Konten dari Pengguna

Mal Administrasi Kebijakan Tata Niaga Gula

Agus Pambagio
Pemerhati kebijakan publik dan lingkungan.
29 Juni 2017 22:22 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:19 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Agus Pambagio tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi gula. (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi gula. (Foto: Pixabay)
ADVERTISEMENT
Gula merupakan komoditi yang sangat sexy bagi sekelompok orang Indonesia dan menjadi salah satu komoditi sangat manis untuk biaya politik. Tidak percaya ? Silakan amati ketika menjelang diselenggarakan Pilkada maupun Pemilu, selalu muncul permasalahan harga maupun ketersediaan berbagai komoditi, seperti gula, beras, daging sapi dan sebagainya lalu akan diikuti dengan munculnya kebijakan impor baru yang seolah-olah Pemerintah berpihak pada publik, industri menengah kecil dan mikro (UMKM) maupun petani, tetapi sejatinya hanya berpihak pada importir atau pedagang.
ADVERTISEMENT
Hubungan gejolak harga dan ketersediaan komoditi erat hubungannya dengan situasi politik, seperti Pilkada maupun Pemilu, yang memerlukan banyak dana untuk kampanye dan lain lain. Tentu sulit membuktikan keterkaitan antara gejolak harga dan ketersediaan komoditi dengan biaya politik, karena dikemas dengan jargon cantik, seperti : “Pemerintah terpaksa harus impor untuk menjaga suplai dan keterjangkauan harga, supaya kebutuhan masyarakat dan industri UMKM terpenuhi”. Jargon seperti itu selalu muncul di berbagai media dan bisa di dicari melalui mbah Google.
Dalam tulisan kali ini saya hanya akan membahas gejolak gula, khususnya gula kristal rafinasi (GKR), yang saat ini sedang hangat dibahas oleh industri makanan & minuman (mamin) dan Komisi VI DPR-RI. Sejak orde baru gejolak gula selalu muncul, hanya saja bentuk kebijakannya berbeda. Begitu pula saat ini, patut diduga pemain atau aktor-aktornya masih sama, hanya pengambil kebijakan di tingkat Kementerian yang berbeda.
ADVERTISEMENT
Terbitnya Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 16 Tahun 2017 Tentang Perdagangan GKR melalui Pasar Lelang Komoditas mal administrasi kebijakan dan patut diduga mengejar momentum Pemilu 2019. Keluarnya Permendag ini secara kebijakan menyalahi peraturan perundang undangan diatasnya, yaitu UU No. 32 Tahun 1997 Tentang Perdagangan Berjangka dan UU No. 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan. Lalu apakah Permendag ini melindungi publik dan UMKM ? Mari kita bahas secara singkat Permendag ini dan apa yang seharusnya dilakukan oleh Pemerintah dalam waktu dekat.
Perdebatan Publik
Proses terbitnya Permendag No. 17 Tahun 2017 telah menimbulkan keributan di publik. Muncul berbagai pendapat pro dan kontra; baik dari kalangan politisi di DPR, para pemain industri GKR dan gula konsumsi (seperti kelompok 11 Naga maupun 7 Samurai), kalangan UMKM serta para akademisi telah membuat urusan gula kembali ramai di jagad Indonesia.
ADVERTISEMENT
Dari komunikasi saya dengan Menteri Perdagangan (mendag), Enggar Tyastolukita, menurutnya Permendag ini dikeluarkan untuk membantu UMKM mamin yang selama ini sulit mendapatkan GKR dengan harga wajar atau sama dengan harga yang diperoleh produsen mamin kelas industri besar . Niat Mendag sangat mulia, namun saya ragu karena UMKM mamin selama ini tidak mengkonsumsi GRK dalam jumlah besar/banyak dan untuk ikut lelang di balai berjangka (sesuai Permendag No. 16 Tahun 2017) minimal pembelian harus 1 juta ton.
Selama ini, berdasarkan data GAPMMI, industri mamin membutuhkan 3,5 – 4 juta ton/tahun dengan kisaran harga Rp. 8.000 – Rp. 9.000/kg. Proses pembeliannya menggunakan sistem pembelian langsung tahunan ke industri GKR yang umumnya tergabung dalam Asosiasi Gula Rafinasi Indonesia (AGRI). Sedangkan UMKM mamin hanya membutuhkan GRK sekitar 500.000 ton/tahun dengan harga seputaran Rp. 10.000 – Rp. 11.000/kg. Harga untuk UMKM lebih mahal karena pembelian dilkakukan melalui distributor yang patut diduga juga membocorkan GKR ke pasar gula konsumsi.
ADVERTISEMENT
Bisnis GKR merupakan bisnis super besar dan hanya dikuasai oleh sekelompok orang saja, misalnya kelompok 11 Naga. Bayangkan jika dalam setahun industri mamin memerlukan 4 juta ton dengan harga Rp. 9.000/kg, maka ada perputaran uang sekitar 4.000.000 x 1.000 kg x Rp. 9.000/kg = Rp. 36 triliun/tahun ditambah kebutuhan UMKM sekitar 500.000 x 1.000 kg x Rp. 11.000/kg = Rp. 5.5 triliun/tahun. Jadi bisnis Rp. 41.5 triliun/tahun ini merupakan bisnis tahunan yang sangat gurih untuk biaya politik.
Kembali ke persoalan kebijakan, memang benar Permendag No. 16 Tahun 2017 ini menyalahi dua (2) UU diatasnya, yaitu UU No. 32 Tahun 1997 Tentang Perdagangan Berjangka Komoditi, khususnya Pasal 3 yang menyatakan: “Komoditi yang dapat dijadikan subyek kontrak berjangka ditetapkan dengan Keputusan Presiden”. Ini cacat kebijakan pertama dari Permendag No. 16 Tahun 2017, karena pelaksanaannya hanya diatur oleh Peraturan Menteri.
ADVERTISEMENT
Cacat kedua, Permendag ini juga melanggar UU No. 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan, khususnya Pasal 12 ayat (1f) dan (1g) dan Pasal 18 ayat (1) dan (20. Dalam kedua Pasal tersebut di sebutkan bahwa Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau pelaku Usaha secara sendiri-sendiri atau bersama-sama mengembangkan sarana perdagangan berupa pasar lelang komoditas dan pasar berjangka komoditas serta ketentuan mengenai penataan, pembinaan, dan pengembangan pasar lelang komoditas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden, bukan oleh Peraturan Menteri.
Langkah Perbaikan Yang Harus Dilakukan Pemerintah
Dari sisi regulasi, Menteri Perdagangan harus segera melakukan pembenahan mengingat secara hirarki Permendag ini mengambil alih peraturan diatasnya (Kepres dan Perpres), maka Permendag ini cacat hukum dan harus dibatalkan.
ADVERTISEMENT
Lalu dari sisi pembentukan PT Pasar Komoditas Jakarta (PKJ) juga bermasalah karena penunjukannya tidak melalui kompetisi di tender, tetapi langsung ditunjuk oleh Perintah Menteri Perdagangan. Padahal ini melibatkan jumlah dana yang sangat besar ditambah adanya pengenaan-pengenaan biaya tambahan lain saat akan dilakukan lelang berjangka, seperti biaya lelang, deposit dana jaminan, biaya logistik dll.
Selain itu pembeli (industri mamin) harus mengeluarkan biaya pendaftaran lelang (Rp. 1 juta) dan penjual harus mengeluarkan biaya keanggotaan di PT PKJ sebesar Rp. 25 juta/tahun, biaya pendaftaran lelang Rp. 10.000.000. Sedangkan pembeli diharuskan membayar uang jaminan resiko sebasar 5% dari nilai transaksi. Selain itu pembeli juga masih harus menanggung biaya transportasi (di sistem lama, harga GKR sudah termasuk biaya pengiriman sampai di tempat). Jadi tidak benar pendapat Mendag yang mengataklan bahwa Permendag ini akan membantu UMKM.
ADVERTISEMENT
Pembelian melalui PT PKJ, ada minimum pembelian sebesar 1 juta ton/lelang dan ini tidak mungkin diikuti oleh UMKM, kecuali ada koordinator untuk ikut lelang yang pada akhirnya akan menimbulkan makelarisasi baru di GKR dan harga GKR tambah mahal. Jadi bohong kalau sistem ini akan membantu UMKM mamin.
Jadi buat apa harus ada PT PKJ kalau pada akhirnya akan memperpanjang rantai birokrasi, makelarisasi dan penambahan biaya bagi UMKM ? Mengapa tidak menggunakan BULOG saja sebagai balai lelang berjangka, bukan menunjuk swasta yang tidak jelas dan menikmati dana yang sangat besar ? Salam. AGUS PAMBAGIO (Pemerhati Kebijakan Publik dan Perlindungan Konsumen).