Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.101.0
Konten dari Pengguna
Nasib Garuda Indonesia ke Depan
16 Mei 2017 0:42 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:17 WIB
Tulisan dari Agus Pambagio tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT

Menindaklanjuti tulisan saya terdahulu di kumparan.com, akhirnya hari ini (artikel ini ditulis tanggal 12 Mei 2017) atau 30 hari setelah RUPS, PT Garuda Indonesia Tbk (GA) melalui Kementerian BUMN mengangkat “pejabat” Direktur Operasi dan “pejabat” Direktur Teknik yang menurut GA sesuai dengan perintah CASR 121 dan UU No. 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan. Lalu, bagaimana dengan ketaatan GA pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) No. 33 Tahun 2014 Tentang Direksi dan Dewan Komisaris Emiten atau Perusahaan Publik, Pasal 3 ayat (1): “Anggota Direksi diangkat dan di berhentikan oleh RUPS”.
ADVERTISEMENT
Pertanyaan pertama saya, mengapa kalau kedua anggota Direksi Baru (Operasi dan Teknik) adalah anggota Direksi (BOD) dan bertanggungjawab pada Direktur Utama harus menggunakan kata “pejabat”? Mengapa tidak langsung saja Direktur Operasi dan Direktur Teknik? Mereka berdua kan sudah sah jadi Direksi karena sudah melalui fit and proper test di Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, Kementerian Perhubungan sesuai dengan Pasal 114 UU No. 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan dan beberapa Peraturan Menteri Perhubungan yang ada.
Pertanyaan kedua saya, jika “Pejabat” Direktur Operasi dan “Pejabat” Direktur Teknik adalah anggota BOD, maka harus ada teguran dari OJK. Mengapa sebagai emiten, GA dapat melakukan pengangkatan anggota Direksi tanpa perlu melakukan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) sesuai perintah Pasal 3 Ayat (1), POJK No. 33 Tahun 2014 dan tidak ada pengenaan sanksi apa pun oleh OJK ? Padahal setiap emiten yang melanggar Pasal 3 Ayat (1), POJK No. 33 Tahun 2014 ada sanksinya di Pasal 38 dan 39.
ADVERTISEMENT
Pertanyaan ketiga saya, dalam situasi kesulitan keuangan karena hutang dan kerugian yang besar, mengapa BOD GA sampai berjumlah 9 orang? Bukankah ini sebuah pemborosan yang tidak perlu. Semua pertanyaan di atas saya tujukan ke Kementerian Negara BUMN karena BOD GA hanya pelaksana dari perintah Meneg BUMN.
Persoalan Berantai yang Dihadapi oleh BOD Garuda Indonesia
ADVERTISEMENT
Maskapai penerbangan PT Garuda Indonesia (GA) sedang dirundung mendung akibat kerugian yang dihadapi pada kuartal 1 tahun 2017 yang mencapai sekitar US $ 99.1 juta atau setara dengan Rp. 1,32 trilun. Suatu jumlah yang sangat fantastis besarnya. Apalagi jika ditambahkan pada beban hutang PT GA terhadap lembaga finansial dunia lainnya, kalkulator saya sulit menghitung karena sangat banyak angkanya.
Persoalan lain yang sedang dihadapi GA adalah tingginya harga avtur di Indonesia dibanding harga di negara tetangga terdekat, seperti Singapura. Selain itu harga avtur dunia sendiri memang terus merangkak naik. Ini membuat GA sulit berkompetisi dengan maskapai ASEAN lain yang sekarang dengan bebas dapat menerbangi 33 bandara Internasional di Indonesia langsung dari negaranya dengan harga avtur lebih murah. Komponen avtur pada struktur biaya maskapai mendekati 30% dari total biaya operasi.
ADVERTISEMENT
Banyaknya bandara Internasional di Indonesia menyebabkan hub penerbangan Indonesia ada di Bandara Changi atau KLIA atau Suvarnabhumi. Akibatnya maskapai domestik, seperti GA, semakin tergerus pasarnya karena rute domestik akan di layani maskapai asing langsung dari Singapura atau Kuala Lumpur atau Bangkok. Kondisi sudah separah ini pun, Pemerintah masih terus akan membuka bandara Internasional.
Selain harga avtur, BOD GA sekarang harus lebih kerja keras supaya utilisasi pesawat GA lebih optimal tanpa harus mengabaikan faktor keselamatan penerbangan sipil. Utilisasi pesawat GA saat ini hanya 8 – 9 jam/pesawat/hari, sementara saingan yang head to head dengan GA yaitu Batik Air bisa sampai 12 – 13 jam/pesawat/hari dengan pesawat sejenis (B 737 atau A 320). Biaya operasional GA juga mahal, apalagi sekarang travel online (seperti traveloka) semakin mencekik operator (GA) karena mereka minta bagi hasil (%) penjualan tiket lebih besar.
ADVERTISEMENT
Selain itu harga avtur di Indonesia lebih mahal karena jarak antar bandara jauh dan banyak, ini membuat biaya angkut avtur menjadi mahal. Belum lagi adanya throughout fee oleh Pertamina, Bandara dan biaya wajib sebesar 0,3% untuk BPH Migas, berdasarkan PP No. 1/2006 Tentang Besaran dan Penggunaan Iuran Badan Usaha Dalam Kegiatan Usaha Penyediaan dan Pendistribusian BBM dan Pengangkutan Gas Bumi Melalui Pipa.
Faktor lain yang membuat GA susah bergerak dibanding Maskapai swasta, adalah beragamnya jenis pesawat yang dioperasikan (propeller, narrow dan wide body). Akibatnya biaya perawatan dan suku cadangnya tinggi. Selain itu optimalisasi utilisasi beberapa pesawat berbadan lebar (A 330 – 300 dan B 777 – 300) untuk rute internasional rendah dan kurang bisa bersaing dengan maskapai lain.
ADVERTISEMENT
Hal-hal tersebut di atas belum tuntas ditangani dengan baik oleh manajemen GA, tetapi Kementerian Negara BUMN membuat persoalan baru yang bisa lebih menyulitkan posisi manajemen GA, yaitu mencoba mengakali peraturan perundang undangan yang ada.
Ketika saya tanyakan ke pejabat Kementerian Negara BUMN mengapa keputusan GA tidak merujuk pada peraturan perundang undangan di atas? Jawabnya ini diputuskan tanpa RUPS karena Kementerian menggunakan UU No. 19 Tahun 2003 Tentang BUMN. Jawaban itu benar jika GA adalah PT (Persero), namun saat ini GA selain BUMN juga perusahaan emiten yang listed di bursa dan diawasi oleh OJK. Jadi, GA harus patuh pada POJK No. 33 Tahun 2014 Pasal 3 Ayat (1). Persoalan ini muncul bukan salah BOD GA tetapi salah Kementerian Negara BUMN sebagai pemegang saham mayoritas.
ADVERTISEMENT
Langkah yang Harus Diambil supaya GA Dapat Terbang Tinggi
Pertama persoalan apakah ada pelanggaran Pasal 3 Ayat (1) POJK No. 33 Tahun 2014 oleh Kementerian Negara BUMN, harus menunggu fatwa dari OJK. Kalau benar terjadi pelanggaran, segera lakukan penindakan atau sanksi sesuai aturan hukum yang berlaku supaya tidak menjadi preseden buruk di Pasar Modal Indonesia. Kita tunggu ketegasan OJK.
Kedua persoalan tingginya harga avtur harus dibahas secara kelembagaan antara Kementerian Negara BUMN, Kementerian ESDM, Kementerian Keuangan, Kementerian Perhubungan, PT Pertamina (Persero), dan PT Garuda Indonesia Tbk. Karena isu harga avtur mahal merupakan isu lama yang tak kunjung terselesaikan dan membebani GA.
Ketiga Pastikan Pemerintah tidak lagi membuka bandara Internasional baru karena pertambahan bandara internasional tidak membuat jumlah Wisman melonjak signifikan, namun justru membuat maskapai nasional terseok seok bersaing dengan maskapai asing yang menerbangi wilayah udara Indonesia yang seharusnya merupakan previlage bagi maskapai domestik.
ADVERTISEMENT
Terakhir pastikan GA mempunyai bandara hub minimal di 3 wilayah waktu Indonesia. Misalnya di Timur berlokasi di Makassar, di Tengah berlokasi di Balikpapan dan di Barat di Medan, selain Cengkareng. Dengan adanya banyak hub, maka pesawat GA bisa RON (Remain Over Nigth) atau menginap dalam jumlah banyak di beberapa bandara hub. Ini menghemat avtur daripada pesawat harus RON di Cengkareng yang untuk tinggal landas dan mendarat saja harus antre dan holding yang boros avtur.
Salam
Agus Pambagio
Pemerhati Kebijakan Publik dan Perlindungan Konsumen