'Arisan' Nyawa di Perairan dan Penyeberangan

Agus Pambagio
Pemerhati kebijakan publik dan lingkungan.
Konten dari Pengguna
20 Juni 2018 11:48 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Agus Pambagio tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi kapal terbakar. (Foto: Flickr)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kapal terbakar. (Foto: Flickr)
ADVERTISEMENT
'Arisan' nyawa di tahun 2018 ini banyak terjadi di angkutan laut, danau, sungai, dan penyeberangan. Berbagai kecelakaan angkutan air terus terjadi beriringan sejak bulan Januari hingga Juni 2018. Terakhir yakni tenggelamnya Kapal Motor (KM) Sinar Bangun di Danau Toba Sumatera Utara pada sekitar pukul 17.30 WIB karena dihantam ombak dan angin. Kecelakaan ini sekaligus menjadi kecelakaan angkutan air dengan korban meninggal/hilang terbanyak.
ADVERTISEMENT
Menurut data resmi dari Komando Daerah Militer I (Kodim) Bukit Barisan Komando Resort Militer 022/Pantai Timur yang saya terima hari ini, 20 Juni 2018, korban hilang atau meninggal berjumlah 166 orang. Saya anggap saja ini berita resmi.
Simpang siurnya berita patut diduga karena ketiadaan manifes atau daftar penumpang KM Sinar Bangun. Inilah Indonesia, sebuah angkutan umum bisa mendapat izin berlayar dari Kepala Kesyahbandaran dan Operasi Pelabuhan (KSOP) Simanindo tanpa ada manifes penumpang. Pertanyaannya adalah apakah Pelabuhan Simanindo mempunyai KSOP? Lalu siapa pengelola Pelabuhan Simanindo? Dinas Perhubungan Pemda setempat atau Pemerintah Pusat, dalam hal ini Kementerian Perhubungan? Ini suatu kecerobohan yang terus berulang dan masih akan terus terjadi banyak kecelakaan di laut-danau-sungai dan penyeberangan.
ADVERTISEMENT
Juara 'arisan' nyawa di angkutan umum Indonesia pernah disandang oleh moda angkutan udara antara tahun 2007 – 2010 yang berakibat seluruh maskapai penerbangan Indonesia dilarang terbang melintas atau mendarat di negara-negara Uni Eropa dan Amerika Serikat. Namun perbaikan di angkutan udara sudah berjalan dengan baik, keselamatan penerbangan sudah meningkat dan sudah tidak ada masalah dengan kedua benua tersebut.
Kembali ke persoalan kecelakaan di perairan, sepanjang tahun 2017 telah terjadi 65 kecelakaan kapal motor di danau atau laut Indonesia atau selat atau penyeberangan. Sementara untuk tahun 2018 hingga hari ini saja, menurut data KNKT, sudah lebih dari 40 kecelakaan kapal motor di sungai, laut, danau, dan penyeberangan. Hampir semua kecelakaan disebabkan oleh ulah manusia yang tidak bisa menguasai kapal akibat cuaca yang sebenarnya tidak terlalu ekstrim, namun karena kelebihan muatan.
ADVERTISEMENT
Akibatnya, banyak pelanggaran keselamatan yang dilakukan oleh pemilik/pengelola kapal, pejabat pemberi izin berlayar (KSOP), regulator, aparat, dan para penumpangnya. Tanpa penerapan hukum yang tegas, mustahil moda transportasi air akan aman dan nyaman bagi publik.
Lemahnya Regulasi dan Regulator
Berdasarkan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, kewenangan pelabuhan sudah dialihkan kembali ke Pemerintah Pusat, dalam hal ini Kementerian Perhubungan. Namun belum jelas dalam koordinasi siapa, Direktorat Jenderal Perhubungan Laut atau Perhubungan Darat karena sebelumnya angkutan sungai-danau-penyeberangan, regulatornya ada pada Direktorat Jenderal Perhubungan Darat. Posisinya rancu karena bergerak di air tetapi di regulasi oleh Perhubungan Darat bukan Perhubungan Laut. Kondisi ini yang memperparah moda angkutan air.
Terkait dengan regulasi, di tingkat Peraturan Menteri pun belum jelas, akibatnya aparat hukum sulit mengambil tindakan hukum. Kondisi ini dimanfaatkan oleh operator untuk melakukan langkah-langkah yang mengabaikan keselamatan manusia namun mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya.
ADVERTISEMENT
Pelanggaran yang marak misalnya, membiarkan kapal tanpa alat penyelamat yang sesuai dengan kapasitas penumpang berlayar; mengubah bentuk kapal dengan maksud dapat mengangkut manusia dan barang lebih banyak; memodifikasi kapal sehingga pintu atau jendela darurat tertutup (seperti yang terjadi pada KM Sinar Bangun); mengubah peruntukan dari kapal ikan menjadi penumpang tanpa izin (kecelakaan KM Arista di perairan Makassar minggu lalu karena ini) dan sebagainya.
Kita semua paham bahwa angkutan air lebih rawan menghadapi cuaca dibanding moda angkutan lain, apalagi perubahan iklim sedang terjadi. Untuk itu keselamatan harus menjadi faktor utama untuk menentukan kapal tersebut layak berlayar atau tidak.
Beberapa hal perlu diperhatikan terkait kelayakan berlayar: Kapal diubah bentuk fisiknya; mengangkut penumpang melebihi kapasitas; mengubah peruntukan kapal; dan sebagainya. Sekilas, hal-hal tersebut tampak tidak membahayakan keselamatan. Namun ketika menghadapi cuaca buruk kapal tidak dapat bermanuver dengan baik dan selamat, padahal jika semua aturan diikuti meski dihantam cuaca ekstrim kapal tersebut masih bisa selamat.
ADVERTISEMENT
Berhubung tanggung jawab utama sebagai regulator ada di Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kemenhub, maka Dirjen Perhubungan Laut harus orang yang punya leadership kuat, punya nyali terhadap berbagai ancaman di daerah, paham persoalan angkutan air, dan permasalahannya serta paham soal keselamatan transportasi air. Tanpa itu sebaiknya mundur saja atau kalau dipertahankan kita harus siap terhadap banyaknya kecelakaan kapal di perairan Indonesia.
Hidup itu pilihan, jadi cepatlah negara memutuskan demi keselamatan transportasi publik di Republik Indonesia.
Jalan Keluar Perbaikan
ADVERTISEMENT
Pertama, secara regulasi sebenarnya ada Peraturan Pemerintah (PP) No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, yang dapat digunakan mengatur siapa bertanggung jawab terhadap apa, termasuk di sektor Perhubungan Sungai, Danau dan Penyeberangan.
Namun di lapangan tidak berjalan baik, apalagi setelah muncul UU No. 23 Tahun 2014 tentang Otonomi Daerah menyebabkan urusan angkutan danau, sungai, dan penyeberangan, ditarik ke Pemerintah Pusat--dalam hal ini Kementerian Perhubungan. Ini persoalan paling mendasar yang harus diselesaikan oleh Pemerintah Pusat supaya pelaksanaan hukumnya jalan tidak saling lempar.
Sebagai contoh yang pertama, persoalan pengawasan terhadap pemberian surat ukur, surat tanda pendaftaran dan tanda pendaftaran, sertifikat kelaikan kapal, sertifikat pengawakan kapal, dan surat tanda kebangsaan kapal sungai dan danau di atas atau sama dengan 7 tonase kotor (GT) harus oleh Pemerintah Pusat. Sedangkan untuk kapal di bawah atau sama dengan 7 GT dapat dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah. Ini baru satu contoh yang membingungkan semua pihak tetapi jadi loop hole untuk bermain dengan membahayakan keselamatan publik.
ADVERTISEMENT
Kedua, pastikan bahwa persoalan angkutan laut, danau, sungai, dan penyeberangan menjadi tanggung jawab siapa di Pemerintah Pusat? Apakah berada di Direktorat Jenderal Perhubungan Laut atau di Perhubungan Darat? Lalu bagaimana dengan pengaturan pelabuhan, kesyahbandaran, dan berbagai infrastruktur angkutan laut-danau-sungai-penyeberangan? Kejelasan tersebut penting artinya semisal untuk memastikan tugas dan tanggung jawab Kesyahbandaran dan Operasi Pelabuhan (KSOP) dalam menerbitkan Surat Izin Berlayar (SIB).
Akhir kata, tanpa kepastian di sisi regulasi dan siapa regulator yang bertanggung jawab, maka pengawasan operasi kapal dan pelabuhan sulit dilakukan. Lalu kalau terjadi kecelakaan seperti kasus di Makassar dan Danau Toba, siapa yang harus bertanggung jawab?
Sekali lagi, keselamatan di semua moda transportasi umum menjadi yang utama. Jangan korbankan nyawa demi keuntungan. Sekali lagi perlu saya ingatkan melalui slogan yang sering disampaikan oleh mantan Menteri Perhubungan terdahulu yaitu: “Lebih baik tidak berangkat daripada tidak pernah sampai."
ADVERTISEMENT
Salam,
Agus Pambagio Pemerhati Kebijakan Publik dan Perlindungan Konsumen