keluarga lain yang juga mengikuti pemilu. Hal ini membuat anggota keluarga tersebut memiliki nilai tersendiri yang lekat dengan dirinya tanpa diperoleh oleh dirinya sendiri. Hal ini dinilai menunjukkan keterpilihan beberapa anggota legislatif dan pemimpin eksekutif di beberapa daerah tidak berdasarkan pada merit atau penilaian masyarakat terhadap kapasitas personal calon tersebut, tetapi berbasis pada kepopuleran anggota keluarga calon yang sebelumnya menjabat.
Oleh karena penerapan politik populis tersebut, politik dinasti dinilai melukai esensi dari demokrasi. Politik dinasti dinilai berakar dari patrimonialisme yang dekat dengan praktik kerajaan yang tidak demokratis dan menghargai suara rakyat. Penerapan politik populis, seperti yang hadir dalam politik dinasti, dinilai oleh Levitsky dan Ziblatt sebagai ciri dari praktik “pembunuhan” demokrasi. Para “pembunuh demokrasi” -seperti dicontohkan dengan Donald Trump oleh para penulis How Democracies Dies tersebut- disebutkan juga akan bertindak radikal ketika kalah dalam pemilu. Hal tersebut ditunjukkan oleh serangan pendukung Donald Trump pada Capitol Hill, pusat pemerintah Amerika Serikat sebagai reaksi atas kekalahannya pada pemilu Amerika Serikat pada tahun 2021 lalu. Serangan ini dinilai ditimbulkan atas gabungan dari mobilisasi dari calon pemimpin yang tidak menghargai institusi demokrasi dan polarisasi masyarakat yang tercipta dari strategi politik populis yang diterapkan dalam pemilu Amerika Serikat kala itu. Hal ini menunjukkan bahwa politik populis, walau dapat dinilai sebagai strategi politik yang sah, memiliki tendensi untuk menciptakan ketidakstabilan politik dan polarisasi dalam masyarakat, dua hal yang berpotensi mampu melemahkan kualitas sistem demokrasi dalam suatu negara. Oleh karena itu, penerapan politik dinasti dinilai tabu dan tidak direkomendasikan dalam penerapan demokrasi yang berkualitas oleh beberapa ahli.
ADVERTISEMENT
Antitesis Penolakan Politik Dinasti
Setelah memahami secara kasar konseptualisasi dari politik dinasti dan alasan beberapa ahli kurang menyetujui praktik tersebut, penting dalam membangun argumentasi antitesis terhadap penolakan praktik politik tersebut dengan memahami kembali esensi dari demokrasi itu sendiri. Demokrasi berasal dari bahasa Yunani, demokratia dengan demo berarti rakyat dan kratia/kratos yang bermakna kekuatan. Secara singkat demokrasi adalah sistem politik yang menjunjung peran rakyat sebagai pemilik kekuasaan tertinggi dalam sistem politik yang berlandaskan pada kesetaraan di bawah hukum atau rule of law. Seperti yang diucapkan oleh Abraham Lincoln, secara singkat demokrasi adalah pemerintah untuk, dari, dan oleh rakyat. Semua orang sesuai dengan aturan yang berlaku berhak dipilih dan memilih dalam pemilu. Dari poin penting ini dapat disebutkan bahkan anggota keluarga dari pejabat juga bisa mencalonkan diri dan terpilih dalam pemilu.
Secara filsafat demokrasi, tidak ada larangan yang membatasi anggota keluarga dari pejabat publik untuk mengajukan dirinya dalam pemilu. Poin yang penting adalah pemenuhan kriteria yang ditentukan oleh aturan, hal ini penting sebab kesehatan jasmani dan rohani yang menjadi salah satu kriteria dalam pencalonan membatasi dan membuktikan bahwa seorang individu mampu secara fisik dan mental untuk mengemban tanggung jawab. Oleh karena itu, jika seseorang memenuhi persyaratan mencalonkan diri dalam pemilu, maka terlepas dari latar belakang dan hubungan darahnya dengan beberapa pejabat, individu tersebut berhak dan layak untuk dipilih dan dipilih secara demokratis. Namun, yang dipermasalahkan oleh masyarakat kerap kali berhubungan dengan terjadinya ketidaksetaraan politik dan konsentrasi kekuasaan atas hasil dari praktik politik dinasti. Masyarakat merasa terbatasi dan tidak adil ketika dihadapkan dengan calon yang berkerabat dengan seseorang yang sebelumnya sudah terpilih. Namun, sesungguhnya hal ini tidak menjamin anggota keluarga seorang pejabat terpilih dalam pemilu. Dalam negara demokrasi kekuasaan berada di tangan rakyat dan keterpilihan politik didasarkan pada pilihan rakyat, sehingga walau menjadi anggota keluarga seorang pejabat besar, masyarakat selalu memiliki kendali akan terpilihnya seorang calon. Contohnya adalah pencalonan anak dari Wakil Presiden Indonesia Ma'ruf Amin di Kota Tangerang Selatan. Kendati berasal dari keluarga salah satu orang paling terpilih di Indonesia tidak menyebabkan Siti Nur Azizah serta merta menjadi walikota sebab terdapat uji dan penilaian yang harus dilewati oleh individu tersebut oleh masyarakat terlepas dari latar belakangnya sebagai anak wakil presiden.
ADVERTISEMENT
Selain itu, pelibatan anggota keluarga untuk menjabat dalam pemerintahan tidak serta merta memberikan dampak buruk atas munculnya konsentrasi kekuasaan. Konsentrasi kekuasaan dapat menghadirkan stabilitas dan kepastian politik yang memungkinkan pembangunan yang fokus serta menghadirkan kondisi pasar yang stabil. Stabilitas politik kemudian menjadi penting, sebab memiliki peran yang besar terhadap terbentuknya stabilitas pertumbuhan ekonomi. Pengikutsertaan anggota keluarga dalam politik dan menjabat posisi tinggi dalam pemerintahan telah terbukti mewujudkan stabilitas dan pertumbuhan ekonomi di beberapa negara, contohnya adalah pada Singapura dengan Perdana Menteri pertama Singapura, Lee Kuan Yew yang setelah beberapa tahun pasca pemerintahannya, Singapura kembali dipimpin oleh keluarga Lee dengan terpilihnya Lee Hsien Loong. Stabilitas politik yang dihadirkan selama beberapa puluh tahun kekuasaan keluarga Lee dan partainya memungkinkan pembangunan di Singapura menjadi terfokus dan berkembang dengan stabil hingga kini. Munculnya pemimpin yang merupakan anak dari pemimpin sebelumnya juga terjadi di Amerika Serikat bahkan dua kali dengan terpilihnya John Quincy Adams, putra dari John Adams dan George W. Bush, putra dari George H. W. Bush. Regenerasi politik yang terjadi dengan dua negara contoh tersebut menandakan bahwa yang dipermasalahkan bukan selayaknya latar belakang atau keturunan darah dari seorang pemimpin. Namun, penting untuk menilai kualitas dan kapabilitas dari calon pemimpin tersebut terlepas dari latar belakang kekerabatan darahnya dengan tokoh negara.
ADVERTISEMENT
Meniti Garis Tipis Demokrasi: Sintesis Politik Dinasti
Sejalan dengan pandangan Levitsky dan Ziblatt, terkadang “pembunuh demokrasi” memanfaatkan institusi demokrasi untuk melahirkan pemimpin yang tidak demokratis, tetapi tanggung jawab mengawasi dan menuntut akuntabilitas pemimpin tersebut jatuh pada rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam sistem demokrasi. Memandang argumentasi yang dipaparkan, tulisan ini tidak bertujuan untuk mendukung dan menilai politik pelibatan anggota keluarga seperti yang ditunjukkan oleh politik dinasti sebagai sesuatu yang baik dan harus diterapkan. Namun, tulisan ini hanya bertujuan untuk menyatakan bahwa praktik tersebut sesungguhnya, seperti berbagai strategi politik lainnya, merupakan barang netral yang dapat membawa dampak baik dan buruk sesuai dengan tujuan dan harapan dari penggunanya. Oleh karena itu, peran dan fungsi check and balance dari masyarakat selalu menjadi kunci dari menjamin keberhasilan suatu sistem demokrasi yang substantif. Demokrasi tidak berhenti dalam pemilu, justru demokrasi yang substantif berkembang dan hidup terus melalui kritik dan evaluasi dari masyarakat untuk pemerintah untuk mewujudkan demokrasi yang berkualitas. Oleh karena itu, sistem politik manapun, termasuk demokrasi, hanya sebaik dan seefektif para masyarakat yang menjadi bagian dari sistem politik tersebut.
ADVERTISEMENT
Politik dinasti bukan sesuatu yang mudah untuk dilihat tidak buruk oleh masyarakat. Erat kaitannya dengan kembalinya masa kerajaan yang telah lama ditinggal untuk sistem politik demokrasi membuat politik jenis ini sulit diterima sebagai sesuatu yang “netral”. Kendati demikian, memaafkan politik dinasti seperti disampaikan Rendy Pahrun Wadipalapa mungkin saja menjadi titik balik kematian nalar kritis Indonesia. Namun, menerima dengan memandang secara keseluruhan dan terus menguji praktik politik dinasti, dan politik lainnya secara umum, juga bisa menjadi titik balik pendewasaan politik Indonesia.
Literatur:
Levitsky, S., & Ziblatt, D. (2018). How Democracies Die. Crown.
Ma, Hongtao & Liang, Yudi & Wan, Jiayi. (2023). Is the Right to Vote Equal to Democracy? — An Analysis of Substantive and Procedural Democracy in the United States. SHS Web of Conferences. 154. 01020. 10.1051/shsconf/202315401020.
ADVERTISEMENT
Mahkamah Konstitusi. (2015, 7 10). Pengertian Politik Dinasti. Mahkamah Konstitusi. https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=11428
Teslenko, S. (2022). POLITICAL STABILITY AND ECONOMIC DEVELOPMENT OF THE STATE: EXAMPLE OF SINGAPORE. Baltic Journal of Legal and Social Sciences, 1(2), 143-149. 10.30525/2592-8813-2021-2-18
Wadipalapa, R. P. (2024, 6 24). Memaafkan Dinasti Politik. Kompas. https://www.kompas.id/baca/opini/2024/06/23/memaafkan-dinasti-politik?open_from=Section_Opini