Konten dari Pengguna

Masihkah Ada Ruh Sumpah Pemuda Di Hati Generasi Milenial

Agus  Buchori
Saya seorang arsiparis di Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Daerah Kabupaten Lamongan yang suka menulis. Tinggal di pesisir utara Lamongan tepatnya di Desa Paciran, Kecamatan Paciran , Kabupaten Lamongan, Jawa Timur
28 Oktober 2024 14:43 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Agus Buchori tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber foto: Koleksi pribadi penulis
zoom-in-whitePerbesar
Sumber foto: Koleksi pribadi penulis
ADVERTISEMENT
Pemuda masa kini apakah masih bisa merasakan ruh Sumpah Pemuda pada tahun 1928? Pertanyaan ini mungkin sulit dijawab iya. Di tengah era global seperti sekarang ini, batas batas nasionalisme menjadi kabur dan perkembangan teknologi informasi makin masif memakan jati diri seseorang.
ADVERTISEMENT
Di era memudarnya rasa primordiali dan nasionalisme, kita bisa menyaksikan bahwa apa yang kita sebut memiliki adalah penguasaan modal. Sebuah negara mungkin memiliki perusahaan tapi itu tak lagi menjadi milik sesungguhnya karena Bosnya bukanlah negara tempat perusahaan itu berada. Banyak anak muda yang bangga menjadi pegawai karena mendapat gaji besar di sana.
Ditambah lagi dengan perasaan menjadi modern, banyak pemuda yang kini makin suka berbicara dengan kosa kata asing meski kadang pemakaiannya kurang tepat. Mereka kurang pede menggunakan bahasa indonesia dalam komunikasi sehari-hari. Begitu juga cara berpakaian dan berperilaku, mereka tak lagi punya jati diri karena kiblat yang mereka pakai adalah yang mereka tahu dan pahami adalah model yang mahal dari produk global. Tas berharga ratusan juta dan juga cara mereka berinteraksi tak lagi mengedepankan pola domestik yang gayeng di tempat sederhana.
ADVERTISEMENT
Kita perlu mempertanyakan kembali, masih adakah ruh Sumpah Pemuda yang dicetuskan pada tanggal 28 Oktober 1928, di benak generasi milenial ini. Generasi yang terkooptasi oleh kemajuan teknologi hingga kecerdasan artifisial. Mereka, para pemuda hampir kehilangan pegangan untuk berpijak karena kita bukan produsen tapi konsumen yang masif dari kemajuan teknologi informasi.
Ah, masihkah kita bisa menyadarkan mereka untuk berbangga menggunakan bahasa indonesia, bangga pada tanah airnya, serta rasa memiliki pada tanah leluhur yang kaya ini.