Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Mengurai Kusutnya Transportasi Jabodetabek
10 Januari 2021 17:15 WIB
Tulisan dari Agus Pambagio tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui “underbow”nya, yaitu Tim Gubernur Untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP) saat ini sedang berniat membuat formula dan bentuk baru pengelolaan angkutan umum berbasis rel yang katanya sebagai tindak lanjut perintah Presiden dalam Rapat Terbatas (Ratas) Kabinet tentang Pengelolaan Transportasi Jabodetabek pada tanggal 8 Januari 2019 di Kantor Presiden. Ratas ini dimaksudkan supaya kemacetan di wilayah DKI Jakarta yang dalam setahun menghabiskan anggaran Rp 65–100 triliun dapat segera diselesaikan.
ADVERTISEMENT
Hasil Ratas kemudian ditindaklanjuti oleh Pemerintah DKI Jakarta, melalui TGUPP, dengan membentuk PT Moda Integrasi Transportasi Jabodetabek (MITJ) yang merupakan usaha patungan berbentuk Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) antara PT MRT Jakarta (51%) dengan PT KAI (49%). Badan ini dibentuk untuk menyatukan semua angkutan umum berbasis rel di DKI Jakarta (MRT, LRT Jabodebek, KRL Jabodetabek dan KA Bandara). Penyatuan ini diharapkan dapat meningkatkan pelayanan transportasi umum di wilayah Jabodetabek khususnya DKI Jakarta yang pada akhirnya dapat mengurangi penggunaan angkutan pribadi. Pertanyaannya mengapa harus membentuk PT MITJ, sementara sudah ada regulator yang bernama Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ). Dualisme ini akan merepotkan.
Persoalan transportasi di wilayah DKI Jakarta tidak terlepas dengan Bodetabek, jadi kalau PT MITJ mau mengelola transportasi Jabodetabek mengapa tidak memasukkan Trans Jakarta dan angkutan darat lainnya di Bodetabek? Saya juga kurang paham mengapa Pemprov DKI Jakarta melalui TGUPP mengusulkan pembentukan PT MITJ. Padahal di ratas awal Januari 2019 tersebut tidak ada perintah Presiden untuk membentuk organisasi baru (sumber: Notulen Ratas).
ADVERTISEMENT
Kalau bicara integrase, tidak harus membentuk badan baru yang tak jelas dasar peraturan perundangannya. Transportasi umum yang baik itu jika perjalanan point to point maksimum tiga kali ganti moda transportasi umum dan jika harus berjalan kaki untuk pindah moda tidak lebih dari 500 meter. Kalau lebih maka sistem transportasi umum belum terintegrasi. Begitu pula dengan sistem ticketing harus terintegrasi. Untuk ini tidak perlu menjadikan satu atap manajemen. Kalau dipaksakan membentuk organisasi baru, saya khawatir sampai rezim ini selesai di 2024, tidak ada kemajuan yang berarti di sistem transportasi publik Jabodetabek, khususnya Jakarta.
Kusutnya Transportasi Publik Jakarta
Secara operasional PT MITJ akan kerepotan melaksanakan peraturan perundangan yang ada kecuali beberapa peraturan di revisi, baik di tingkat pusat maupun daerah. Misalnya yang terkait aset negara, termasuk aset negara yang dipisahkan, seperti stasiun yang sebagian milik Negara (Kementerian Perhubungan) sebagian milik PT KAI. Lalu PT MITJ itu kan BUMD bukan regulator, apa bisa menerima Public Service Obligation (PSO) dari pemerintah? Lalu bagaimana PT MITJ dapat menggantikan peran BPTJ sebagai regulator?
ADVERTISEMENT
Sebagai perusahaan patungan antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta lewat Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) PT MRT Jakarta dan pemerintah pusat lewat BUMN PT KAI (Persero), menurut UU BUMN PT MITJ perusahaan swasta murni. Perusahaan patungan ini akan diberi wewenang menata 72 stasiun di Ibu Kota sebagai transit oriented development (TOD), mengoperasikan Kereta Bandara, Kereta Loopline Commuterline, hingga pembangunan KA Elevated Loopline. Sekali lagi PT MITJ tidak dapat diperbolehkan menerima PSO, kecuali UU direvisi. Lalu bagaimana dengan porsi persahaman Pemerintah Daerah Depok, Bogor, Tangerang/Tangerang Selatan, dan Bekasi.
Banyak model pengelolaan transportasi perkotaan atau aglomerasi yang terintegrasi dengan baik di dunia, meskipun operatornya beda-beda tetapi regulatornya satu. Contoh berikut dapat digunakan sebagai referensi. Misalnya operasi KA Komuter Tokyo dikelola oleh banyak operator, baik BUMN/D maupun swasta. Namun semua di bawah kendali satu regulator, yaitu Pemerintah Kota Tokyo. Keterpaduan KA urban, sub urban dan intercity di stasiun sangat baik; walaupun terdapat puluhan operator yang berbeda.
ADVERTISEMENT
Begitu pula dengan transportasi di Kota Berlin Jerman. Ada kereta DB (Intercity), U-Bahn (Urban), dan S-Bahn (Sub Urban). Juga di Paris ada kereta SNCF (Intercity), RATP (Urban) dan RER (Sub Urban). Masing-masing jenis kereta, operator dan persahaman pemilik juga beda-beda, namun sistem integrasi transportasinya sangat baik dan diatur oleh satu regulator, yaitu Pemerintah Kota. Kedua contoh tersebut berjalan baik termasuk pengelolaan stasiun, integrasi trayek atau rute, TOD, dan ticketingnya.
Kembali ke DKI Jakarta, jadi apa maksud pemerintah daerah DKI Jakarta heboh membentuk BUMD baru untuk mengurus integrasi transportasi aglomerasi Jabodetabek yang berbasis rel saja lalu mengelola stasiun, tiket dan TOD? Padahal menurut hasil Ratas, yang menjadi dasar pembentukan regulator baru tersebut, tidak ada perintah Presiden. Patut diduga langkah Pemprov DKI, melalui TGUPP dengan menyewa konsultan mahal bertaraf internasional, hanya alasan untuk mengambil alih 72 stasiun, TOD dan ticketing yang sarat “fulus”, bukan mengatur integrasi transportasi kota dan aglomerasinya sesuai keinginan Presiden.
ADVERTISEMENT
Untuk mengatur transportasi umum Jabodetabek cukup dengan satu regulator, yaitu BPTJ yang dibentuk melalui Peraturan Presiden No. 103 Tahun 2015. Dalam Perpres tersebut, tugas BPTJ adalah mengembangkan, mengelola dan meningkatkan pelayanan transportasi secara terintegrasi di Jabodetabek dengan menerapkan tata kelola organisasi yang baik. Jadi jelas BPTJ berfungsi sebagai regulator di sistem transportasi Jabodetabek.
Masalahnya peran BPTJ belum optimal, itu benar. Salah satu penyebabnya karena di semua pemerintah daerah Jabodetabek masih ada Dinas Perhubungan sebagai regulator di masing-masing wilayah. Akibatnya banyak kebijakan transportasi publik di Jabodetabek mandul karena masing-masing daerah mempunyai dua matahari. BPTJ merupakan regulator yang sah dengan Kepala Badannya merupakan eselon satu di Kementerian Perhubungan. Sehingga buat apa ada PT MITJ yang berbentuk BUMD.
ADVERTISEMENT
Langkah Strategis Pemerintah
Langkah pertama yang harus dilakukan oleh Pemerintah untuk menangani kusutnya angkutan umum di Jabodetabek adalah memberdayakan BPTJ sebagai regulator. Seharusnya pemerintah melakukan kajian mengapa sampai hari ini BPTJ tidak berfungsi, padahal dibentuk melalui Perpres No. 103 Tahun 2015. Bukan membentuk entitas baru yang tingkatannya operator (PT MITJ), bukan regulator.
Kedua seharusnya dalam Ratas Januari 2019 itu, Menteri Perhubungan menjawab pertanyaan Presiden tentang hambatan pengaturan transportasi umum di Jabodetabek, bukan membiarkan sehingga ada usulan pembentukan entitas baru sebagai regulator. Misalnya sebagai atasan Kepala BPTJ, Menhub harus menyampaikan dualisme pengaturan antara BPTJ dengan Dinas Perhubungan di seluruh Jabodetabek menghambat pengelolaan transportasi umum di Jabodetabek. Saran saya jika BPTJ ingin kuat, semua Dinas Perhubungan di Jabodetabek dihilangkan atau di merger. Sehingga untuk regulator transportasi hanya ada BPTJ.
ADVERTISEMENT
Ketiga jika PT MITJ berperan sebagai regulator, maka langkah tersebut mengabaikan kewenangan Pemda Jawa Barat, Pemda Banten dan juga Pemerintah Pusat (Kementerian Perhubungan, BPTJ). Selain itu apa pemerintah DKI Jakarta melalui PT MITJ sanggup memberikan subsidi dari APBD ke semua moda angkutan umum kereta api yang sangat besar? Pandemic COVID-19 membuat pendapatan Pemprov DKI Jakarta merosot tajam.
Patut diduga sasaran Pemprov DKI Jakarta membentuk PT MITJ hanya akan mengincar pengelolaan asset 72 stasiun, TOD di semua stasiun dan big data ticketing penumpang KRL Jabodetabek. Kalau ini benar, maka upaya pembentukan entitas regulator transportasi Jabodetabek baru harus dibatalkan segera. Salam
**AGUS PAMBAGIO (Pemerhati Kebijakan Publik dan Perlindungan Konsumen)