Buruknya Manajemen Transportasi Haji yang Merugikan Publik (3)

Agus Pambagio
Pemerhati kebijakan publik dan lingkungan.
Konten dari Pengguna
30 Juli 2017 12:27 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Agus Pambagio tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Landasan Halim Perdanakusuma yang mengelupas (Foto: Dok. Istimewa)
zoom-in-whitePerbesar
Landasan Halim Perdanakusuma yang mengelupas (Foto: Dok. Istimewa)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Melanjutkan pembahasan buruknya manajemen transportasi Haji yang merugikan publik, mari sekarang kita bahas kondisi bandaranya, dalam hal ini Bandara Halim Perdanakusuma (HLP). Kita tahu bahwa kekusutan pelayanan Bandara HLP kemarin (28 Juli 2017) disebabkan karena ketika pesawat haji B 777 – 300 milik Garuda Indonesia (GA) lepas landas, telah merusak landasan Bandara HLP cukup parah.
ADVERTISEMENT
Untuk memperbaiki dibutuhkan waktu minimal tiga jam dan ini berakibat fatal pada jadwal semua pesawat yang akan lepas landas dan mendarat di HLP, semua mengalami keterlambatan panjang dan pembatalan. Dampaknya juga membuat beberapa Bandara di Indonesia harus buka lebih lama untuk menampung keterlambatan penerbangan.
Pertanyaan publik terkait kondisi Bandara HLP bermacam-macam, antara lain:
1. Mengapa landasan HLP bisa mengelupas separah itu, padahal pesawat yang terlihat lebih besar dari B 777 – 300, misalnya B 747 – 400 sering mendarat di Bandara HLP dan landasan baik-baik saja ?
2. Mengapa pengoperasian pesawat B 777 – 400 tetap diizinkan lepas landas dari HLP ? Jika berdasarkan penelitian Dirjen Perhubungan Udara, Kementerian Perhubungan Bandara HLP tidak layak untuk digunakan oleh B 777-300. Faktor apa yang membuat pesawat GA B 777-300 tetap di izinkan untuk tinggal landas dari Bandara HLP
ADVERTISEMENT
3. Siapa yang menanggung kerugian bandara-bandara yang harus beroperasi lebih lama, serta maskapai dan penumpang yang terdampar berjam jam di beberapa Bandara, termasuk Bandara HLP ?
Berdasarkan pembahasan saya dengan beberapa pejabat di lingkungan Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, PT Angkasa Pura II, penerbang B 777-300 dan beberapa tenaga ahli kebandarudaraan, baik nasional maupun internasional; ternyata memang banyak faktor nyang ditabrak petugas operasi atas desakan beberapa pihak yang patut diduga mempunyai otoritas kepada pilot, bandara dan airnav.
Berdasarkan diskusi dengan beberapa pihak serta data-data yang saya dapat, maka pertanyaan No. 1 dapat saya simpulkan sebagai berikut: Pesawat B 747-400 secara kasat mata memang lebih besar dan lebih berat dari B 777-300. Namun B 747-400 selain mempunyai dua (2) roda di bagian depan (nose gear) dan delapan roda utama (main gear) juga memiliki delapan roda di badannya (body gear), sehingga pembagian bebannya terdistribusi merata per gear sebesar 26%. Sedangkan pada B 777-300 hanya memiliki dua nose gear dan 12 main gear saja, sehingga distribusi bebannya per gear 48% atau lebih besar dari B 747-400. Makanya bisa mengelupaskan aspal landasan, apalagi jika kualitas aspalnya buruk.
ADVERTISEMENT
Maximum Take Off Weight (MTOW) atau beban maksimum pesawat saat lepas landas untuk B 747-400 sekitar 480 ton, sedangkan untuk B 777-300 sekitar 350 ton, tetapi derita aspal landasan Bandara HLP lebih ringan jika digilas oleh B 747-400 dibandingkan jika digilas oleh B 777-300. Analoginya bisa kita gunakan truk. Beban truk dengan muatan seberat 10 ton dan beroda 18 akan lebih ringan bagi jalan dibanding beban truk dengan muatan sama 10 ton tetapi rodanya hanya 10. Semakin banyak sumbu roda dan roda maka beban jalan/landasan akan semakin ringan
Sedangkan untuk menjawab pertanyaan no. 2, saya kesulitan mencari kata-kata yang tepat karena kesalahannya fatal. Berdasarkan hasil penelitian yang dikeluarkan oleh Direktorat Bandara Kementerian Perhubungan pada tanggal 21 Juli 2017 , terlihat bahwa Bandara HLP secara teknis memang tidak layak untuk lepas landas dan mendarat bagi B 777-300, bahkan untuk operasional pesawat B 737 atau A 320 pun kondisi landasannya mengkhawatirkan karena banyaknya keretakan landasan/apron, pecah sudut landasan, permukaan bergelombang/penurunan pada area alur roda pendaratan utama dan lain-lain. Untuk itu perbaikan total harus segera dilaksanakan oleh PT Angkasa Pura 2 demi safety penerbangan nasional.
ADVERTISEMENT
Dari hasil pemeriksaan tersebut, Direktorat Bandar Udara, Kementerian Perhubungan menentukan bahwa Retricted Take Off Weight (RTOW), batas berat pesawat dan isinya saat lepas landas bagi B 777-300 di Bandara HLP adalah 270.624 kg atau sekitar 270 ton. Jemaah haji reguler (40 hari) tentunya pweerlu membawa perbekalan atau bagasi cukup banyak dan dalam satu kelompok terbang (kloter) jemaah tidak mau dipisah. Dapat dipastikan, berat pesawat kloter 1 HLP itu melanggar keputusan Dirjen Perhubungan Udara atau melebihi kemampuan landasan Bandara HLP (kalau mau jujur datanya pasti ada).
Lalu siapa yang dapat memaksa pilot untuk menerbangkan pesawat meskipun RTOW-nya B 777-300 terlampaui ? Pastinya otoritas penerbangan dan GA karena kalau Pilot menolak terbang, pasti kena sanksi atau di grounded atau di daratkan. Padahal seorang Pilot seharusnya berkuasa penuh untuk menolak atau menerbangkan pesawat. Dia berhak menolak untuk terbang jika kondisi pesawat atau landasan dan navigasi udaranya tidak baik dan benar. Namun kejadian kemarin di Bandara HLP itu tidak jelas, mengapa Pilot tetap menerbangkan meskipun pesawat over loaded. Sila dijawab sendiri ya.......
ADVERTISEMENT
Berdasarkan kejadian di Bandara HLP, maka kloter HLP dipindahkan ke Bandara Soekarno – Hatta. Namun saya belum mendapat kabar dari Bandara Internasional Minangkabau (BIM), bagaimana dampak penerbangan reguler karena penerbangan harus ditunda ketika pesawat B 777-300 harus di towing (tarik) dari ujung landasan ketika akan take off dan masuk ke taxiway karena pesawat B 777 300 tidak dapat berputar sendiri di ujung karena sempit. Awalnya akan dipindah ke Bandara Kualanamu, namun berdasarkan surat Dirjen Perhubungan Udara tertanggal 28 Juli 2017, batal dan tetap di BIM. Zaman modern begini kok ada pemaksaan jenis pesawat, sehingga kalau mau take off harus di towing dulu. Primitif dan kalau tidak hati-hati bisa merusak struktur nose gear atau roda depan pesawat.
ADVERTISEMENT
Keselamatan penerbangan merupakan suatu yang wajib dan tidak bisa ditawar tawar lagi, apalagi menyiasati peraturan demi pencitraan di hadapan Presiden dan publik. Saran saya, Presiden mengadakan Rapat Terbatas (Ratas) tentang manajemen Angkutan Haji minggu depan, supaya tidak terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan bersama. Saya kutip saja slogan soal safety di transportasi yang pernah disampaikan oleh mantan Menteri Perhubungan dan pernah populer beberapa waktu lalu :”lebih baik tidak berangkat daripada tidak pernah sampai”
(bersambung).
AGUS PAMBAGIO (Pemerhati kebijakan Publik dan Perlindungan Konsumen).