news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Pembentukan Holding BUMN Migas dan Permasalahan yang Tertunda

Agus Pambagio
Pemerhati kebijakan publik dan lingkungan.
Konten dari Pengguna
9 Maret 2018 19:49 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Agus Pambagio tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi pertambangan migas (Foto: ANTARA FOTO/Dedhez Anggara)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pertambangan migas (Foto: ANTARA FOTO/Dedhez Anggara)
ADVERTISEMENT
Rencana pembentukan Holding BUMN Migas, di publik masih menuai banyak pro dan kontra yang membuat Presiden masih ragu untuk memutuskan dan melaksanakan. Untuk merealisasikan peraturan holding BUMN Migas, sesuai dengan keinginan Kementerian BUMN, pemerintah telah merealisasikan melalui penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) No. 6 Tahun 2018 Tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia Ke Dalam Modal Saham Perusahaan Perseroan (Persero) Pertamina. PP ini dimaksudkan untuk pelaksanaan inbreng saham pemerintah di PGN ke Pertamina, sebagai bentuk penambahan penyertaan modal pemerintah di Pertamina serta penegasan perubahan status PGN yang semula BUMN dengan Persero menjadi Perseroan Terbatas (PT).
ADVERTISEMENT
PP tersebut sudah ditandatangani oleh Presiden tetapi masih menunggu untuk diumumkan ke publik karena masih terdapat banyak permasalahan terkait dengan holding BUMN Migas yang belum terselesaikan. Presiden minta supaya masalah hukum antara Pertamina dan PGN harus diselesaikan terlebih dahulu. Permasalahan tersebut, sesuai dengan urutan tingkat permasalahannya, adalah sebagai berikut:
• Inkonstitusionalitas Kebijakan Pembentukan Holding BUMN Migas
Analisis dari akademisi, seperti Universitas Gajah Mada (UGM) dari dua tempat, yaitu Fakultas Hukum (FH) dan Pusat Studi Energi (PSE) UGM yang menyatakan bahwa mekanisme pembentukan holding BUMN Migas melalui mekanisme inbreng saham pemerintah dan hilangnya BUMN di sektor gas menjadi suatu langkah yang inkonstitusional. Permasalahan inkonstitusionalitas dari langkah ini sangat signifikan dan ini terlihat dari beberapa hal, di bawah ini:
ADVERTISEMENT
• Penghapusan status BUMN Tbk di sektor yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, yaitu PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk. PT PGN hilang dari peta BUMN Indonesia karena sebagai anak perusahaan Pertamina hanya berstatus PT. Khusus untuk BUMN pengelola SDA (tambang dan migas) tidak dapat ditimbang hanya dari aspek korporasi bisnis saja karena ada Hak Negara, Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 002/PUU-I/2003 dan Putusan MK No. 36/PUU-X/2012
b. Tidak adanya BUMN disektor strategis merupakan langkah inkonstitusional karena secara eksplisit disebutkan dalam UUD 1945 Pasal 33 ayat (1)
c. Pengelolaan sektor strategis nasional melalui anak perusahaan BUMN merupakan bentuk degradasi penguasaan negara karena negara kehilangan kendali penuh ke BUMN dengan tidak adanya kepemilikan secara langsung. Hal ini berarti penguasaan negara dibatasi oleh pengaturan dalam UU No. 19 Tahun 2003 Tentang BUMN dan juga UU No. 40 tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.
ADVERTISEMENT
2. Permasalahan Pengendalian dan kegagalan Konsolidasi sesuai PSAK 65 Laporan Keuangan Konsolidasi
Pendapat dari Auditor Senior BPK dan juga anggota IAI, menyatakan bahwa holding BUMN yang dibentuk dengan mekanisme inbreng saham pemerintah di satu BUMN, kemudian BUMN yang menjadi anak usahanya dimiliki oleh holding yang juga BUJN secara mayoritas. Namun masih ada satu lembar saham dwi warna yang dipegang oleh pemerintah melalui kementerian BUMN, dari sisi Akuntansi hal itu bermasalah. Seperti diketahui bahwa salah satu motivasi dari pembentukan holding BUMN adalah menciptakan BUMN besar dengan adanya penggabungan aset dan konsolidasi keuangan beberapa BUMN. Dengan kapasitas yang semakin besar, maka kemampuan BUMN tersebut untuk mendapatkan hutang juga semakin besar, namun BUMN tambun seperti ini jika bermasalah dapat mengguncang perekonomian negara.
ADVERTISEMENT
Di satu hal, sesuai dengan PSAK 65, isu mengenai konsolidasi keuangan ditentukan oleh Pengendalian. Untuk dapat dikonsolidasikan, maka pengendalian harus tegas berada pada holdingnya. Namun dengan adanya satu lembar saham dwi warna dengan hak istimewa seperti penentuan dan pengangkatan Komisaris dan Direksi, maka cukup untuk dinyatakan bahwa holding tidak memiliki kendali. Sehingga konsolidasi tidak dapat dilakukan. Dengan kondisi seperti ini, maka motivasi awal pembentukan holding tidak dapat dipenuhi.
Ada ide untuk menciptakan kondisi pengendalian ada di holding, maka negara melakukan pengalihan hak atas saham dwi warna ke holding. Dengan melakukan hal inipun masih ada permasalahan lain, yaitu pengendalian tetap ambigu karena kepemilikan pengendalian sebenarnya ada di pemerintah bukan di holding. Kedua, kalau langkah ini dianggap diterima dan menyelesaikan masalah pengendalian, maka terkonfirmasi bahwa penguasaan negara hilang di anak usaha BUMN tersebut. Dampaknya tidak ada lagi kuasa negara di anak usaha BUMN, yang dalam kasus Holding BUMN Migas ini memegang pengelolaan sektor strategis di gas bumi. Artinya hal ini terkait dengan isu inkonstitusionalitas kebijakan diatas.
ADVERTISEMENT
• Potensi Konfilik Kepentingan
Terkait dengan kebijakan holding BUMN Migas ini, belum dapat dilakukan klarifikasi dan solusi yang tegas mengenai potensi konflik kepentingan yang terjadi, yaitu dalam hal:
a. Konflik antara pengelolaan minyak dan gas bumi yang saling mensubstitusi. Minyak saat ini 60% sudah bergantung pada impor, sedangkan gas bumi yang kita miliki cadangannya begitu besar tetapi belum dimanfaatkan secar optimum untuk keperluan domestik. Dengan penggabungan pengelolaannya di satu tempat, tidak akan optimum karena penambahan pemanfaatan gas bumi berarti pengurangan pemanfaatan minyak bumi, pengurangan market share dan penurunan kinerja pengelolaan minyak. Terlebih lagi dengan adanya permasalahan, seperti kasus Petral yang kita belum yakin kalau sudah selesai, maka proteksi atas bisnis impor minyak atau ekspor gas sekaligus pasti terjadi. Sehingga dipastikan munculnya risiko menurunnya pengelolaan gas, meningkatnya impor minyak dan LPG serta akan terjadi ekspor gas besar-besaran.
ADVERTISEMENT
b. Adanya perbedaan konsep antara konsep Holding BUMN Migas dengan Konsep kelembagaan yang sedang di finalisasi dalam Revisi UU Minyak dan Gas Bumi oleh DPR, berpotensi menimbulkan konflik. Dalam konsep kelembagaan dalam RUU Migas, struktur yang dibentuk jauh berbeda dengan adanya Badan Usaha Khusus (BUK) di bidang hulu minyak dan gas, hilir minyak dan hilir gas bumi. Dengan pembentukan holding BUMN Migas saat ini tanpa menunggu arah dari revisi UU Migas tersebut, dapat menimbulkan inefisiensi nasional karena diperlukan penyesuaian kelembagaan yang cukup lama dan rumit.
4. Belum adanya Konsensus Nasional atas Langkah Menyangkut BUMN milik rakyat ini.
Permasalahan lain yang sempat muncul, adalah insiatif pembentukan holding BUMN ini dilakukan tanpa adanya persetujuan dari DPR. BUMN merupakan bentuk investasi kekayaan negara milik rakyat, dan adanya suatu keputusan signifikan yang menghapuskan BUMN dan mengubah tatanan pengelolaan BUMN harus dilakukan melalui evaluasi dan persetujuan dari rakyat, yang dalam hal ini diwakilkan oleh DPR. Dengan tidak adanya konsensus nasional untuk melakukan hal tersebut, maka akan membuat inisiatif ini tidak dipahami oleh publik secara nasional dan publik tidak paham bahwa langkah ini harus didukung oleh publik. Setiap kebijakan yang signifikan harus dikomunikasikan dengan baik ke seluruh pemangku kepentingan. Dan saat ini komunikasi tersebut masih belum terjadi dengan baik. AGUS PAMBAGIO (Pemerhati Kebijakan Publik dan Perlindungan Konsumen).
ADVERTISEMENT