Inkonsistensi Kebijakan Indonesia

Agus Pambagio
Pemerhati kebijakan publik dan lingkungan.
Konten dari Pengguna
20 Desember 2020 7:16 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Agus Pambagio tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi virus corona. Foto: Maulana Saputra/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi virus corona. Foto: Maulana Saputra/kumparan
ADVERTISEMENT
Kebijakan Publik merupakan penjabaran sebuah peraturan perundang-undangan yang digunakan oleh pemerintah untuk menjalankan mesin administrasi negara dengan baik supaya ekonomi dan dunia usaha dapat berkembang, kehidupan masyarakat sipil berjalan dinamis, serta pelayanan publik pemerintah berjalan dengan baik demi majunya kehidupan berbangsa dan bernegara di Republik Indonesia. Tiga hal itu harus diperhatikan oleh siapa saja yang sedang jadi pengurus negara.
ADVERTISEMENT
Semua kebijakan publik yang muncul sejak pandemi COVID-19 hingga sekarang sebagian besar tidak fokus dan menyalahi UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Menurut saya ini menjadi salah satu penyebab Indonesia sulit mengendalikan COVID-19. Banyak dari peraturan pelaksanaan UU yang tumpang tindih, ambigu, mengandung banyak kata “kecuali”, sehingga sulit didiimplementasikan. Akibatnya banyak pelanggaran peraturan namun tidak dapat dikenakan sanksi, baik administrasi maupun pidana sehingga hampir tidak ada efek jera di publik.
Dalam hal penanganan COVID-19, masalah tersendatnya implementasi kebijakan merupakan salah satu penyebab utama sulitnya menangani pandemi COVID-19. Selain itu berbagai kebijakan sektor lain yang tidak terkait langsung dengan COVID-19 pun juga inkonsisten. Sehingga banyak muncul berbagai penyalahgunaan wewenang terkait dengan kebijakan dan penegakan hukumnya. Misalnya terkait dengan berbagai bantuan sosial, perhubungan, pariwisata, kesehatan, dan sebagainya.
ADVERTISEMENT
Kita memang bangsa yang ahli membuat peraturan perundangan tetapi tidak ahli dalam menjalankan dan menegakkan hukumnya. Akibatnya publik menjadi cuek dan selalu menjadi korban. Sebagai contoh, sampai hari ini kebijakan soal vaksin COVID-19 masih belum jelas, padahal oleh pemerintah kebijakan vaksin merupakan kebijakan pamungkas untuk penanganan COVID-19, sementara masyarakat galau tentang keberadaan vaksin ini. Belum ada penjelasan resmi pemerintah tentang prosedur dan penanganan vaksin kecuali bahwa vaksin COVID-19 gratis. Komunikasi pemerintah masih menjadi masalah.
Ilustrasi Kebijakan dan Ilmu Foto: Pixabay

Inkonsistensi Kebijakan

Selama pandemi COVID-19 muncul beberapa Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres), Peraturan Menteri (PM) atau Peraturan Kepala Badan, Keputusan Menteri atau Keputusan Kepala Badan dan bahkan Surat Edaran (SE). Banyak sekali. Keberadaan peraturan perundang-undangan umumnya sudah sesuai dengan UU No. 12 Tahun 2011 kecuali keberadaan SE. Berdasarkan Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011, hierarki SE tidak tercantum. Jadi SE bukan produk hukum tetapi hanya peraturan internal Kementerian/Badan. Pelanggar SE tidak dapat dikenakan sanksi apa pun. Kementerian yang paling banyak mengeluarkan SE adalah Kementerian Perhubungan.
ADVERTISEMENT
Ledakan kasus positif COVID-19 di Desember 2020 sudah mendekati 8.000 orang per hari. Artinya pertumbuhan penderita positif COVID-19 masih terus meningkat. Jangankan turun, landaipun belum. Di akhir tahun 2020 dikhawatirkan total kasus positif COVID-19 bisa mencapai di atas 8.000 orang/hari. Sebuah jumlah yang sangat mengkhawatirkan dan harus ada kebijakan yang tepat untuk menanganinya.
Angka tersebut dicapai berdasarkan data yang terangkum di Kementerian Kesehatan dan Satgas COVID-19, namun menurut saya akurasi data tersebut masih diragukan. Salah satu penyebabnya adalah kurang baiknya kinerja sistem teknologi informasi di pusat data dalam memasukkan data (data entry). Akibatnya data sering ter-entry berkali-kali atau bahkan tidak ter-entry sama sekali. Belum lagi masih banyak daerah yang belum memenuhi persyaratan jumlah contoh uji (sampel) per satu juta penduduk sesuai ketetapan WHO. Sehingga data yang terungkap belum merupakan data riil, kecuali data Pemprov DKI Jakarta yang relatif uji sampelnya sudah memenuhi standar WHO.
ADVERTISEMENT
Dalam penanganan pandemi, data menjadi sangat krusial sebagai dasar pengambilan keputusan. Data yang salah dapat berakibat pemerintah salah mengambil kebijakan. Contoh kebijakan melonggarkan mudik lebaran oleh Kemenhub dan Gugus Tugas memunculkan peningkatan jumlah terinfeksi tinggi. Kebijakan libur panjang pengganti Hari Raya Lebaran di bulan November 2020, ternyata juga berdampak pada peningkatan terinfeksi secara signifikan. Bagaimana dengan libur Natal dan Tahun Baru 2021 (Nataru)?
Dalam masa Hari Raya Lebaran lalu, Kementerian Perhubungan menerbitkan berbagai kebijakan dengan niat untuk menggairahkan pergerakan manusia pengguna transportasi umum dan industri pariwisata. Dengan kebijakan tersebut, pemerintah berharap akan banyak masyarakat dan ASN yang melakukan perjalanan dinas dan wisata ke daerah. Namun karena kebijakannya tidak konsisten dengan kebijakan sektor lain, bukannya hanya operator transportasi dan hotel yang rugi tetapi beberapa klaster baru di daerah dan Jakarta terus bermunculan.
ADVERTISEMENT
Meski saat ini data terinfeksi terus naik, masyarakat dan pemerintah tampaknya sudah tidak begitu peduli dengan pandemi. Buktinya pemerintah tenang-tenang saja sambil terus mendorong pertumbuhan ekonomi lari kencang. Namun secara tiba-tiba pada Rapat Online 17 Desember 2020 tentang Persiapan Menyambut Nataru, Menko Kemaritiman dan Investasi menarik rem mendadak dengan memerintahkan Kepala Daerah di P. Jawa untuk melaksanakan berbagai kebijakan yang mengerem laju pandemi, salah satunya pelancong harus melakukan uji rapid antigen yang mahal bukan uji rapid antibodi.
Munculnya inkonsistensi kebijakan di atas kembali menghantam industri transporter dan sektor pariwisata karena begitu kebijakan itu disampaikan, calon pelancong banyak yang langsung membatalkan tiket dan membatalkan booking kamar hotel. Habislah potensi pendapatan saat Nataru yang diharapkan dapat mengurangi kerugian bisnis di tahun 2020. Anehnya mengapa yang menyampaikan kebijakan tersebut bukan Menteri Kesehatan atau Ketua Satgas COVID-19 tetapi Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi? Sila pembaca menjawab sendiri.
ADVERTISEMENT
Ketidakpastian lain yang beberapa bulan belakangan ini membuat resah publik akibat buruknya komunikasi pemerintah, yaitu terkait dengan kebijakan pemberian vaksin. Sejak awal pandemi, pemerintah sudah yakin dengan vaksin COVID-19 pergi. Namun hingga hari ini belum ada penjelasan pasti dan resmi dari pemerintah, khususnya terkait dengan kepastian jadwal pemberian vaksin, lokasi pemberian vaksin, mengapa vaksin itu yang dipilih, apa yang harus dilakukan ketika muncul efek samping yang memperburuk kesehatan penerima vaksin dan apa yang harus dilakukan masyarakat ?

Langkah Pemerintah

Dalam situasi krisis seperti pandemi COVID-19 ini, hal terpenting yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah: pertama buat kebijakan yang baik sesuai kebutuhan jangka pendek-menengah-panjang dan tidak membingungkan pelaksana dan publik ketika di implementasikan. Kedua kebijakan yang baik harus konsisten dan dapat menyelesaikan masalah yang terjadi bukan menimbulkan masalah baru. Ketiga pastikan pelanggar kebijakan dapat dikenakan sanksi dan sanksi dijalankan.
ADVERTISEMENT
Pemerintah harus secara serius menangani COVID-19, khususnya dalam pembuatan regulasi maupun implementasi kebijakannya supaya jumlah yang terinfeksi dan meninggal turun. Berhubung saat ini belum terlihat keseriusan pemerintah menangani COVID-19, jangan heran jika beberapa negara telah melarang WNI untuk mampir, mendarat dan berlibur di negara mereka. Contoh kasus terakhir terjadi di Taiwan, di mana WNI dengan hasil uji PCR di Indonesia negatif ditolak masuk Taiwan karena saat diuji ulang PCR di Taipe, hasilnya positif.
Akhir kata, saya sebagai Warga Negara Indonesia hanya berharap, semoga di tahun 2021 pemerintah lebih serius, konsisten dalam membuat peraturan perundangan dan kebijakan supaya pandemi dapat segera ditangani dengan baik dan angka terinfeksi menurun. Sebagian pembahasan di atas sudah saya sampaikan dalam buku : Kebijakan Publik Penanggulangan COVID-19, yang terbit pada Juli 2020.
ADVERTISEMENT
**Salam AGUS PAMBAGIO (Pemerhati Kebijakan Publik dan Perlindungan Konsumen)