Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.101.0
Konten dari Pengguna
Melemahnya Independensi Lembaga Pengontrol
12 Desember 2017 9:00 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:19 WIB
Tulisan dari Agus Pambagio tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Di era milenial yang serba online ini, banyak produsen dan retailer yang satu persatu berjatuhan sebagai akibat munculnya era disruption, ujar seorang ekonom. Persaingan antar pelaku industri di era milenial juga semakin keras mengingat mudahnya melakukan penetrasi pasar dengan menggunakan teknologi informasi. Berbagai upaya dilakukan untuk memenangkan persaingan atas produk-produk yang dihasilkan. Situasi ini seharusnya dapat menciptakan iklim investasi yang lebih baik di Indonesia. Sayangnya di lapangan, medan pertempurannya menghalalkan segala cara dan membuat pendapatan negara dari pajak menurun.
ADVERTISEMENT
Kondisi perang dagang yang penuh intrik atau agenda ini, patut diduga diperburuk dengan terbelinya lembaga pemerintah yang seharusnya menjadi wasit supaya persaingan antar industri sejenis menjadi sehat, sayangnya patut diduga mereka dimanfaatkan oleh sesama industri untuk membunuh pesaing utamanya yang umumnya merupakan penguasa pasar. Sayang si wasit kurang berperan dengan proper. Jadi bukannya menjadi regulator dan pengawas yang handal, tetapi justru menjadi penghancur industri dengan menggunakan banyak tangan termasuk agenda setting melalui media.
Lembaga pengawas independen, seperti Komite Anti Damping Indonesia (KADI) di Kementerian Perdagangan atau Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), seyogianya harus independen dan dipimpin oleh orang-orang yang sudah kenyang (secara ekonomi), bijaksana, leadership yang baik serta sarat dengan pengalaman dan keberanian. Lembaga pengawas semacam itu tetap harus diawasi oleh publik supaya tetap steril dari berbagai intrik bisnis yang sering menghalalkan segala cara demi ekonomi kelompok semata.
ADVERTISEMENT
Di tulisan saya terdahulu juga sudah beberapa kali dibahas peran dan tanggung jawab KADI dan KPPU. Namun memperhatikan perkembangan beberapa persidangan dan keputusan KPPU akhir-akhir ini, publik, industri dan Komisi VI DPR-RI harus lebih kritis pada KPPU khususnya periode 2 tahun ke belakangan ini. Apa betul KPPU berperan mengawasi persaingan usaha secara baik dan benar ? Apa benar dasar pemngambilan keputusannya sudah tepatr ?
Berdasarkan pemantauan saya, semua proses sejak pendaftaran komplain, investigasi sampai putusan, terpantau banyak kejanggalan yang tidak saja merugikan publik tetapi juga kalangan industri itu sendiri. Sementara pesan Presiden jelas, sehatkan investasi di Indonesia dan jaga industri yang sudah ada untuk lebih kompetitif. Lalu apa yang terjadi ? Mari kita bahas singkat.
ADVERTISEMENT
Kecermatan Investigasi dan Analisa Kebijakan Untuk Keputusan
Pada tanggal 14 Nopember 2017, KPPU memutuskan bahwa PT PGN Tbk bersalah telah melakukan praktik monopoli gas di Sumatera Utara dan merugikan industri/konsumen sangat mengagetkan saya. Bagaimana mungkin sebuah BUMN yang mendapat penugasan mengalirkan gas melalui pipa yang dimilikinya, seperti diatur oleh Keputusan Menteri ESDM No. 19 Tahun 2009 Tentang Kegiatan Usaha Gas Bumi Melalui Pipa, dituduh melakukan praktik monopoli. Melalui keputusan ini saya berkesimpulan KPPU tidak menguasai bisnis gas, khususnya di Sumatera Utara.
PT PGN sebagai perusahaan distribusi dan transmisi gas satu satunya yang mempunyai jaringan pipa terpanjang harus menjalankan kebijakan pemerintah untuk menyalurkan semua gas, baik milik Pertamina dan anak perusahaan (Pertagas dan Pertagas Niaga) plus milik para trader gas, ke konsumen. Andaikan semua trader mempunyai jaringan pipa transmisi dan distribusi, sesuai dengan PM ESDM No. 6 Tahun 2016 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penetapan Alokasi dan Pemanfaatan Serta Harga Gas Bumi, maka gas traders tidak harus melalui pipa PGN. Sehingga gas PGN yang diperoleh langsung dari hulu harganya rendah (dibawah 8 USD/mmbtu) karena tidak melalui trader. Jadi harga gas di konsumen/industri Sumut pasti di bawah USD 9/mmbtu atau sama bahkan lebih murah dari daerah lain di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Sesuai dengan PM ESDM No. 6 Tahun 2016, semua trader gas harus membangun pipa transmisi, pipa distribusi dan kilang penampungan sendiri. Dalam hal ini KPPU salah mengambil keputusan karena penyebab tingginya harga gas di Sumut bukan karena toll fee PGN tetapi karena banyaknya traders. Selain itu harga gas mahal juga disebabkan karena adanya kebijakan Pemerintah (Kementerian BUMN) yang ngawur, yaitu mengoperasikan bekas kilang LNG di Arun sebagai kilang sumber gas untuk wilayah Medan – Belawan yang berjarak sekitar 300 Km.
Jadi jelas bahwa tingginya harga gas hilir di Sumut bukan disebabkan oleh mahalnya biaya angkut pipa (toll fee) yang dikenakan oleh PGN, tetapi karena banyaknya traders yang bermain di sepanjang jalur gas Arun Belawan, ditambah mahalnya biaya angkut gas dari Tangguh di Papua atau Donggi Senoro di Sulawesi Tengah, dan biaya regasifikasi di Kilang Arun. PGN menarik toll fee penggunaan pipa dari Arun sampai konsumen di Sumut hanya 0.9 USD/mmbtu. Jadi dimana monopoli PGN ? Ini contoh kekurang cermatan KPPU dalam memutuskan perkara.
ADVERTISEMENT
Begitu pula dengan kasus Danone (Aqua) vs Mayora (Le Minerqlle). Mulai dari proses investigasi sampai persidangan di KPPU saya temukan banyak kejanggalan. Mulai dari pernyataan saksi-saksi pihak Mayora yang diajukan, adanya pernyataan masif di media hanya dari satu orang pimpinan Komisi VI DPR sampai maraknya pemberitaan persidangan KPPU di media yang patut diduga mengarah pada mematikan lawan melalui tangan KPPU. Saya sempat kontak Kepala Humas KPPU untuk menanyakan, “apakah maraknya pemberitaan di persidangan dikelola oleh Humas KPPU atau bukan ?” Karena meskipun tidak banyak wartawan yang hadir saat persidangan tetapi pemberitaannya masif. Namun pertanyaan saya belum di respon hingga hari ini.
Menurut saya, ini kasus persaingan usaha biasa yang tidak perlu sampai ditangani KPPU karena salah satu dalil monopoli tidak terpenuhi, yaitu kalau satu pelaku usaha menghalangi pelaku usaha lain untuk berkembang. Sementara saat ini tidak ada bisnis air dalam kemasan (AMDK) termasuk merek Le Mineralle yang dihambat untuk berkembang, bahkan Le Mineralle berkembang pesat dan bersaing ketat dengan penguasa pasar (Aqua). Kasus seperti ini harusnya dapat diselesaikan oleh asosiasi saja, misalnya Aspadin (Asosiasi Air Kemasan Indonesia). Tidak perlu KPPU.
ADVERTISEMENT
Patut diduga kasus ini diadukan ke KPPU dimaksudkan untuk mempercepat proses penguasaan pasar AMDK yang selama ini dipegang oleh Aqua secara hostile. Dari pemantauan saya sejak kasus ini merebak, KPPU sebagai pengawas persaingan usaha patut diduga kembali menangani perkara ini secara kurang elok. Patut diduga agenda setting yang dimainkan dalam persidangan KPPU ini digunakan untuk mempengaruhi keputusan KPPU yang akan akan dilakukan minggu-minggu ini.
Langkah Yang Harus Dilakukan Pemerintah
Untuk menghindari persaingan yang tidak sehat di industri AMDK, sebaiknya Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian dan juga Komisi VI DPR-RI, dalam beberapa hari ke depan harus memantau proses final persidangan di KPPU terkait dengan kasus gugatan PT Mayora (Le Mineralle) terhadap Danone (Aqua), supaya kasus PT PGN yang dikenakan sanksi Rp. 9.9 milyar tidak terulang.
ADVERTISEMENT
Selain itu pastikan publik mengawasi dengan teliti termasuk rekan-rekan media. Pastikan keputusan KPPU kali ini cerdas dengan bukti-bukti yang sahih dan masuk akal serta tidak menghancurkan sektor industri dalam negeri, sesuai dengan permintaan Presiden Jokowi untuk menjaga industri yang sudah ada dan meningkatkan investasi untuk pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pastikan alasan-alasan yang disampaikan oleh KPPU sebagai landasan pengambilan keputusan harus sesuai dengan kondisi lapangan industri AMDK.