Konten dari Pengguna

Lampu Merah Bonus Demografi: Stunting

Agus Pambagio
Pemerhati kebijakan publik dan lingkungan.
18 Januari 2019 21:23 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Agus Pambagio tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Presiden Jokowi (jaket merah) bersama warga (Foto: Dok. Biro Pers Setpres)
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Jokowi (jaket merah) bersama warga (Foto: Dok. Biro Pers Setpres)
ADVERTISEMENT
Mengutip pidato Presiden Jokowi dalam acara peringatan Hari Keluarga Nasional, 29 Juni 2018, “Bonus demografi ibarat pedang bermata dua. Bonus demografi merupakan keuntungan ekonomis yang disebabkan oleh tingginya jumlah penduduk usia produktif dan menurunnya rasio ketergantungan. Satu sisi adalah berkah, jika berhasil mengambil manfaatnya. Satu sisi lain adalah bencana apabila kualitas manusia Indonesia tidak disiapkan dengan baik.” Hal itu mengingatkan kembali terhadap permasalahan stunting yang harus diselesaikan.
ADVERTISEMENT
Banyak sisi positif yang dapat diperoleh dari bonus demografi, terlebih terhadap pembangunan dan perekonomian Indonesia. Namun pemerintah jangan sampai lupa bahwa bonus demografi hanya bersifat sementara karena bonus demografi diperkirakan akan selesai pada tahun 2036, berbanding lurus dengan bertambahnya penduduk lansia sejumlah 19% sampai dengan tahun 2045, serta masih ada generasi penerus yang harus dipersiapkan untuk menghadapi segala tantangan di masa yang akan datang.
Tantangan baru terkait bonus demografi haruslah disikapi dengan baik oleh pemerintah. Salah satu hambatan yang harus dibabat dalam mempersiapkan generasi penerus bangsa yang handal pasca-bonus demografi adalah stunting. Karena sebanyak dan sebagus apapun hasil yang dibangun dan akan diwarisi pada masa bonus demografi, akan sia-sia jika tidak dapat dikembangkan dan dipertahankan dengan baik oleh generasi setelahnya.
ADVERTISEMENT
Seperti yang telah kita ketahui bahwa stunting memiliki dampak buruk, baik untuk jangka panjang maupun jangka pendek. Dampak jangka pendek, antara lain terganggunya perkembangan otak, kecerdasan, gangguan pertumbuhan fisik, dan gangguan metabolisme dalam tubuh.
Sedangkan dampak jangka panjangnya berupa menurunnya kemampuan kognitif dan prestasi belajar, menurunnya kekebalan tubuh sehingga mudah sakit, dan risiko tinggi untuk munculnya diabetes, kegemukan, penyakit jantung dan pembuluh darah, kanker, stroke dan disabilitas pada usia tua (Buku Saku Desa dalam Penanganan Stunting, halaman 8). Hal ini berkaitan erat dengan nasib masa depan Indonesia yang bergantung pada sumber daya manusianya. Sumber daya manusia yang memiliki kemampuan intelegensia tinggi dibarengi dengan jasmani yang sehatlah yang mampu membawa Indonesia lebih berkembang dan menjadi negara maju.
ADVERTISEMENT
Di Balik Data dan Implementasi
Apabila diilustrasikan secara sederhana berdasarkan data yang diperoleh dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), pada tahun 2013 angka kelahiran nasional berjumlah 4.900.000 jiwa serta prevalensi stunting berada di angka 37,2%. Jika dihitung, maka jumlah anak stunting berada di kisaran 1.822.800 jiwa rata-rata per tahun. Kemudian berdasarkan Riskesdas tahun 2018, angka kelahiran nasional dan prevalensi stunting mengalami penurunan sampai dengan 4.800.000 jiwa serta prevalensi stunting turun di angka 30,8%. Jika dijumlah, maka anak stunting berkisar di angka 1.478.400 jiwa.
ilustrasi 'stunting' (Foto: unicef indonesia)
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi 'stunting' (Foto: unicef indonesia)
Penurunan prevalensi stunting, tentu merupakan hal baik dan sebuah prestasi bagi pemerintah atas usaha yang telah dilakukan dalam rangka menurunkan angka stunting pada bayi baru lahir, melalui langlah pemberian suplemen gizi berupa Pemberian Makanan Tambahan (PMT) dalam bentuk biskuit melalui puskesmas atau posyandu. Sebenarnya langkah ini tidak berjalan dengan baik dan meragukan penulis, mengingat di setiap Puskesmas/Posyandu terjadi penumpukan PMT karena bayi tidak menyukai PMT (keras). Artinya konsumsi PMT rendah. Lalu asupan apa yang bisa menurunkan stunting di Riskesdas 2018? Sebuah pertanyaan serius yang harus dijawab oleh Kementerian Kesehatan.
ADVERTISEMENT
Penanganan anak stunting pada 1.000 hari pertama kehidupan di Indonesia, saat ini dilakukan dengan pemberian PMT berupa biskuit yang tersedia di berbagai layanan kesehatan. Namun menurut Dr. dr. Damayanti Rusli Sjarif, SpA(K) pada talkshow yang bertajuk “Terobosan Kebijakan Pencegahan dan Penanganan Stunting melalui Pemenuhan Gizi Anak” di Habibie Centre (15/11/2018), pemberian PMT saja tidak cukup. Untuk mempercepat penanganan stunting, bayi harus diberikan PKMK (Pangan Olahan untuk Keperluan Medis Khusus) berbentuk susu dengan formulasi tertentu. Untuk itu Dr. dr. Damayanti RS SpA(K) telah melakukan penelitian penggunaan PKMK untuk menanggulangi stunting di Kabupaten Pandeglang.
Namun apabila dalam upaya melakukan penurunan angka stunting, pemerintah tetap menggunakan cara yang sama (menggunakan PMT) dan tidak akan mengembangkannya, maka dikhawatirkan dibutuhkan waktu sekitar sepuluh tahun lamanya agar Indonesia dapat mencapai standar pravelensi stunting minimal WHO, yaitu 20%. Artinya harus ada terobosan dari pemerintah dalam menangani anak stunting dalam 1.000 hari pertama kelahiran supaya angka stunting 20% tercapai.
ADVERTISEMENT
Hal ini dapat diilustrasikan sebagai berikut: Dengan pemberian PMT kepada bayi baru lahir, dari tahun 2013 sampai dengan 2018 prevalensi stunting mengalami penurunan sejumlah 6,4% dalam kurun lima tahun. Jika menggunakan ilustrasi penghitungan sederhana, di mana angka stunting terus ditekan maka pada tahun 2023, prevalensi stunting akan berada di angka 24,4%.
Melihat angka-angka di atas, maka dikhawatirkan Indonesia baru dapat terhitung mencapai standar pravalensi stunting WHO, pada saat Riskesdas Tahun 2028 diterbitkan. Kecuali, pemerintah benar-benar berusaha dengan sekuat tenaga untuk melakukan inovasi-inovasi baru supaya standar prevalensi stunting WHO dapat dicapai kurang dari 10 tahun.
Langkah Strategi Pemerintah
Untuk menanggulangi bayi stunting di usia 1.000 hari pertama kelahiran lebih efektif, sebaiknya Kementerian Kesehatan tidak lagi melanjutkan program PMT tetapi menggunakan strategi inovasi lain, misalnya menggunakan Pangan Olahan untuk Keperluan Medis Khusus (PKMK) sebagai pengganti PMT. Untuk lebih menguatkan strategi PKMK, Kementerian Kesehatan harus segera menerbitkan peraturan perundang-undangannya setingkat Peraturan Menteri Kesehatan.
ADVERTISEMENT
Kesimpulan yang dapat diambil adalah, pada saat bonus demografi berakhir di tahun 2036, terhitung dari rentang umur 18 sampai dengan 26 tahun (kelahiran 2010-2018) terdapat sedikitnya 14.784.000 jiwa sumber daya manusia Indonesia yang tidak produktif, karena berpotensi memiliki kemampuan kognitif rendah serta menderita berbagai penyakit tidak menular sebagai dampak jangka panjang yang disebabkan oleh stunting.
Hal tersebut perlu dikhawatirkan, karena titik balik dari bonus demografi adalah membengkaknya jumlah beban kebergantungan lansia (depency ratio). Hal ini diperparah dengan tidak maksimalnya jumlah penduduk usia produktif di lapangan akibat lebih dari 14 juta di antaranya menderita stunting. Tentu, kedua hal tersebut akan menjadi salah satu faktor yang signifikan menghambat pertumbuhan perekonomian Indonesia serta menimbulkan potensi kemunduran bangsa. Ada baiknya persoalan stunting ini dapat diangkat dalam Debat Capres III, sehingga publik tahu siapa di antara 2 Capres ini yang paham isu stunting dan punya jalan keluar yang cerdas.
ADVERTISEMENT
Sekali lagi apa yang dikatakan oleh Dr. dr. Damayanti Rusli Sjarif, SpA(K) di atas patut untuk didengar dan dipertimbangkan oleh pemerintah sebagai pengembangan usaha dan cara baru agar pemerintah tidak melulu menggunakan cara yang sama (PMT) untuk menangani stunting. Diharapkan kurang dari 10 (sepuluh) tahun, pravelensi anak stunting dapat mencapai standar WHO, sehingga tidak membahayakan masa depan bangsa dan negara pasca-bonus demografi berakhir. Diharapkan tepat pada 100 tahun Indonesia merdeka (2045), Indonesia benar-benar berada di puncak kejayaannya karena dikuasai oleh generasi emas, bukan generasi stunting. Semoga.
Agus Pambagio dan Sofie Wasiat (Pemerhati Kebijakan Publik dari PH&H Public Policy Interest Group)