Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
MLFF dan Harga Diri Bangsa
19 April 2024 16:55 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Agus Pambagio tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Multi Lane Free Flow (MLFF) merupakan sistem pembayaran tol tanpa harus berhenti karena pembayarannya dilakukan secara digital. Di Indonesia rencananya sistem pembayarannya didebet melalui telepon seluler. Sementara di negara asalnya Hongaria, didebet melalui On Bord Unit (OBU) berbentuk stiker yang ditempelkan di kaca depan (windshield) atau lampu utama (head lamp) kendaraan.
ADVERTISEMENT
Sistem MLFF menggunakan teknologi Global Navigation Satelite System (GNSS) yang katanya lebih canggih dari sistem Radio Frequency Identification (RFID) yang sampai hari ini masih banyak digunakan oleh operator tol di beberapa negara termasuk Uni Eropa (UE).
MLFF di Indonesia dipromosikan dan akan dijalankan oleh PT Roatex Indonesia Toll System (RITS) yang merupakan anak perusahaan Roatax Hongaria, berdasarkan kesepakatan antara Kementerian PUPR dengan RITS pada tanggal 15 Maret 2021 yang sudah diamendemen sebanyak tiga kali. Sayangnya proyek ini mengalami banyak kendala yang sampai hari ini tidak kunjung selesai, bahkan melebar kemana-mana. Dari awal proyek ini berbau kurang sedap, baik secara finansial dan korporasi maupun teknologi yang digunakan.
Masalah utama yang menjadi hambatan adalah izin dari Bank Indonesia (BI) atas MLFF terkait dengan pengumpulan pembayaran tol. BI, sebagai bank Sentral Indonesia, memiliki kuasa dan peran dalam mengatur dan mengawasi sistem pembayaran di Indonesia. Ketika pihak-pihak tertentu ingin menerapkan teknologi atau sistem pembayaran baru seperti MLFF, mereka harus mendapatkan izin atau persetujuan dari BI terlebih dahulu untuk memastikan bahwa sistem tersebut mematuhi peraturan dan kebijakan moneter yang berlaku.
ADVERTISEMENT
Selain hambatan izin operasional dari BI, MLFF juga terhambat karena teknologi satelit dan jaringan telepon seluler yang mengakses teknologi GNSS untuk MLFF belum terbukti tangguh dan dapat diandalkan. Sehingga Badan Usaha Jalan Tol (BUJT) masih meragukan keandalan teknologi GNSS yang dapat diakses melalui telepon selular (HP).
MLFF dan persoalan mendasar
Ada beberapa persoalan dasar mengapa MLFF belum bisa beroperasi di sistem jalan tol Indonesia. Pertama persoalan kontrak antara RITS dan Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) banyak mengandung permasalahan serius yang belum terselesaikan. Dari awal pembahasan MLFF, para BUJT tidak pernah atau jarang sekali dilibatkan.
Concern mereka saat itu hingga hari ini, adalah masalah aliran uang pembayaran tol yang akan merugikan mereka, khususnya karena akan ada pengendapan dana di badan lain (clearing house). Sehingga pembayaran cicilan pinjaman BUJT keperbankan, yang selama ini dilakukan secara otomatis setiap hari, akan terganggu dan merugikan BUJT.
ADVERTISEMENT
Kedua, persoalan teknologi GNSS di MLFF Indonesia yang rencananya akan diakses melalui telepon selular. Di Hongaria dan negara lain pengguna GNSS, teknologi GNSS diakses melalui OBU. Artinya penggunaan jaringan telepon selular untuk mengakses penggunaan teknologi GNSS di sistem MLFF belum dipercaya oleh operator jalan tol di banyak negara.
Bagaimana jika signal selular melemah atau bahkan hilang, sehingga uang di SIM Card pengguna tidak terdebit tetapi mobil sudah telanjur masuk jalan tol atau sebaliknya. Sementara untuk penegakan hukumnya, belum jelas.
Ketiga terkait dengan penegakan hukum, memang masih belum jelas dan kondisi ini membuat BUJT semakin cemas dan cenderung menolak penggunaan MLFF. Pengawasan MLFF harus menggunakan teknologi informasi melalui penggunaan Electronic Traffic Law Enforcement (ETLE) POLRI yang belum berjalan, begitu pula dengan kebijakan Electronic Registration Identification (ERI) yang sampai hari ini hanya wacana saja.
ADVERTISEMENT
Bagaimana POLRI akan menindak, jika kepemilikan kendaraan di Indonesia masih menjadi masalah besar dan tak kunjung selesai. Intinya penegakan hukum bagi pelanggar pembayaran tol tanpa henti (MLFF) akan sulit dan merugikan BUJT.
Kekusutan keempat, adalah mengenai keberadaan Roatex sendiri, yang di awal pembahasan, diposisikan sebagai BUMN pengelola jalan tol di Hongaria tetapi belakangan hanya sebuah badan swasta kontraktor NUSZ (Nemzeti ÚtdÃjfizetési Szolgáltató Zrt) yang merupakan Badan Layanan Pembayaran Tol Nasional Hongaria.
NUSZ adalah badan layanan negara yang bertanggung jawab pada pengelolaan pembayaran jalan tol di Hongaria. Jadi Roatex patut diduga hanya vendor NUSZ, bukan Badan Layanan Pembayaran Tol Hongaria atau BUMN seperti yang selama ini beredar di publik.
Pertanyaannya, kok bisa BPJT Kementerian PUPR bekerjasama dengan vendor swasta Hongaria bukan Badan Pengelola seperti NUSZ?
ADVERTISEMENT
Untuk menanggulangi supaya MLFF dapat dijalankan di Indonesia, tanggal 27 Maret 2024 telah diadakan pertemuan membahas ini di Budapest Hongaria yang dihadiri oleh dua Dirjen Kementerian PUPR dan jajarannya, Kepala BPJT dan BUJT. Sayangnya para pejabat eselon satu Kementerian PUPR ini tidak diterima oleh pejabat tinggi yang setingkat, tetapi hanya diwakili oleh pejabat biasa dan para kontraktor RITS.
Menurut saya, ini sangat merendahkan martabat pejabat tinggi Republik Indonesia. Pertanyaan saya mengapa harus pejabat kita yang ke Budapest bukan sebaliknya, mereka yang ke Jakarta karena mereka kan investor.
Dari laporan yang saya baca, seolah-olah kesalahan ada di BPJT Kementerian PUPR dan kita harus membuat mitigasinya. Dari catatan rapat itu terbaca bahwa akan ada perubahan pemegang saham RITS, yang menurut saya akan memberatkan pemerintah RI dan BUJT. Ini harus dihindari, misalnya terkait harus buy out atau partial buy out saham RITS oleh BUJT Indonesia. Menurut saya aparat penegak hukum harus melakukan due deligence secara cermat.
ADVERTISEMENT
Langkah yang harus diambil Kementerian PUPR
Kerja sama ini akan cacat secara manajemen dan hukum jika dipaksakan berjalan. Mungkin pemerintah (Kementerian PUPR), sebelum merevisi perjanjian atau mengambil alih saham RITS, minta Roatex menerapkan MLFF di Indonesia hanya dengan OBU bukan menggunakan HP karena teknologinya belum teruji. Minta gunakan OBU berupa stiker, seperti yang digunakan Iflownya Jasa Marga dan terbukti baik (saya bangga gunakan produk dalam negeri).
Kalau mereka keberatan, lakukan tender ulang saja dan gunakan teknologi RFID bukan GNSS yang belum teruji baik digunakan di banyak negara. Silahkan kalau Roatex mau ikut tender. Atau gunakan saja Iflow yang pernah dikembangkan oleh Jasa Marga dan sudah diuji coba lama oleh publik, tinggal sempurnakan dengan teknologi RFID terkini dengan biaya terjangkau.
ADVERTISEMENT
Biaya awal pengembangan Iflow cuma sekitar Rp 15 miliar daripada MLFF yang triliunan dan berhutang pula. Demi harga diri bangsa sebaiknya gunakan produk dalam negeri saja sesuai dengan kebijakan pemerintah terkait Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN). Apapun nama dan operatornya.
Saran saya, BUJT dan BPJT yang diundang rapat di Budapest minta Legal Opinion (LO) ke pengacara negara (Kejaksaan Agung) segera, supaya kalau pada akhirnya terjadi dispute dengan Roatex karena tidak ada kesepakatan, BUJT dan BPJT bahkan Kementerian PUPR terlindungi.