Konten dari Pengguna

UU Cipta Kerja dan Delisting FABA Sebagai Limbah B3

Agus Pambagio
Pemerhati kebijakan publik dan lingkungan.
31 Desember 2020 10:36 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Agus Pambagio tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sejumlah buruh yang tergabung dalam Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI) melakukan aksi unjuk rasa menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja di kawasan Patung Kuda, Jakarta, Senin (16/11).  Foto: Hafidz Mubarak A/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Sejumlah buruh yang tergabung dalam Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI) melakukan aksi unjuk rasa menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja di kawasan Patung Kuda, Jakarta, Senin (16/11). Foto: Hafidz Mubarak A/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
UU No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja dengan berbagai kekurangannya sudah disahkan ada tanggal 5 Oktober 2020 oleh DPR-RI dan diundangkan pada tanggal 2 Nopember 2020 oleh pemerintah. UU CK ini dibuat dengan tujuan untuk menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan investasi asing dan domestik dengan mengurangi berbagai persyaratan peraturan untuk izin usaha dan pembebasan lahan. Saat ini UU CK masih menanti selesainya puluhan Peraturan Pemerintah (PP) dan juga ratusan atau bahkan ribuan Peraturan Menteri (PM), dan saat ini sedang masuk pada tahap menerima masukkan atau aspirasi publik.
ADVERTISEMENT
Salah satu sektor yang paling berpengaruh dalam UU CK, selain masalah ketenagakerjaan, adalah sektor Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK). Ada satu jenis limbah yang sangat berpengaruh pada kelangsungan hidup investasi, namun limbah tersebut dimasukkan ke dalam kelompok limbah B3, yaitu Fly Ash Bottom Ash (FABA) atau limbah hasil pembakaran batubara di sistem pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Kita ketahui Bersama bahwa sebagian besar pembangkit kita masih menggunakan batubara sebagai energi primer hingga 30 tahun kedepan. Tanpa listrik yang memadai jangan harap investasi akan tumbuh. Lalu mengapa FABA?
FABA merupakan limbah hasil pembakaran batubara di pembangkit listrik yang seharusnya bukan limbah berbahaya dan beracun, hanya saja karena jumlahnya besar, mirip dengan seperti tailing hasil pertambangan mineral lainnya. Hanya karena jumlah yang sangat besar itu, maka oleh Kementerian LHK digolongkan sebagai limbah B3 seperti yang tercantum dalam lampiran PP No. 101 Tahun 2014 tentang Pengolahan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3). Konsekuensi dari itu, jika ingin mengolah lanjut FABA harus melalui prosedur perizinan yang sangat panjang, birokratis dan mahal (meskipun tarif aslinya sebenarnya tidak mahal).
ADVERTISEMENT
Masuknya FABA kedalam limbah B3 membuat investasi PLTU menjadi sangat mahal dan dalam perjalanannya selama ini menjadi incaran pemerasan oknum-oknum tertentu di daerah. Apalagi pusat pengolahan limbah B3 hanya ada di P. Jawa, sementara banyak PLTU berlokasi di luar Jawa.
Mahalnya biaya transportasinya (Rp. 1,2 juta/ton) terpaksa masuk dalam kalkulasi tarif dasar listrik (TDL) yang harus ditutup melalui subsidi APBN. Padahal berdasarkan uji TCLP dan LD 50, FABA bukan limbah B3. Selain FABA yang akan dikeluarkan dari lampoiran PP No. 101 Tahun 2014 adalah limbah nikel, dan baja. Mereka tetap limbah tetapi bukan limbah B 3.
Proses Delisting FABA
Bongkahan batu bara yang mencemari kawasan pantai di Desa Peunaga Rayeuk, Aceh, Rabu (27/11). Foto: ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas
Limbah B3 beracun adalah Limbah yang memiliki karakteristik beracun berdasarkan uji penentuan karakteristik beracun melalui TCLP, Uji Toksikologi LD50, dan uji sub-kronis. Jadi semua material yang ada di lampiran PP No. 101 Tahun 2014 merupakan limbah B 3. Namun jika TCLP dan LD 50nya tidak melewati batas yang ditentukan sebagai limbah B 3, maka limbah tersebut harus di delisting atau dihapuskan dari daftar limbah B3.
ADVERTISEMENT
Sejalan dengan semangat pada UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang telah merevisi UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (LH), maka pelaksanaannya harus diatur melalui PP dan kemungkinan beberapa PM. Untuk itu dalam pelaksanaan UU CK perlu disusun Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang merupakan Omnibus PP dengan tujuan untuk merevisi pasal-pasal yang dipandang tidak membahayakan lingkungan hidup akan tetapi berakibat biaya tinggi pada industri yang bersangkutan, dan dapat berakibat menghalangi pengembangan usaha dan investasi.
Sesuai pembahasan dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, FABA kemudian limbah besi baja dan nikel akan dikeluarkan dari daftar limbah B3. Kalau ini terjadi, maka akan banyak keuntungan bagi investor ketenagalistrikan, industri baja dan sebagainya yang selama ini terganggu dengan berbagai pungutan yang dilakukan oleh oknum-oknum berseragam maupun tidak berseragam.
ADVERTISEMENT
Biaya operasi PLTU melonjak karena harus terus menyediakan lahan untuk penimbunan FABA dan biaya transportasi mengangkut FABA ke tempat pengolahan limbah di P. Jawa yang mahal. Belum lagi upaya kriminalisasi oleh oknum aparat terkait timbunan FABA disekitar PLTU yang dianggap melanggar UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Lingkungan Hidup dan PP No. 101 Tahun 2014. Begitupun dengan industri baja Indonesia yang tertekan karena mahalnya bahan baku impor, sementara bahan baku dari besi baja bekas tidak boleh digunakan karena digolongkan sebagai limbah B3.
Saat ini penyusunan berbagai PP, termasuk PP LHK Omnibus, sedang berlangsung dalam tahap konsultasi publik atau serap aspirasi publik oleh Kementerian Koordinator Perekonomian. Proses ini akan berlangsung sesuai jadwal hingga tanggal 10 Januari 2021. Setelah itu akan dilakukan proses pembahasan antar kementerian atau PAK dan dilanjutkan dengan proses harmonisasi RPP di Kementerian Hukum dan HAM. Rencananya semua RPP dari UU No. 11 Tahun 2020 Tentang CK akan selesai sekitar bulan Maret 2021. Mari kita tunggu dengan harap-harap cemas.
ADVERTISEMENT
Langkah Pemerintah
Munculnya UU CK merupakan sebuah keniscayaan bagi penanganan FABA karena sebelumnya, usulan supaya FABA dan beberapa komponen lain seperti limbah besi baja dan nikel dikeluarkan dari lampiran PP No. 101 Tahun 2014 sulit dilakukan. Jika nanti dikabulkan sehingga FABA, limbah besi dan limbah nikel dapat dikeluarkan dari daftar limbah B3, dipastikan sektor industri ketenagalistrikan, industri besi baja dan industri berbahan dasar nikel akan berkembang pesat serta dapat bersaing dengan industri sejenis dari negara lain. Selain itu hilangnya FABA dari daftar limbah B3 akan mempercepat proses elektrifikasi di Indonesia.
Industri konstruksi dalam negeri juga akan maju pesat karena harga besi baja turun. Terima kasih kepada Kementerian LHK yang sudah bersedia memfasilitasi kepentingan publik demi Indonesia yang sejahtera dan maju. Mari kita tunggu munculnya PP Tentang Lingkungan Hidup yang akan mengatur jalannya UU CK secepatnya.
ADVERTISEMENT
Salam AGUS PAMBAGIO (Pemerhati Kebijakan Publik dan Perlindungan Konsumen).