Potensi Korupsi di BPJS Ketenagakerjaan

Agus Pambagio
Pemerhati kebijakan publik dan lingkungan.
Konten dari Pengguna
21 Maret 2021 15:06 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Agus Pambagio tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi BPJS Ketenagakerjaan. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi BPJS Ketenagakerjaan. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kasus korupsi dana investasi di BPJS Ketenagakerjaan, yang saat ini sedang masuk pada tahapan penyidikan di Kejaksaan, mempunyai potensi kerugian negara sebesar Rp 20 triliun lebih. Selain itu dalam situasi pandemi seperti sekarang, BPJS Ketenagakerjaan patut diduga juga berpotensi merugikan pekerja peserta BPJS Ketenagakerjaan sebagai akibat keluarnya Surat Edaran (SE) Menteri Ketenagakerjaan No. M/3/HK.04/III/2020 tentang Perlindungan Pekerja/Buruh dan Kelangsungan Usaha dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan COVID-19.
ADVERTISEMENT
Keberadaan SE tersebut menjadi penyebab utama adanya kesepakatan antara pemberi kerja dengan BPJS Ketenagakerjaan yang merugikan peserta. SE tersebut mengatakan bahwa:
Di saat-saat sulit seperti sekarang ini, seharusnya negara berusaha meringankan beban masyarakat/pekerja. Namun ternyata di tengah masa pandemi ini, SE tersebut telah menciptakan dorongan kepada perusahaan untuk berbondong bondong mengurangi upah tenaga kerjanya secara legal berdasarkan SE tersebut. Pada kondisi sulit ini, kedudukan perusahaan memang lebih dominan dibandingkan dengan para pekerja, sehingga tenaga kerja tak memiliki pilihan lain selain menyepakati perubahan atau pengurangan upah tersebut.
Akibatnya, para tenaga kerja yang upah bulanannya dikurangi/dipotong karena Covid-19 masih bersemangat bekerja asalkan tidak terkena PHK. Namun ketika meninggal akibat kecelakaan kerja, ahli waris hanya mendapatkan Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) yang sangat kecil berbeda dengan peraturan yag ada karena dasar perhitungannya menggunakan upah bulan terakhir yang sudah dikurangi sebelum tenaga kerja meninggal (meninggal setelah April 2020), bukan upah yang selama ini dibayarkan hingga saat pandemi (Maret 2020).
ADVERTISEMENT
Hal itu terjadi karena rumus yang digunakan adalah 60 x 80% x upah bulan terakhir sebagaimana diatur PP No. 82 Tahun 2019 Tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKM). Jauh jika besarannya menggunakan dasar upah/gaji sebelum Covid-19 atau sebelum keluarnya SE. Lalu pertanyaannya : ke mana uang iuran yang dibayarkan tenaga kerja selama ini sebelum munculnya SE No. M/3/HK.04/III/2020? Ini uang hak pekerja yang dipotong setiap bulannya, sehingga tidak dapat dialihkan menjadi pendapatan BPJS Ketenagakerjaan atau apa pun.
Tidak ada yang salah dari aturan tersebut, karena upah berdasarkan kesepakatan memang diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Namun, terdapat implikasi yang tidak terpikirkan dari diterbitkannya SE tersebut, yaitu soal jaminan ketenagakerjaan yang diatur dalam PP No. 82 Tahun 2019 yang sangat merugikan pekerja karena pokok perkaliannya upah bulan terakhir bukan upah sebelum pandemi atau sebelum munculnya SE . Sehingga JKK yang diterima ahli waris sangat kecil.
ADVERTISEMENT
Menurut data BPJSKetenagakerjaan.go.id; dari Januari – September 2020 ada 23.000 kecelakaan kerja dan 1%nya meninggal dunia atau 230 orang sepanjang 9 bulan. Artinya ada sekitar 25 orang/hari meninggal karena kecelakaan kerja. Sehingga dari April 2020 (saat SE No. M/3/HK.04/III/2020 dikeluarkan) hingga Februari 2021 sudah ada sekitar 11 bulan x 25 orang x 30 hari = 8.250 orang meninggal karena kecelakaan kerja. Kalikan saja berapa uang santunan yang tertinggal tidak diserahkan ke ahli waris karena adanya SE No. M/3/HK.04/III/2020 tersebut.
Dengan munculnya SE tersebut, Kementerian Ketenagakerjaan dianggap mengkhianati tenaga kerja Indonesia. Sehingga jaminan Sosial Ketenagakerjaan Indonesia pun dapat dianggap dianggap gagal.
Kedua, terkait isu manfaat beasiswa bagi ahli waris (anak) yang sampai hari ini pun tidak jelas statusnya karena Menteri Ketenagakerjaan sampai hari ini belum mau mengeluarkan Peraturan Menterinya, sedangkan kebijakan beasiswa ahli waris sudah disampaikan ke publik secara terbuka, baik melalui website Kemenaker maupun berbagai pernyataan Kemenaker di media.
ADVERTISEMENT
Bayangkan jika pekerja mempunyai anak yang duduk di Sekolah Dasar akan mendapatkan bea siswa hingga lulus SD sebesar Rp 1,2 juta/anak/tahun. Lalu kalau di SLTP akan mendapatkan bea siswa Rp 1,8 juta/anak/tahun, lalu untuk tingkat SLTA sebesar Rp 2,4 juta/anak/tahun dan jika sudah di Perguruan Tinggi akan mendapatkan Rp 3 juta/tanak/tahun, maksimum untuk dua anak. Bayangkan berapa miliar dana ini mengendap di BPJS Ketenagakerjaan karena Menteri Ketenagakerjaan tak kunjung mengeluarkan Peraturan Menterinya.
Kondisi di atas patut diduga merupakan pembohongan publik yang serius dan merugikan pekerja dan ahli warisnya. Semoga KPK, Ombudsman Republik Indonesia, Kementerian Ketenagakerjaan, Komisi IX DPR – RI dapat membantu mengembalikan hak para pekerja dan ahli warisnya yang sudah dengan tertib beriur bertahun-tahun melalui pemotongan gajinya.
ADVERTISEMENT
--------------
Salam AGUS PAMBAGIO (Pemerhati Kebijakan Publik dan Perlindungan Konsumen)