Evaluasi Ulang Hak Kebebasan Penerbangan Lewat A380-800 Emirates Dubai-Denpasar

Agus Pambagio
Pemerhati kebijakan publik dan lingkungan.
Konten dari Pengguna
2 Juni 2023 19:29 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Agus Pambagio tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Emirates A380 resmi mendarat di Bandara I Gusti Ngurah Rai Bali, Kamis (1/6). Foto: Dok. Angkasa Pura I
zoom-in-whitePerbesar
Emirates A380 resmi mendarat di Bandara I Gusti Ngurah Rai Bali, Kamis (1/6). Foto: Dok. Angkasa Pura I
ADVERTISEMENT
Minggu ini media banyak memberitakan mendaratnya Pesawat Airbus A 380–800 Emirates, yang merupakan pesawat penumpang terbesar di dunia, di Bandara Denpasar (DPS) dari Dubai (DXB). Di samping adanya kebanggaan bahwa pesawat super besar itu dapat landing di DPS, bahkan dengan Kapten Pilot orang Indonesia; Kartika Wardaya.
ADVERTISEMENT
Ada kekhawatiran banyak orang bahwa pesawat super besar itu akan memangsa jemaah umrah dari Indonesia yang selama ini menjadi pangsa pasar maskapai domestik. Kekhawatiran yang mungkin berlebihan karena ada kekhawatiran yang jauh lebih perlu diperhatikan dan jarang diketahui awam, yaitu apa yang disebut dengan Hak Kebebasan Penerbangan (Right of freedom), yang tentu telah diberikan Indonesia ke UAE dan selanjutnya oleh UAE diberikan ke maskapai Emirates.
Hak penerbangan diberikan negara agar maskapai penerbangan asing dapat melintas, mendarat, take off, isi bahan bakar, menurunkan dan menaikkan penumpang, dan melakukan penerbangan lanjutannya dsb. Hak kebebasan dari satu sampai dengan Sembilan, yang pemberiannya harus mempertimbangkan banyak hal agar tidak merugikan kepentingan negara dan tentu juga tidak merugikan maskapai penerbangan nasionalnya.
ADVERTISEMENT

Kekhawatiran Penerbangan A380-800 DXB–DPS Akan Merebut Jemaah Umrah Adalah Berlebihan

Di media masa maupun media sosial, banyak pihak mempergunjingkan kekhawatiran bahwa karena besarnya pesawat ini lalu akan merebut jemaah umrah Indonesia dengan menggunakan Maskapai Emirates. Kekhawatiran ini berlebihan karena yang pertama, bisa saja Emirates menggunakan dua pesawat B 777 yang tidak akan diributkan orang padahal lebih banyak daya angkutnya dibanding satu A380-800.
Kedua, DPS bukan konsentrasi jemaah umrah, jika niatnya merebut jamaah umrah akan lebih strategis ke CGK atau SUB. Ketiga, Pesawat itu menuju DBX bukan Jedah (JED) sehingga jemaah akan “malas”untuk transit di DBX dan melanjutkan penerbangan melintasi semenanjung Arab ke JED, dibanding penerbangan langsung yang banyak tersedia di CGK, SUB bahkan juga KJT.
ADVERTISEMENT
Diperkirakan target pasar Maskapai Emirates bukan jemaah umrah, akan tetapi penumpang biasa dari Dubai atau kota-kota lain “di belakang” DXB ke DPS dan sebaliknya dari DPS ke DXB. Bisa juga ke dan dari kota-kota lain “di belakang” DPS yang merupakan target berikutnya. Tapi tentu saja hal tersebut bisa terjadi hanya jika Pemerintah Indonesia memberi Hak Kebebasan Penerbangan (Right of Freedom) yang sesuai kepada UAE.

Pemberian Hak Kebebasan Penerbangan oleh Pemerintah Indonesia Harus Mempertimbangkan Kepentingan Nasional

Right of Freedom adalah Hak Penerbangan Sipil yang diatur dalam Konvensi Chicago 1944 yang telah diratifikasi oleh sebagian besar negara di dunia. Hak ini diberikan oleh satu negara ke negara lain. Dan negara penerima hak akan memberikan izin akses tersebut bagi maskapai penerbangannya.
ADVERTISEMENT
Negara Indonesia, dalam hal ini tentu saja Kementerian Perhubungan yang punya kewenangan memberikan hak itu. Hanya sedikit publik yang tahu tentang Hak Penerbangan ini. Banyak hal yang harus dipertimbangkan dengan saksama oleh otoritas penerbangan nasional dalam pemberian hak ini, antara lain aspek keadilan, aspek resiprokal, aspek kepentingan nasional, dan sebagainya.
Dalam hal A380–800 mendarat di DPS, sebagai contoh, maka tentunya pemerintah Indonesia melalui Kementerian Perhubungan telah memberi Hak Kebebasan ke-3 yakni dapat membawa pax dari DXB dan turun di DPS. Lalu ada Hak Kebebasan ke-4 yakni membawa pax dari DPS dan turun di DXB.
Pemberian dua hak ini sudah harus mempertimbangkan, apakah kompetisi dengan Maskapai Nasional sudah cukup berimbang atau belum? Mana yang lebih besar antara pax dari DPS atau dari DXB. Lalu apakah Indonesia juga sudah diberi hak yang sama oleh UAE dan apakah sudah cukup fair, dsb.
ADVERTISEMENT
Sehingga pemberian Hak ke-3 dan ke-4 yang relatif sederhana ini, sebenarnya pada kenyataannya tidak sesederhana itu, karena harus mempertimbangkan banyak hal terkait kepentingan nasional dan juga hubungan internasional.
Pertanyaan berikutnya, benarkah pax antara DXB dan DPS ini demikian besar sehingga Emirates sampai “menerjunkan” A380–800 di pasar ini. Saya meragukan. Namun tentu saja ada sisi lain yang juga harus dipertimbangkan, yaitu jika penggunaan A380-800 ini dapat menjadikan kunjungan wisman ke Bali meningkat, tentu pemberian hak ini harus didukung.

Hak Kebebasan Penerbangan Tingkat Berikutnya Perlu Diwaspadai

Emirates A380 resmi mendarat di Bandara I Gusti Ngurah Rai Bali, Kamis (1/6). Foto: Dok. Angkasa Pura I
UAE dengan Maskapai Penerbangan Emirates sama seperti Singapura dengan Singapore Airlines dan anak-anak perusahaannya yang dengan perkasa menjelajah ke hampir semua kota besar di dunia. Dua negara yang secara geografis sangat kecil tetapi maskapai penerbangannya sangat powerful. Apakah hanya untuk pax yang menuju dan berangkat dari dua negara tersebut saja ke seluruh dunia? Jawabannya pasti tidak.
ADVERTISEMENT
Terbang ke kota-kota besar di dunia tersebut di samping Hak ke-3 dan ke-4 juga ada Hak ke-5, yang artinya bisa membawa pax di “belakang” kota tujuan dari Dubai dan Singapura. Serta Hak ke 6 yang membawa pax dari kota tujuan ke Dubai dan Singapura dan dilanjutkan ke kota berikutnya.
Dalam hal A380–800 ke DPS, maka Emirates kemungkinan besar juga akan menyasar kota-kota di “belakang” DPS, misalnya: Sydney, Melbourne, Perth, Auckland dsb. Dalam hal demikian kemungkinan UAE akan meminta Hak ke-5.
Juga sebaliknya pax dari DPS (atau kota lain di Indonesia ke DPS dahulu) akan menuju ke kota-kota lain di “belakang” Dubai seperti Amsterdam, Paris, Frankfurt, Roma, Zurich dsb. Dengan demikian UAE juga akan meminta Hak ke-6. Nah pertimbangan atas pemberian Hak ke-5 dan ke-6 yang kemungkinan besar akan diminta UAE untuk Emirates ini jauh lebih banyak perimbangannya dan lebih kompleks.
ADVERTISEMENT
Pertanyaannya, apakah hak yang sama juga telah diberikan oleh UEA kepada Indonesia? Jika iya apakah ada penerbangan nasional yang memerlukan hak ini? Jika tidak apakah ada penukarnya dan sebagainya dan seterusnya. Sebuah keputusan yang kompleks dan untuk itu harus diberikan dengan teliti dan saksama. Pemberian Hak Penerbangan yang sela mini sudah diberikan oleh Indonesia perlu dievaluasi ulang.

Evaluasi Ulang Hak Kebebasan Penerbangan yang Telah Diberikan

Tujuan pemberian Hak Penerbangan ke negara lain adalah untuk meningkatkan penerbangan nasional dan juga kemudahan akses internasional dari kota-kota di Indonesia ini tentunya harus didukung, namun juga perlu ditinjau siapa yang menikmati kue penerbangan dari pasar Indonesia tersebut juga tentu harus dievaluasi terlebih dahulu sebelum diberikan.
ADVERTISEMENT
Tentang banyaknya bandara internasional (yang sekarang baru mulai dikurangi) sudah kami sampaikan bertahun-tahun lalu, juga tulisan kami tentang mempertahankan Bandara Soekarno-Hatta sebagai gateway Indonesia serta penerbangan cross border yang sangat merugikan Indonesia juga sudah kami ramaikan di publik, namun hingga hari ini belum mendapat perhatian dari otoritas penerbangan.
Saat ini, sebagai contoh, dari Ternate (TTE) ke Singapura jauh lebih murah melalui Manado (MDC) dibanding melalui CGK. TTE-MDC Rp 1,4 juta (Wing Air) dan MDC-SIN Rp 1,5 juta (Scoot Air, anak perusahaan SQ). Hanya sekitar Rp 2,9 juta dari Ternate ke Singapura. Jika penerbangan itu melalui Jakarta tidak akan kurang dari Rp 9 juta harga tiketnya.
Contoh lain yang mirip, penerbangan dari Medan atau Banda Aceh ke Jakarta melalui Kuala Lumpur atau Singapura lebih murah. Hal itu terjadi karena adanya kebijakan pemerintah bahwa Bandara Internasional CGK, sebagai gateway dan juga penerbangan cross border, diikuti dengan pemberian Hak Kebebasan Penerbangan ke Singapura dan Malaysia.
ADVERTISEMENT
Ke luar negeri tidak usah melalui Jakarta. Indonesia terbuka. Secara sederhana saja, Singapura hanya satu pintu sedangkan Indonesia membuka 23 pintu (dari awalnya 34 pintu). Itu akan sangat menentukan bahwa penerbangan cross border akan jauh lebih banyak dinikmati negara tetangga dibanding Indonesia dan Jakarta sebagai pintu gerbang Indonesia, tidak lagi bisa dipertahankan. Indonesia adalah seperti halaman “belakang” negara tetangga. Kita rugi besar dalam hal ini.

Apa yang Sebaiknya Dilakukan Pemerintah

Dengan adanya penerbangan DXB–DPS menggunakan A380-800, hendaknya dijadikan sebagai dasar evaluasi ulang pemberian Hak Penerbangan. Berapakah dampak tambahan wisatawan dan devisa, berapakah jemaah umrah yang diangkut, adakah dampak pada penerbangan nasional, berapa pax Indonesia yang menggunakan Emirates ke DBX dan berapa ke kota-kota lain di “belakang” Dubai, terutama ke kota-kota di Eropa, dan apakah itu mengurangi kue maskapai penerbangan Indonesia dan banyak aspek lain.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut harus dipertimbangkan khususnya apabila UAE meminta Hak Penerbangan ke-5 dan ke-6 yang saya perkirakan akan atau bahkan sudah diminta dan segera akan diberikan. Hati-hati Kemenhub!
Juga lakukan evaluasi atas kebijakan pemberian Hak Penerbangan yang sudah “telanjur” diberikan dan kemungkinan ada yang mengurangi kedaulatan negara, wawasan nusantara dan perekonomian nasional serta keadilan dan perlindungan bagi maskapai penerbangan nasional, dsb.
Khususnya untuk penerbangan cross borfer, bahkan juga evaluasi dampak positif dan negatif dari kebijakan Asean Open Skies yang patut diduga merupakan lobi Singapore dan Malaysia untuk memaksa Indonesia menjadi pasar penerbangan mereka yang terbatas.
Edie Haryoto dan Agus Pambagio, Pemerhati Kebijakan Publik dari PH&H Public Policy Interest Group
ADVERTISEMENT