Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.101.0
Konten dari Pengguna
PP No. 46 Tahun 2017: Untung atau Rugi bagi Publik dan Dunia Usaha?
15 November 2017 9:11 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:14 WIB
Tulisan dari Agus Pambagio tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Regulasi adalah produk kebijakan yang dituliskan dan dicatatkan oleh Pemerintah pada lembar catatan negara yang harus dipatuhi oleh seluruh warga negara tanpa kecuali. Regulasi idealnya memenuhi keinginan dan kebutuhan publik serta industri atau pelaku usaha. Bagi publik kebijakan yang baik adalah kebijakan yang membuat pelayanan negara kepada rakyat menjadi lebih baik.
ADVERTISEMENT
Sedangkan bagi pelaku usaha atau industri, kebijakan yang baik adalah kebijakan yang dapat membuat pelaku usaha mempunyai kepastian berusaha, berkembang, memberikan lapangan pekerjaan dan menguntungkan secara bisnis.
Terkait dengan kebijakan, minggu lalu di tengah perundingan dan sidang Conference of Parties (COP) 23 -United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) di Bonn-Jerman, saya mendengar Presiden Jokowi telah menandatangani Rancangan Peraturan Pemerintah (PP) No. 46 Tahun 2017 Tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup (IELH), setelah RPP ini terkatung-katung sejak UU No. 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup disahkan. PP ini merupakan perintah dari UU Lingkungan Hidup yang tak kunjung beres. Bayangkan untuk sebuah kebijakan (PP) yang sangat diperlukan oleh bangsa ini, harus memerlukan waktu sekitar 8 tahun.
ADVERTISEMENT
Keluarnya PP No. 46 Tahun 2017 ini penuh dengan drama dan upaya yang menghabiskan energi Pemerintah, pencinta dan aktivis lingkungan. Syukurlah setelah melalui proses panjang pada tanggal 10 Nopember 2017 pukul 23.20 PP IELH ditandatangani oleh Presiden Jokowi. Adanya PP IELH di maksudkan supaya negara dapat mengelola dana-dana hibah dan dana lain yang di peruntukan untuk perbaikan dan konservasi lingkungan. Namun PP ini harus segera diikuti dengan terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) tentang Badan Layanan Umum (BLU) sebagai pengelola dana tersebut.
Meskipun pembahasan PP ini sudah memakan waktu lama, namun tampaknya pelaku usaha (KADIN, Apindo dan lain lain) belum nyaman menerimanya. Mereka beranggapan bahwa PP ini akan membebani investasi mereka karena adanya pungutan dana baru, seperti dana pemulihan lingkungan, asuransi dan sebagainya yang harus disetorkan ke BLU.
ADVERTISEMENT
Menurut saya yang beberapa kali berkomunikasi dengan para Menteri terkait sejak beberapa bulan lalu, perlu kiranya ada dialog resmi antara pemerintah, pelaku usaha dan publik secepatnya supaya semua pihak paham. Saya khawatir akan muncul banyak penolakan dari industri hanya karena rendahnya pemahaman mereka akan isi PP IELH.
Untuk itu mari kita bahas secara singkat dan padat, keberadaan PP IELH ini menguntungkan atau merugikan bagi dunia usaha dan publik.

Penertiban dan Pengumpulan Dana Lingkungan Hidup
Inti atau esensi utama PP No. 46 Tahun 2017 ini adalah mengkonsolidasi semua dana-dana untuk pelestarian lingkungan yang selama ini sudah ada, seperti dana reboisasi, dana reklamasi tambang, dana asuransi industri, dan dana-dana hibah luar negeri (seperti dari World Bank, Norwegia, Jerman dan lain-lain) supaya dapat lebih tepat sasaran dan transparan dalam mekanisme pembiayaan Pemerintah non APBN, baik untuk keperluan small grant, investasi maupun capacity building bagi publik dan petugas teknis lapangan.
ADVERTISEMENT
Dari sisi pelaku usaha dan asosiasi pengusaha, kurang pas jika kalangan pengusaha/industri menganggap bahwa PP ini memberatkan dan mengurangi daya saing. Di PP ini tidak diatur adanya pungutan-pungutan lain selain yang selama ini sudah ada. Sekali lagi PP ini hanya mengkonsolidasikan dana-dana lingkungan hidup yang sudah ada tetapi terpencar untuk disetor ke dalam satu akun supaya memudahkan pengawasan.
PP ini sejak tahun 2011 telah melalui puluhan mungkin ratusan kali pembahasan dengan semua Kementerian dan Lembaga terkait, Asosiasi Pengusaha (KADIN) dan publik melalui media yang disebut Konsultasi Publik.
Salah satu proses Konsultasi Publik yang memakan waktu lama adalah dengan Kementerian Perindustrian. Saat melakukan Konsultasi Publik dengan Kementerian Perindustrian juga melibatkan KADIN, Apindo dan pelaku usaha swasta lainnya. Jadi aspirasi pelaku usaha/industri di refleksikan oleh Kementerian Perindustrian. Menteri Perindustrian sempat lama tidak menyetujui isi RPP IELH.

Namun setelah diyakinkan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan bahwa PP IELH tidak memungut dana baru (termasuk dana jaminan dan pajak/retribusi) selain yang sudah ada dan K/L teknis tetap memiliki kewenangan untuk mengatur sektornya, barulah Menteri Perindustrian memberikan parafnya pada RPP IELH ini.
ADVERTISEMENT
Melalui PP IELH, Pemerintah akan menata dana-dana yang sudah disebutkan di atas supaya lebih tertib digunakan untuk pemulihan lingkungan yang tepat sasaran termasuk dana-dana hibah luar negeri yang sudah harus diatur dalam pos anggaran non APBN di Kementerian Keuangan.
Jika ada pelaku usaha yang menolak PP IELH patut diduga ada 2 alasan, pertama kurang memahami isi PP IELH atau ada agenda lain termasuk menghindari transparansi iuran yang selama ini berjalan. Dengan menggunakan media dan Key Opinion Leader (KOL) mereka akan melemparkan isu-isu yang menyesatkan publik, seperti seolah olah Pemerintah memungut retribusi atau pungutan tambahan.
Ujung-ujungnya mereka akan melakukan Judicial Review (JR) ke Mahkamah Agung (MA) dan jika tuntutan mereka dikabulkan, artinya memang mereka tidak mau jika pengelolaan dana ini diatur secara transparan. Patut diduga mereka masih mau pakai gaya lama yang melestarikan korupsi.

Langkah Segera Pemerintah
ADVERTISEMENT
Pertama, pemerintah dalam hal ini KLHK harus segera melakukan berbagai pertemuan, seperti Focus Group Discussion (FGD), Diskusi Terbuka, talkshow di media yang melibatkan/mengajak pelaku usaha (termasuk KADIN dan organisasi sektoral di bawahnya, khususnya yang menolak), Kementerian Koordinasi Keuangan, Keuangan, Kantor Staf Kepresidenan, pengamat dan media dan lain lain.
Melibatkan media penting untuk edukasi pada media, supaya kalau menulis atau menanyakan ke nara sumber tidak “ngawur” dan paham isi dan implikasi penerapan PP IELH.
Kedua, Pemerintah harus segera menyelesaikan Perpres BLU yang sudah lama juga terkatung katung pembahasannya karena menunggu di sahkannya PP IELH. Posisi rancangan Perpres masih simpang siur, ada yang mengatakan sudah di Sekretariat Negara tinggal di paraf Presiden, ada yang mengatakan masih di Kementerian Keuangan dan sebagainya. Semoga posisi terakhir Rancangan Perpresnya segera diketahui dan segera di sahkan.
ADVERTISEMENT
Ketiga, saat ini sedang berlangsung Sidang COP 23 UNFCCC di Bonn, Jerman hingga tanggal 17 Nopember 2017, di sahkannya PP IELH membuat posisi tawar Indonesia lebih baik dalam perundingan-perundingan untuk memenuhi janji Indonesia mengurangi gas karbon hingga 29% tanpa bantuan Internasional atau 41% dengan bantuan Internasional di tahun 2030 sesuai dengan Nationally Determined Contributions (NDC) Indonesia pada Paris Agreement.
Kondisi ini memudahkan langkah tim negosiator RI di COP 23 UNFCCC, di Bonn, meskipun Perpres BLU nya belum selesai tetapi kekhawatiran negara-negara donor terkait penggunaan dana hibah mereka ke Indonesia akan terobati.
Akhirnya dapat saya simpulkan bahwa keberadaan PP IELH No. 46 Tahun 2017 diharapkan dapat membuat penggunaan dana perbaikan/pelestarian lingkungan hidup di Indonesia terpayungi tanpa ada pembebanan tambahan pada pelaku usaha. Salam dari Bonn, Jerman. AGUS PAMBAGIO (Pemerhati Kebijakan Publik dan Perlindungan Konsumen).
ADVERTISEMENT