Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.101.0
Konten dari Pengguna
Buruknya Manajemen Transportasi Haji yang Merugikan Publik (1)
29 Juli 2017 9:41 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:16 WIB
Tulisan dari Agus Pambagio tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Perjalanan ritual pergi haji merupakan kewajiban seluruh umat Islam yang terjadi setiap tahun dan tentunya pemerintah harus menyiapkan semua dukungan demi suksesnya ibadah haji ke tanah suci. Karena ini ritual tahunan seharusnya kesiapan pemerintah tidak usah diragukan sama seperti mempersiapkan angkutan Lebaran setiap tahun. Kementerian Perhubungan (Kemenhub) harus mengutamakan safety atau keselamatan jemaah dan kebijakan ini tidak dapat diintervensi atau dipengaruhi oleh pihak manapun, termasuk Kementerian Agama bahkan Presiden. Masing – masing sudah mempunyai tupoksi sendiri. Ketegasan Kemenhub sebuah prioritas.
ADVERTISEMENT
Untuk itu penetapan Bandara mana menjadi pusat pemberangkatan haji dan jenis pesawat yang akan digunakan merupakan kewenangan Kemenhub bersama maskapai. Lalu Kemenhub juga harus tegas kepada maskapai yang akan menerbangkan jemaah ke tanah suci, jangan sampai terlobi oleh maskapai hanya karena faktor ekonomi dari maskapai atau faktor apapun. Jika hal tersebut tidak berjalan, maka kekacauan yang merugikan semua pihak pasti akan terjadi dan perkiraan saya sudah dibuktikan dalam dua hari ini.
Kekacauan angkutan Haji yang dimulai tanggal 28 Juli 2017 berawal dari buruknya manajemen Angkutan Haji yang dikelola oleh Kemenhub dan Kementerian Agama, ditambah dengan buruknya manajemen PT Garuda Indonesia (GA) Tbk yang “katanya” merupakan flag carrier Indonesia. Dampak dari kekacauan ini merambat ke semua sektor, khususnya maskapai non GA, bandara dan konsumen.

Berapa kerugian maskapai penerbangan non GA karena sejak Kamis (27 Juli 2017) sore, terjadi keteledoran luar biasa dari regulator dan GA yang tidak perlu karena memaksa mendaratkan B 777-300 di Bandara Internasional Minangkabau (BIM) di mana secara teknis bandara BIM tidak dapat didarati oleh pesawat berbadan lebar sejenis B 777-300 (sesuai Surat Dirjen Perhubungan Udara No. AU.201/35/8/DRJU DIRJEN-2017. Perihal: Penerbangan Haji dari bandara Internasional Minangkabau Padang). Akibatnya setelah mendarat pesawat tersebut terhenti di ujung landasan tidak dapat berputar ke arah apron. Ini mengakibatkan penerbangan ke dan dari BIM terhambat. Beberapa pesawat harus dialihkan ke bandara lain dan banyak yang tertunda take off.
ADVERTISEMENT
Begitu pula kejadian pada hari Jumat 28 Juli 2017 kemarin di Bandara Halim Perdanakusuma (HLP) karena B 777-300 yang membawa kloter haji overload (dalam hal ini GA melanggar ketentuan dari Kementerian Perhubungan tentang batas kapasitas angkut pesawat) menyebabkan landasan rusak parah dan semua penerbangan komersial harus dihentikan atau dialihkan ke bandara lain di sekitar Jakarta. Kembali berapa biaya yang harus ditanggung oleh maskapai lain non GA, Bandara dan penumpang akibat kecerobohan ini.
Bisa dihitung pula berapa kerugian yang diderita maskapai non GA selama 2 hari ini karena harus menghamburkan avtur cuma-cuma dan harus menyediakan biaya kompensasi keterlambatan ke penumpang berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan No. 89 Tahun 2015 tentang Penanganan Keterlambatan Penerbangan Pada Badan Usaha Angkutan Udara Niaga Berjadwal di Indonesia. Selain itu beberapa Bandara pun harus mengeluarkan biaya tambahan karena harus beroperasi melebihi jam operasi seharusnya demi mempercepat penerbangan yang tertunda. Lalu siapa yang harus bertanggung jawab ?
ADVERTISEMENT
Secara kasat mata, menurut saya harusnya Pemerintah (Kementerian Perhubungan dan Kementerian Agama) serta GA karena GA sebagai operator tidak menjalankan fungsinya dengan baik. Namun apa mungkin dilakukan saat GA sedang merugi triliunan dan defisit APBN meningkat ? Hal-hal seperti ini yang membuat mikro ekonomi nasional semakin buruk. Ini bukti bahwa Direktur Operasi bukan Dewan Direksi yang mempunyai kewenangan setingkat Direksi karena tidak diangkat oleh Rapat Pemegang Saham PT GA dan ini bukti kementerian BUMN memanipulasi UU No. 1 Tahun 2009 Tentang penerbangan dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) No. 33 Tahun 2014 Tentang Direksi dan Dewan Komisaris Emiten atau Perusahaan Publik. Persoalan ini akan saya bahas di artikel berikut.
ADVERTISEMENT
Keselamatan penerbangan merupakan suatu yang wajib dan tidak bisa ditawar-tawar lagi, apalagi menyiasati peraturan demi pencitraan di hadapan Presiden dan publik. Saya kutip saja slogan soal safety di transportasi yang disampaikan oleh mantan Menteri Perhubungan dan pernah populer beberapa waktu lalu: ”Lebih baik tidak berangkat daripada tidak pernah sampai”.
AGUS PAMBAGIO
(Pemerhati kebijakan Publik dan Perlindungan Konsumen)