Konten dari Pengguna
Mendidik Anak Bukan Hanya Menyekolahkan
22 Oktober 2025 16:00 WIB
·
waktu baca 4 menit
Kiriman Pengguna
Mendidik Anak Bukan Hanya Menyekolahkan
Tulisan ini menyoroti bahwa keberhasilan orang tua tidak berhenti pada menyekolahkan anak, melainkan terletak pada kehadiran, komunikasi, dan keteladanan dalam kehidupan sehari-hari.Agus Jatmika
Tulisan dari Agus Jatmika tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Di banyak keluarga modern, keberhasilan mendidik sering diukur dari di mana anak bersekolah. Ketika seorang anak diterima di sekolah favorit, orang tua merasa lega bahwa tugas mendidik seolah telah selesai. Padahal, menyekolahkan hanyalah langkah administratif, sementara mendidik adalah perjalanan batin yang tak pernah selesai.
ADVERTISEMENT
Sekolah memang menyediakan ruang belajar, tetapi bukan rumah bagi nilai-nilai hidup. Di ruang kelas, anak belajar berhitung dan membaca, tetapi di rumah ia belajar tentang empati, sopan santun, serta cara menghargai orang lain. Sekolah bisa melatih kecerdasan logis, sementara rumahlah yang menumbuhkan kecerdasan emosional dan sosial. Oleh karena itu mengapa mendidik anak sejatinya lebih dari sekedar memastikan ia berangkat ke sekolah setiap pagi.
Sekolah Tak Menggantikan Peran Rumah
Belakangan ini, masyarakat dihebohkan oleh video viral seorang siswa yang merokok di lingkungan sekolah. Banyak yang menuding guru lemah atau orang tua lalai. Di pihak lain bila dilihat secara lebih dalam, peristiwa semacam ini bukan hanya soal disiplin, melainkan cerminan dari komunikasi yang terputus antara rumah dan sekolah. Anak tumbuh di tengah dua ruang pendidikan yang berjalan sendiri-sendiri, satu penuh aturan, satu penuh kesibukan. Anak kehilangan figur yang benar-benar mendidik, bukan sekedar mengajarkan.
ADVERTISEMENT
Dalam perspektif sosiologi komunikasi, pendidikan sejati lahir dari interaksi yang bermakna. Anak tidak tumbuh dari perintah, tetapi dari relasi yang memberi teladan. Ketika komunikasi antara orang tua dan anak berubah menjadi sekedar instruksi seperti “belajar sana”, “jangan main HP melulu”, maka nilai-nilai pendidikan yang seharusnya hidup dalam percakapan menjadi kering. Anak hanya mendengar suara, tetapi tak lagi menangkap makna.
Bahasa Nilai dalam Komunikasi Keluarga
Pada hakeketnya mendidik berarti berbicara dengan hati, bukan sekedar memberi tahu. Bahasa tubuh, nada bicara, dan keteladanan sehari-hari merupakan bentuk komunikasi yang lebih efektif dari seribu nasihat. Sayangnya, di era digital, ruang komunikasi keluarga makin tergerus. Orang tua sibuk dengan pekerjaan dan gawai, anak sibuk dengan dunia maya. Meja makan yang dulu menjadi ruang cerita kini berganti dengan keheningan layar. Dalam keheningan itu, anak tumbuh tanpa bimbingan emosional yang hangat.
ADVERTISEMENT
Dalam hal ini sosiolog Emile Durkheim menekankan bahwa pendidikan adalah proses penanaman nilai-nilai sosial agar seseorang mampu hidup harmonis dalam masyarakat. Dalam keluarga, proses itu terjadi melalui percakapan kecil yakni saat orang tua mendengarkan keluh kesah anak, menegur dengan bijak, atau memberi contoh lewat tindakan. Komunikasi semacam inilah yang menjadi pondasi moral anak sebelum ia mengenal guru, teman, atau dunia luar.
Sinergi Rumah dan Sekolah
Beberapa sekolah kini mencoba membangun kembali jembatan antara rumah dan lembaga pendidikan. Di Bandung dan Yogyakarta, sejumlah sekolah menginisiasi program Parenting Partnership yang menghadirkan orang tua dalam forum dialog rutin bersama guru. Tujuannya sederhana, agar rumah dan sekolah berbicara dengan bahasa yang sama. Ketika anak melakukan kesalahan, yang muncul bukan saling menyalahkan, melainkan diskusi untuk memahami latar perilakunya dan menemukan cara mendidik yang tepat.
ADVERTISEMENT
Langkah semacam ini menunjukkan bahwa pendidikan bukan proyek yang bisa “diserahkan” sepenuhnya kepada sekolah, tetapi sebuah kerja sosial bersama antara dua ruang komunikasi utama yakni rumah dan kelas. Sekolah menanamkan pengetahuan, sementara keluarga menumbuhkan kebijaksanaan. Bila keduanya berjarak, anak akan kehilangan arah sebaliknya bila keduanya bersinergi, anak akan belajar dengan jiwa yang utuh.
Mendidik dengan Kehadiran dan Keteladanan
Sementara itu anak-anak masa kini tumbuh di tengah dunia yang serba visual dan cepat. Mereka belajar dari media sosial, dari teman sebaya, bahkan dari algoritma. Dalam situasi seperti ini, mendidik anak berarti menghadirkan kehadiran yang nyata antara lain menemani prosesnya, mendengarkan kegelisahannya, dan menanamkan nilai melalui tindakan sehari-hari.
Dengan demikian menyekolahkan anak memang penting, tetapi itu baru permulaan. Satu hal yang tak kalah penting bahwa mendidik anak berarti hadir dalam kehidupannya, membentuk karakter, bukan hanya mencatat nilai. Pendidikan sejati bukan tentang angka, tetapi tentang nilai, bukan tentang perintah, tetapi tentang dialog, bukan tentang hasil, tetapi tentang perjalanan bersama untuk menjadi manusia yang utuh.
ADVERTISEMENT

