Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.101.0
Konten dari Pengguna
Ruwetnya Jalan Tol: Otomatisasi Tanpa Persiapan Matang
8 Oktober 2017 11:52 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:19 WIB
Tulisan dari Agus Pambagio tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Di era yang serba tergantung pada teknologi informasi saat ini, otomatisasi sistem merupakan suatu keniscayaan. Tanpa otomatisasi akan dijauhi konsumen terutama konsumen milenial. Semua pelayanan sudah harus menuju ke penggunaan teknologi informasi, seperti penggunaan aplikasi (apps). Begitu pula di sistem transportasi perkotaan maupun antar kota antar propinsi (AKAP), seperti pelayanan taksi, bis kota maupun AKAP, kereta api, angkutan udara, angkutan laut, dan jalan tol. Moda transportasi tanpa otomatisasi akan ditinggalkan konsumen.
ADVERTISEMENT
Dengan budaya masyarakat Indonesia yang umumnya tidak peduli terhadap lingkungan, tetapi sangat peduli pada apa yang dilakukan orang lain (dalam istilah generasi milenial disebut “kepo”) dan cenderung iri hati, maka penggunaan teknologi informasi di pelayanan publik bisa bermasalah ketika Pemerintah juga kurang kreatif dan berbudaya pencitraan. Penerapan otomatisasi pelayanan publik akan bermasalah secara sosial dan berujung kerugian secara finansial bagi penyelenggara. Contoh terbaru adalah penerapan pembayaran elektronik di gerbang tol (e-toll).
Saya sudah ingatkan ke semua pemangku kepentingan, seperti Kementerian Perhubungan, Kementerian PUPR, Kementerian BUMN, Badan Pengelola Jalan Tol (BPJT), Operator Jalan Tol, Bank Indonesia (BI), OJK, Bank penerbit kartu e-toll dan sebagainya sejak beberapa tahun lalu dan puncaknya saat kasus Brexit terjadi. Karena salah satu penyebab kemacetan Brexit adalah pembayaran tunai dengan uang kembalian (10-20 detik/per transaksi). Padahal Standar Pelayanan Minimum (SPM) di jalan tol adalah 7 detik. Sehingga setiap detik setelahnya akan ada tambahan antrian kendaraan sepanjang 10-20 meter.
ADVERTISEMENT
Penerapan e-toll menurut saya secara komunikasi yang dilakukan oleh operator jalan tol sudah benar, tetapi secara teknis keterkaitan antar lembaga dan regulasi masih “ngawur”. Akibatnya, pelaksanaan di lapangan berantakan dan mengecewakan publik.
Beberapa Persoalan Penerapan Otomatisai di Jalan Tol

Kepadatan di sebagian jalan tol di pulau Jawa sudah mendekati puncak kepadatan atau menuju gridlock (macet total) di saat-saat tertentu maupun sepanjang hari, seperti jalan tol menuju bandara Soekarno Hatta, JORR, Dalam Kota Jakarta, Cipali/Cipularang, Jagorawi, Surabaya –Mojokerto dst. maka dari itu otomatisasi masuk jalan tol harus segera diterapkan supaya tidak ada antrian panjang di pintu tol (GTO), dengan catatan tidak ada kemacetan parah di jalan tolnya.
E-toll di jalan tol, khususnya yang menggunakan On Board Unit (OBU) dan tertempel di kaca sudah merupakan keharusan untuk mengurangi antrian masuk ke jalan tol dan ketersediaan uang receh di pintu tol. Jangankan mengunakan OBU penggunaan kartu e-toll manual (tapping) saja masih belum semua ada. Ibaratnya kita ingin maju tetapi pelayanan masih sekelas zaman batu.
ADVERTISEMENT
Kekusutan di pintu tol sejak diberlakukannya penggunaan e-toll di semua GTO pada awal Oktober 2017 ini disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:
Pertama, pelanggaran regulasi oleh operator tol dan Bank karena sesuai dengan Pasal 12 A Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 16/8/PBI Tahun 2014 Tentang Uang Elektronik, mekanisme pengenaan biaya layanan dan besarnya biaya layanan maksimum yang dapat dikenakan oleh penerbit ke pemegang/konsumen diatur melalui Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI).
Setahu saya sampai sekarang BI belum menetapkan harga kartu, biaya top up di minimarket dan biaya-biaya lain. Dengan demikian pengelola jalan tol, mini market dan Bank penerbit kartu tidak boleh mengenakan biaya ke konsumen semena mena.
Dengan demikian jika Bank Mandiri mengenakan biaya kartu Rp. 50.000 dengan dana yang bisa digunakan hanya Rp. 30.000 dan harga kartu Bank BRI dengan dana yang dapat digunakan konsumen Rp. 40.000 serta berbagai pungutan tambahan yang dilakukan oleh mini market patut diduga ILEGAL.
ADVERTISEMENT
Kedua, kebijakan pengelola jalan tol tersebut patut diduga memeras konsumen dengan memaksa membeli kartu baru, meskipun pengguna sudah mempunyai kartu tetapi nilainya kurang dan tidak dapat melakukan top up di pintu tol seperti sebelum kebijakan harus dengan kartu diterapkan. Konsumen tidak ada pilihan lain selain harus membeli, sementara saldo di kartu lama tidak dapat di uangkan kembali. Ini yang saya maksud memeras konsumen.
Ketiga, masyarakat Indonesia merupakan salah satu bangsa yang tidak peduli akan kejadian di sekitarnya dan tidak suka perubahan, meskipun perubahan itu untuk kebaikannya. Mereka baru bereaksi keras tanpa memberikan solusi dan cenderung “ngawur” ketika perubahan itu merugikan dirinya. Jadi sosialisasi kebijakan di Indonesia kurang efektif untuk publik jika dibuat serampangan asal jadi.
ADVERTISEMENT
Yang paling menderita di kebijakan “ngawur” ini adalah pengemudi taksi dan pengemudi jasa logistik yang tidak mempunyai uang tunai banyak tetapi harus keluar masuk jalan tol. Beberapa kali penumpang (termasuk saya) harus membantu membelikan kartu karena kartu yang mereka punyai kurang saldonya dan mereka belum sempat top up sudah harus antar penumpang/barang melalui tol. Jadi tarif tol untuk konsumen seperti saya jadi lebih mahal Rp. 10.000 – 20.000 sekali masuk.
Jadi, jangan heran jika kebijakan otomatisasi tol ini akan di protes keras oleh publik, apabila kebijakan ini dilakukan dengan alasan populis atau pencitraan.
Langkah yang Harus Dilakukan Pemerintah

Pelaksanaan suatu kebijakan harus dilakukan secara bertahap dibarengi dengan sosialisasi publik yang cerdas dan menggunakan media yang murah namun efektif. Supaya masyarakat berbudaya “cuek” ini teredukasi, paham dan wajib melaksanakan kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah. Jika tidak melaksanakan konsekuensinya di denda mahal. Negara yang warganya patuh telah melalui proses ini bukan melalui proses pencitraan seperti di Republik tercinta ini.
ADVERTISEMENT
Pertama, hentikan sementara kebijakan otomatisasi tol karena belum ada kebijakan yang secara lex specialist memayungi penerapan transaksi elektronik di jalan tol. Kedua BI harus segera mengatur supaya para Bank penerbit tidak melakukan monopoli layanan (Bank Mandiri bertahun tahun mau menguasai sendiri e-toll, sekarangpun masih berusaha untuk menghambat beberapa hal dengan alasan mereka yang mempersiapkan infrastruktur awalnya).
Kedua, BI harus segera menerbitkan Surat Edaran sebagai aturan pelaksanaan PBI No. 16/8/PBI Tahun 2014 Tentang Uang Elektronik. Tanpa ini pungutan melalui e-toll dan berbagai transaksi elektronik lainnya, patut diduga ILEGAL.
Ketiga, operator jalan tol harus masih menyisakan 1 gerbang tol tunai, top up di pintu tol dan penjualan e-toll di gerbang tunai maksimum selama 3 bulan kedepan untuk mengantisipasi kemacetan panjang di jalur GTO dan sosialisasi ke publik. Setelah 3 bulan, harus ada mekanisme denda yang cukup besar atau tilang yang dikenakan kepada pengemudi ketika lalai menyiapkan kartu e-toll.
ADVERTISEMENT
Keempat, semua operator jalan tol harus bekerjasama, melalui mekanisme khusus, dengan perusahaan angkutan umum dan logistik yang secara teratur keluar masuk tol supaya tidak mempersulit pengemudi, pada akhirnya membebani konsumen dan membuat kemacetan bertambah panjang. Padahal pelaksanaan elektronifikasi tol dimaksudkan untuk memperlancar bukan menghambat lalu lintas.
Kelima, saya minta supaya YLKI dan para penasehat hukum publik mempersiapkan gugatan karena adanya perbuatan melawan hukum oleh penguasa. Salam.
AGUS PAMBAGIO