news-card-video
22 Ramadhan 1446 HSabtu, 22 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Dampak Kehadiran Indonesia Airlines bagi Maskapai Nasional

Agus Pambagio
Pemerhati kebijakan publik dan lingkungan.
22 Maret 2025 12:48 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Agus Pambagio tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi maskapai Indonesian Airways. Foto: Cahyadi HP/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi maskapai Indonesian Airways. Foto: Cahyadi HP/Shutterstock
ADVERTISEMENT
Seperti yang telah saya ulas minggu lalu di media, Indonesia Airlines (IA) adalah perusahaan penerbangan asing yang berbaju atau berizin di Singapura, sama seperti Singapore Airlines, Jetstar Asia Airways, Scoot, dan Silk Air. Mereka menggunakan kode 9V dan dari sisi peraturan, sebagai maskapai Internasional, IA tidak melanggar peraturan yang ada di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Pemilik  IA adalah Calypte Holding Pte. Ltd yang rencananya akan menerbangi rute Internasional dari Bandara Soekarno Hatta (CGK) maupun bandara-bandara Internasional lain di Indonesia tanpa melanggar azas cabotage, seperti yang ditakutkan banyak pihak.
Kita perlu tahu, tanpa pelanggaran asas cabotage pun, IA sebagai maskapai asing dapat dengan bebas menerbangi wilayah udara Indonesia dengan menggunakan hak angkut (Right Entitlement) yang dimiliki Singapura. Izin ini tertulis dalam Bilateral Air Service Agreement (BASA) antara Singapura (atau negara lain) dengan Indonesia maupun melalui Multilateral Air Service Agreement (MASA) di antara negara ASEAN melalui kebijakan ASEAN Open Sky.
Dengan kata lain, maskapai Indonesia seperti Garuda Indonesia Group, Lion Air Group, Transnusa, Sriwijaya, NAM, dan lain-lain bisa tambah panas dingin. Pasar gemuk domestik ke internasional, seperti Haji dan Umrah, bisa punah secara perlahan jika maskapai asing ASEAN menggunakan perjanjian ASEAN Open Sky yang resmi diberlakukan di seluruh negara ASEAN sejak 2015 lalu ini.
ADVERTISEMENT
Lalu bagaimana masa depan industri penerbangan Indonesia, yang hingga hari ini belum diatur dan dijalankan dengan kerangka dan strategi ke depan? Industri lokal yang belum menggunakan transformasi roadmap yang strategis, tidak hanya gaduh dengan strategi tiket murah yang berlatar belakang politis, bukan ekonomis, dan menyesatkan peraturan yang ada?

Masa Depan Angkutan Udara Indonesia

Pesawat Garuda Indonesia. Foto: KeleX Pictures/Shutterstock
ASEAN Open Sky yang didorong oleh Malaysia dan Singapura merupakan kebijakan untuk membuka wilayah udara negara ASEAN melalui peningkatan kerja sama di sektor penerbangan. Namun dalam pelaksanaannya, kebijakan ini sangat merugikan Indonesia dan menguntungkan negara ASEAN lain yang hanya mempunyai sedikit bandara Internasional.
Munculnya IA merupakan buah simalakama bagi maskapai Indonesia. Kondisi ini muncul sebagai akibat lemahnya regulator Indonesia, Kementerian Perhubungan, ketika membahas masalah kebijakan ASEAN Open Sky sekitar tahun 2007 silam. Saat itu penerbangan Indonesia tengah hancur lebur akibat larangan terbang dari Uni Eropa dan banyaknya kecelakaan transportasi udara di wilayah Indonesia.
ADVERTISEMENT
Malaysia dan Singapura mendorong ASEAN Open Sky dengan tujuan agar jangkauan maskapai penerbangan mereka bisa "meraup" penumpang dan barang dari Indonesia. Sayangnya, kala itu, pemerintah Indonesia tidak menyadari strategi sesat tersebut.
Saat negosiasi, Ditjen Perhubungan Udara Indonesia sepertinya tidak mampu berpikir strategis dalam kacamata negara, bukan cuma sektoral. Juru runding kita habis dilobi oleh otoritas penerbangan negara ASEAN lain, terutama dari dua negara itu.
Sebagai contoh, mereka minta supaya lima bandara Internasional Indonesia masuk dalam kesepakatan, yaitu Bandara Soekarno Hatta, Bandara Juanda, Bandara Kualanamu, Bandara Sultan Hasanudin dan Bandara Ngurah Rai yang merupakan bandara terbesar, teramai, dan terstrategis di wilayah Indonesia.
Sebagai gantinya, Indonesia hanya diberi satu Bandara Internasional Changi di di Singapura; dan Bandara Internasional Kuala Lumpur serta delapan bandara internasional kecil lainnya dari Malaysia. Hal ini tidak sebanding dengan lima bandara besar di Indonesia kala itu.
ADVERTISEMENT
Tapi begitulah nasib industri penerbangan Indonesia saat ini. Terpuruk, dan bahkan diperparah dengan perang tiket murah yang mencekik pendapatan bandara (PJP2U dan PJP4U) hingga 50% di kala high season lebaran.
Ilustrasi maskapai Indonesia Airways. Foto: Cahyadi HP/Shutterstock
Kembali lagi ke masalah IA, berdasarkan pembahasan serius tetapi santai dengan para ahli kebijakan penerbangan yang pernah menjadi regulator dan beberapa mantan pimpinan perwakilan Garuda Indonesia di beberapa negara, mereka mengatakan bahwa untuk merampas penumpang dan barang dari Indonesia, maskapai Singapura cukup memiliki Right 3 dan Right 4 saja.
Dengan kedua Right itu, IA sudah sangat leluasa dapat melaksanakan Right 6 (kombinasi antara Right 3 dan Right 3 untuk bisa terbang ke negara lain lagi melalui Hub di Singapura). Hal ini sudah sejak lama dilakukan maskapai Singapura tanpa regulator Indonesia keberatan atau minta re-negosiasi. Cerdas kan?
ADVERTISEMENT
Freedom Right atau Right saja di industri penerbangan, adalah hak kebebasan yang dimiliki oleh maskapai penerbangan untuk melakukan operasional penerbangan (mengangkut manusia dan barang) di suatu negara atau wilayah. Singapura dengan mudah melaksanakan penerbangan dari bandara Internasional di Indonesia dengan menggunakan kamuflase Right 7 (seperti yang pernah saya sampaikan).
Dari Indonesia ke negara-negara lain, seperti rencana IA, tanpa harus terbang Internasional melalui Hub di Singapura. Namun Right 7 ini tidak digunakan oleh maskapai Singapore karena tidak menarik untuk penumpang dan pemilik barang. Jadi lebih baik terbang langsung dari Singapura mengambil penumpang dan barang di bandara Indonesia menggunakan Right 6 di atas, lebih ekonomis.
Kemudian mengacu pada kesepakatan BASA dan MASA, IA juga sudah sangat bisa menerbangi rute Internasional ke/dari Indonesia sesuai Right atau Hak Angkut yang dimiliki, dengan tetap wajib melengkapi hal-hal sebagai berikut: Pertama, memenuhi persyaratan perusahaan penerbangan dari Pemerintah Singapore. Kedua, melengkapi segala persyaratan menerbangi rute Internasional dari pemerintah Indonesia, seperti :
ADVERTISEMENT
Dengan memenuhi semua tujuh persyaratan tersebut di atas, maka IA resmi dan sah menerbangi rute Internasional dari/ke Bandara Internasional di Indonesia, misalnya Bandara CGK.
Contoh lain, Etihad Airways (EY) baru saja mengumumkan terbang langsung dari Kualanamu ke Abu Dhabi langsung mulai 3 Oktober 2025. Ini akan mengeruk Jemaah Umrah dan Haji Indonesia dari Sumatera Utara dan Aceh ke Tanah Suci via Abu Dhabi dengan tiket lebih murah karena EY bukan maskapai domestik yang terkena berbagai pajak. Selesai sudah maskapai Garuda Indonesia.
ADVERTISEMENT

Langkah Pemerintah

Sebagai dampak buruknya negosiator Indonesia (Dirjen Perhubungan Darat) kala itu, industri penerbangan kita semakin “nyungsep”. Tidak hanya Garuda Indonesia Group yang pusing tetapi juga maskapai domestik lain, termasuk LAG karena lawan kita maskapai asing yang menggunakan pesawat berbadan lebar kelas sultan. Mereka akan mengeruk pangsa gemuk Jemaah Haji dan Umrah serta turis domestik Indonesia yang memerlukan pelayanan sultan ke luar negeri.
Saran saya, pemberian slot terbang oleh IASM ke maskapai asing harus diatur demi kepentingan maskapai domestik tidak bertambah nyungsep, misalnya izin terbang IA tidak di berikan pada jam slot premium. Kedua, di Forum Pertemuan ASEAN Indonesia harus aktif mengusulkan perubahan atau revisi isi ASEAN Open Sky, mengingat sudah berjalan sepuluh (10) tahun sejak mulai dijalankan pada 2015 , supaya lebih menguntungkan Indonesia.
ADVERTISEMENT