Konten dari Pengguna

UU Cipta Kerja Belum Bermanfaat bagi Investor

Agus Pambagio
Pemerhati kebijakan publik dan lingkungan.
1 Mei 2023 15:09 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Agus Pambagio tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto (kedua kiri) menyapa anggota DPR disaksikan Ketua DPR Puan Maharani (kedua kanan) dan Wakil Ketua DPR Rachmat Gobel (kiri), Lodewijk Freidrich Paulus (ketiga kanan). Foto: Galih Pradipta/Antara Foto
zoom-in-whitePerbesar
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto (kedua kiri) menyapa anggota DPR disaksikan Ketua DPR Puan Maharani (kedua kanan) dan Wakil Ketua DPR Rachmat Gobel (kiri), Lodewijk Freidrich Paulus (ketiga kanan). Foto: Galih Pradipta/Antara Foto
ADVERTISEMENT
Indonesia sebagai negara yang rindu investor, khususnya asing memang masih menghadapi kendala besar terkait dengan rumit dan mahalnya birokrasi perizinan dan tingginya angka korupsi di tingkat pemerintah (Daerah), legislatif dan Aparat Penegak Hukum, meskipun pemerintah pusat telah menerobosnya dengan menerbitkan UU No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja. Namun keberadaan UUCK belum banyak membantu, khususnya di penyederhanaan proses birokrasi perizinan. Banyak penolakan investor karena masalah proses perizinan yang “mbulet” ini.
ADVERTISEMENT
Digitalisasi proses perizinan ternyata juga tidak banyak membantu karena banyak proses untuk sampai ke tingkat proses digital tersebut, masih dilakukan secara manual dengan tingkat kesulitan tinggi, berbelit belit dan berpotensi korupsi, apalagi di daerah. Jadi jangan heran jika pada akhirnya banyak calon investor yang baru pada tahap MoU (belum kontrak) batal berinvestasi atau hengkang ke negara tetangga.
Jangankan mengundang investor baru, memperlakukan investor yang sudah lama beroperasi di Indonesia dan ingin menambah investasi dengan mengembangkan produk baru, juga tidak dimudahkan. Sehingga pada akhirnya mereka membatalkan perluasan investasinya di Indonesia dan kita kehilangan kesempatan emas. Contoh pada industri pangan. Untuk impor guna keperluan uji pasar saja belum produksi, perlu waktu tanpa batas (bisa tahunan) dengan biaya yang tidak murah karena masih banyak “administration fee” yang harus dipenuhi.
ADVERTISEMENT
Untuk keperluan penulisan artikel ini, kami melakukan kajian kebijakan untuk mencari tahu di mana masalah sebenarnya, seberapa tangguh UUCK yang kontroversial ini dapat menyederhanakan proses perizinan, sehingga menarik investor asing ke Indonesia melalui studi kasus produk pangan olahan susu.

Jalan panjang tak berujung

Penulis melakukan kajian pada izin impor produk Es Krim dari salah satu negara ASEAN untuk keperluan uji konsumen di pasar domestik, bukan izin produksi. Kami kaji kebijakan dan proses importasi beserta peraturan perundangan yang mendukungnya.
Pertama kita kaji Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 25 Tahun 2022 Tentang Perubahan Atas Permendag No. 20 Tahun 2021 Tentang Kebijakan Dan Pengaturan Impor. Permendag ini mengatur izin impor produk, termasuk hasil olahan susu yang diwajibkan untuk memperoleh Surat Rekomendasi Pemasukan (SRP) dari Kementerian Pertanian.
ADVERTISEMENT
Untuk mendapatkan SRP harus melengkapi banyak dokumen tanpa batasan waktu proses, bisa tahunan. Sementara untuk mendapatkan SRP sudah diatur secara digital dalam Sistem Layanan Rekomendasi Bidang Peternakan dan Kesehatan Hewan (SIMREK-PKH) Kementan berdasarkan Permentan No. 15 Tahun 2021 Tentang Standar Kegiatan Usaha dan Standar Produk.
Kedua sebagaimana produk lainnya, pada kasus izin impor Es Krim sebagai barang komplementer diberikan oleh Kementerian Perdagangan. Awalnya, sebelum mengeluarkan Izin Impor, Kemendag harus mendapat rekomendasi dari Kementerian Perindustrian berdasarkan Kepmenperin No. 19 Tahun 2016, yang diperbaharui dengan Kepmenperin No. 33 Tahun 2019 Tentang Ketentuan Pemberian Rekomendasi Impor Barang Komplementer, Barang Untuk Keperluan Tes Pasar, dan/atau Pelayanan Purna Jual. Untuk memperlancar kegiatan berusaha, pada akhirnya Permenperin No. 33 Tahun 2019 ini dicabut. Pencabutan kebijakan ini sangat positif untuk meningkatkan peran dunia usaha.
ADVERTISEMENT
Ketiga sebagai gantinya, Kementerian Perdagangan menerbitkan Permendag No. 29 Tahun 2019 tentang Ketentuan Ekspor dan Impor Hewan serta Produk Hewan yang selanjutnya diubah dengan Permendag No. 72 Tahun 2019. Cilakanya Permendag No. 72 Tahun 2019 ini, produk Es Krim masuk dalam kategori impor produk hewan olahan.
Permendag ini pula yang menetapkan bahwa izin impor harus ada rekomendasi dari Kementerian Pertanian (Kementan) untuk menghindari risiko penyebaran penyakit zoonosis, seperti penyakit kuku mulut. Hal ini juga diatur dengan Permendag No. 25 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Permendag No. 20 Tahun 2021 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor. Nah di sinilah mulai muncul kekusutan meski sudah ada UUCK.
Dengan demikian alih-alih sejalan dengan UUCK, yang ditujukan untuk memperluas lapangan kerja dan mempercepat perkembangan usaha, Permendag ini justru menambah rantai birokrasi dengan diperlukannya Rekomendasi dari Kementan. Sementara produknya sendiri berupa Es Krim jauh dari kemungkinan risiko penyakit hewan karena proses panjang yang dilakukan di negara asal sudah sangat ketat. Pencabutan Rekomendasi Kemenperin untuk importasi merupakan hal positif, namun sayang penggantinya berupa rekomendasi Kementan kembali memperumit proses perizinan dan berlawanan dengan UUCK.
ADVERTISEMENT
Keempat munculnya digitalisasi Sistem Informasi Rekomendasi Peternakan Dan Kesehatan Hewan (SIMREK PKH) oleh Kementan juga menambah masalah karena prosesnya rumit dan tanpa batas waktu, khususnya di sektor pangan hasil produk olahan hewan. Tujuan awal SIMREK PKH adalah untuk memperlancar iklim usaha dengan percepatan ekspor impor, tetapi dalam pelaksanaannya justru menghambat.
Berdasarkan kajian kami, proses yang harus dilakukan sama sekali tidak mempercepat karena masih diperlukan beragam syarat yang sangat banyak dan belum berbasis digital. Es Krim sebenarnya sangat jauh dari klasifikasi produk olahan asal hewan, sehingga maksud Kementan meneliti adanya zoonosis hewan sampai ke Es Krim agak berlebihan di tengah kemajuan teknologi informasi saat ini.
Dari beberapa dokumen yang harus dipenuhi importir Es Krim terlihat sangat berlebihan dan memberatkan, misalnya: perlunya pemenuhan dokumen Nomor Kontrol Verteriner (NKV) yang seharusnya hanya dibutuhkan untuk importir daging sapi, bukan untuk importir Es Krim atau produk turunan susu lain. Apalagi jika produk impor tersebut telah dilengkapi dengan Certificate of Origin dan Certificate of Analysis yang juga sudah merupakan salah satu syarat yang harus dipenuh oleh importir.
ADVERTISEMENT
Adanya kedua sertifikat tersebut, yang harus disertakan setiap kali mengurus izin impor, kami nilai berlebihan karena semestinya cukup satu kali saat awal impor, sehingga untuk komoditi dengan komposisi dan proses yang sama kedua sertifikat tersebut tidak lagi diperlukan. Demikian juga dengan syarat rekomendasi dari Dinas Provinsi yang juga harus ada setiap kali impor, bukan sesuatu yang mudah dan murah untuk didapat oleh importir/perusahaan.

Kesimpulan dan Saran untuk pemerintah

Kebijakan pemerintah untuk meningkatkan pertumbuhan usaha, perekonomian dan lapangan kerja, antara lain melalui penyederhanaan setiap proses perizinan sebagaimana telah diatur oleh UU Cipta Kerja harus disegerakan. Sayang, semangat ini tidak dilaksanakan pada peraturan perundangan di tingkat K/L. Karena dalam kajian kami, izin impor barang komplementer Es Krim justru harus melalui proses yang panjang dengan tingkatan persyaratan yang banyak dan rumit, seperti layaknya impor daging hewan.
ADVERTISEMENT
Semangat menghapus syarat rekomendasi impor (Kemenperin) diganti dengan rekomendasi dari Kementan dengan syarat dan proses yang lebih ruwet serta membingungkan investor tidak perlu diberlakukan karena pada akhirnya justru sangat memberatkan dunia usaha dan terkesan berlebihan. Modernisasi proses perizinan dengan digitalisasi baru pada sisi hilir, sedangkan di sisi hulu pada data input masih dilakukan secara manual yang rumit dan penuh “pungutan”.
Akhir kata, semua peraturan perundangan terkait dengan dunia usaha di semua K/L (misalnya terkait rekomendasi Kemenperin atau Kementan, seperti SRP) harus dikaji ulang. Hal ini perlu dilakukan untuk menilai apakah keberadaan UUCK dan peraturan turunan di berbagai K/L itu bermanfaat untuk publik dan dunia usaha atau tidak.