Konten dari Pengguna

Gonjang-ganjing Kilang dan Kebutuhan BBM

Agus Pambagio
Pemerhati kebijakan publik dan lingkungan.
18 Juni 2017 18:24 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:16 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Agus Pambagio tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Selang untuk pengisian BBM. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Selang untuk pengisian BBM. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
ADVERTISEMENT
Pemerintah saat ini sedang gencar-gencarnya membangun infrastruktur non migas yang selama hampir 20 tahun setelah reformasi tidak tumbuh secara signifikan dan sejalan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi serta penduduk. Namun, saat ini hampir sebagian besar dana APBN dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur, baik dibelanjakan langsung melalui mekanisme di Kementerian/Lembaga terkait maupun melalui Penyertaan Modal Negara (PMN) ke BUMN.
ADVERTISEMENT
Seharusnya alokasi dana APBN juga disisihkan untuk kegiatan besar lainnya yang berdampak pada pengisian kocek APBN, seperti pengembangan sektor industri migas, karena tahun depan akan ada 6 kilang yang habis masa kontraknya (Kilang Dumai, Kilang Balikpapan, Kilang Plaju, Kilang Balongan, Kilang Cilacap dan TPPI Tuban) dan oleh pemerintah diserahkan ke Pertamina untuk dikelola dan direvitalisasi. Lalu, ada 2 kilang baru (Kilang Bontang dan Kilang Tuban) yang juga diserahkan ke Pertamina untuk dibangun.
Saat ini, Pertamina sedang melakukan kajian teknis dan finansial atas delapan penugasan tersebut. Namun, saya perkirakan Pertamina tidak akan sanggup mengerjakannya sendiri, harus mengundang investor. Pertanyaannya, adakah investor domestik dan asing yang masih tertarik melakukan investasi di kala harga minyak terus turun dan suplai gas dunia juga sedang luber?
ADVERTISEMENT
Dana investasi yang dibutuhkan untuk merevitalisasi 6 kilang lama dan 2 kilang baru tersebut sekitar USD 36,27 miliar atau Rp 471 triliun (1 USD = Rp. 13.000). Bukan sebuah angka yang kecil dan Pertamina pastinya tidak akan sanggup menanggung sendiri pembiayaannya, harus mengundang investor. Pemerintah memang memberikan waktu kepada Pertamina untuk mengkaji secara teknis dan finansial ke delapan kilang tersebut dalam waktu singkat. Sebelum diputuskan mungkin saya ingin mengulasnya sedikit terkait dengan kebutuhan dan ketersediaan BBM dalam negeri saat ini, supaya tidak terus terjadi gonjang-ganjing soal BBM.
Antisipasi Kebutuhan BBM dalam Negeri
Konferensi Pers Pertamina soal BBM Satu Harga (Foto: Edy Sofyan/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Konferensi Pers Pertamina soal BBM Satu Harga (Foto: Edy Sofyan/kumparan)
ADVERTISEMENT
Kebutuhan BBM domestik terus meningkat, sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dan populasi penduduk Indonesia. Sayangnya, dengan segala keterbatasannya negara hanya sanggup menyediakan sekitar 50% dari total kebutuhan BBM domestik yang berasal dari produksi Pertamina dan kontraktor kontrak kerja sama (K3S). Dengan produksi harian per tanggal 15 Juni 2017 sebesar 835.484 barel/hari dan produksi rata-rata tahunan sekitar 809.591 barel/hari, menjadi cukup sulit ketika target di APBN 2017 pun hanya 815.000 barel/hari. Sementara kebutuhan BBM sekitar 1,6 juta barel per hari, sehingga negara masih harus mengimpor BBM sekitar 800.000 barel/hari untuk menambal defisit suplai BBM.
Dengan harga minyak dunia rata-rata periode Januari - Mei 2017 sebesar USD 49,90/barel, maka belanja BBM impor yang harus ditanggung APBN sekitar USD 40 juta/hari atau USD 14,4 miliar/tahun, atau setara dengan Rp. 190 triliun/tahun. Lalu, apa yang harus dilakukan oleh pemerintah untuk mengurangi belanja BBM impor, yang jumlahnya semakin hari semakin meningkat, supaya ada alokasi dana tambahan dana untuk infrastruktur .
ADVERTISEMENT
Tingginya penggunaan BBM, terutama untuk transportasi, disebabkan karena Indonesia belum berhasil membangun sistem transportasi umum terpadu, terjadwal, nyaman, terintegrasi dan menggunakan sumber tenaga dari listrik atau gas bumi. Sedangkan untuk tenaga listrik, pembangkit kita mayoritas masih pakai batu bara dan minyak diesel yang merupakan energi fosil, belum menggunakan Energi Baru Terbarukan (EBT) seperti tenaga matahari, air, angin, geotermal dsb.
Sesuai dengan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), pada tahun 2025 bauran energi primer didorong secara optimal untuk menggunakan: 23% EBT , 25% minyak bumi, 30% batubara dan 22% gas bumi. Jadi, mayoritas bauran energi Indonesia memang masih akan berkiblat ke batubara (30%) dan minyak bumi (25%) hingga 2025. Saat ini EBT hanya sekitar 5% dan tentunya perlu kita percepat karena sesuai dengan janji Pemerintah Indonesia melalui National Determinant Contribution (NDC) di Perjajian Paris, peran energi dan transportasi untuk pengurangan emisi gas rumah kaca harus mencapai 11% pada tahun 2030 dari total 29%.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, Amerika Serikat, Scandinavia, Uni Emirat Arab, dan China tengah mengembangkan teknologi Smat Grid yang lebih efisien dan menggencarkan pengembangan kendaraan listrik yang driverless atau tanpa pengemudi dengan menggunakan listrik sebagai sumber energinya. Teknologi ini dipastikan akan mengurangi penggunaan energi fosil cukup besar. Indonesia sudah harus pula menuju ke arah ini.
Untuk itu, Indonesia perlu segera mengkaji arah pengembangan teknologi Smart Grid supaya listrik menjadi sumber energi utama. Selain itu, sumber pembangkit listrik secara perlahan namun pasti juga sudah harus mulai menggunakan EBT sebagai sumber energi primernya, bukan fosil. Jadi, dengan demikian penggunaan energi fosil akan semakin berkurang, seperti yang dibahas oleh 34 menteri energi di Clean Energy Ministerioal Meeting 8 (CEM 8) di Beijing dari tanggal 5 – 9 Juni 2017 lalu. Namun dalam jangka 3 tahun kedepan, Indonesia tetap harus meningkatkan produksi energi Migasnya melalui revitalisasi Kilang dan pembangunan Kilang baru.
ADVERTISEMENT
Langkah Pemerintah Mengurangi Gonjang Ganjing BBM
Menteri Jonan cek pasokan BBM. (Foto: Edy Sofyan/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Menteri Jonan cek pasokan BBM. (Foto: Edy Sofyan/kumparan)
Untuk itu, pertama pemerintah harus menggenjot produksi BBM di hulu melalui revitalisasi kilang lama (6) yang sudah habis masa kontraknya dan pembangunan kilang baru (2). Untuk itu, Pertamina memerlukan investasi sangat besar, misalnya revitalisasi Kilang Balikpapan (diperlukan USD 5,3 miliar), Kilang Cilacap (diperlukan USD 4,5 miliar), Kilang Dumai (diperlukan USD 4,2 miliar dsb.). Sedangkan untuk membangun Kilang baru, misalnya Kilang Bontang (diperlukan USD 13 miliar) dan Kilang Tuban (diperlukan USD 13 miliar). Untuk menyediakan kapital sebanyak itu, pastinya Pertamina akan kesulitan. Jadi masuknya investor swasta/asing di hulu migas sangat diharapkan.
Menteri ESDM Ignasius Jonan melakukan kunjungan bilateral ke beberapa negara, salah satunya saat Menteri ESDM hadir pada CEM 8 di Beijing-China yang dihadiri oleh 34 negara. Menteri ESDM telah melakukan pembicaraan bilateral terkait dengan enam revitalisasi kilang dan dua pembangunan kilang baru, antara lain dengan Sinopec, PetroChina, China National Offshore Oil Corporation (CNOOC) dan sebagainya. Semua perusahaan tersebut menyambut baik tawaran Menteri ESDM dan akan segera menemui Menteri ESDM di Jakarta untuk pembahasan lebih lanjut.
ADVERTISEMENT
Menteri ESDM berharap mereka segera merealisasikan tawaran Indonesia dan mempersilahkan para investor untuk mencari partner lokal sendiri atau bergabung dengan Pertamina. Selain perusahaan China, saat itu tidak ada perusahaan lain dari Amerika Serikat atau Eropa yang tertarik untuk investasi di sektor migas Indonesia saat ini.
Kedua, Pertamina dan K3S harus bekerja secara sangat efisien. Industri Migas akan efisien ketika semua sifat koruptif dari pengelola migas, regulator dan legislatif hilang. Digitalkan semua perizinan di industri Migas untuk mengurangi problem koruptif. Segera terapkan metoda gross split bukan cost recovery pada setiap K3S, supaya korupsi tidak di reimburse melalui cost recovery dan industri migas akan efisien.
Ketiga, segera pastikan bahwa BUMN migas mempunyai peran dan penugasan masing-masing supaya tidak tumpang tindih, sehingga tidak efisien dan merugikan negara. Pastikan semua industri hulu migas dikelola oleh Pertamina bersama anak/cucu perusahaan dan rekan bisnisnya, sedangkan industri hilir gas dikelola oleh PGN. Jangan ada lagi Pertamina mempunyai anak/cucu/cicit perusahaan yang menangani hilir gas. Begitu pula dengan PGN.
ADVERTISEMENT
Agus Pambagio
Pemerhati Kebijakan Publik dan Perlindungan Konsumen