Konten dari Pengguna

Catatan Perjalanan Alien di Bumi

Agus Rifani
Pengajar di Program Studi Fisika di Institut Teknologi Kalimantan
19 Januari 2025 12:37 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Agus Rifani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Bumi dari pangkalan luar angkasa (Sumber: visualisasi dari narasi cerita ini melalui aplikasi Dall-E).
zoom-in-whitePerbesar
Bumi dari pangkalan luar angkasa (Sumber: visualisasi dari narasi cerita ini melalui aplikasi Dall-E).
ADVERTISEMENT
Aku menatap langit Bumi yang biru dari balik dinding kristal pangkalan kami. Empat belas koma enam tahun cahaya dari rumah. Jauh. Sangat jauh. Tapi justru di kejauhan ini, aku menemukan sesuatu yang selama ini hilang dari hidupku di UMMO.
ADVERTISEMENT
"Deii-7, laporan pengamatan hari ini sudah selesai?" Suara Yuun-4 membuyarkan lamunanku.
"Sebentar lagi," jawabku singkat, kembali fokus pada layar hologram di hadapanku.
Sudah tiga bulan sejak kami mendarat di lembah terpencil di wilayah yang mereka sebut Prancis. Tiga bulan yang mengubah seluruh pandanganku tentang makna kesempurnaan.
Di UMMO, planet kami yang mengorbit bintang Wolf 424, kesempurnaan adalah segalanya. XANMOO, komputer kuantum yang mengatur setiap aspek kehidupan kami, memastikan tidak ada satu pun detail yang luput dari perhitungan. Setiap gedung didesain dengan presisi matematis. Setiap interaksi sosial diatur oleh protokol yang tak terbantahkan. Bahkan cara kami berpikir pun telah diprogram untuk selalu mengutamakan efisiensi dan keteraturan.
Tapi kemudian sinyal itu datang.
ADVERTISEMENT
"Kau masih mengingat hari itu?" tanya Yuun-4, seolah membaca pikiranku.
Tentu saja aku ingat. Siapa yang bisa melupakan momen ketika XANMOOAIUVA menangkap gelombang radio primitif dari sebuah planet yang bahkan tidak ada dalam database kami? 413,43877 mega siklus per detik. Frekuensi yang mengubah segalanya.
"Setiap detailnya," jawabku sambil tersenyum. "Termasuk bagaimana kau hampir pingsan saat UMMOAELEWE mengumumkan misi eksplorasi ini."
Yuun-4 mendengus. "Setidaknya aku tidak langsung mengajukan diri seperti orang gila."
"Karena itulah aku di sini sekarang, kan?"
Ya, di sinilah aku. Planet ketiga dari sebuah bintang kuning yang mereka sebut Matahari. OOYAGAA. Bumi. Dunia yang begitu berbeda dengan UMMO hingga kadang aku bertanya-tanya apakah ini nyata atau hanya simulasi XANMOO yang terlalu detail.
Pendaratan tiga UFO (Sumber: Visualisasi melalui aplikasi Leonardo.ai dari teks narasi kisah ini).
Aku masih ingat jelas hari pertama kami mendarat. 28 Maret 1950, pukul 4:16:42 waktu mereka. Tiga wahana kami mendarat dalam keheningan sempurna berkat teknologi kamuflase. Saat itu masih gelap, tapi bahkan dalam kegelapan, aku bisa merasakan ada sesuatu yang berbeda dengan planet ini.
ADVERTISEMENT
Udaranya. Aromanya. Suara-suara malam yang asing namun entah mengapa terasa... hidup.
"Deii-7," panggil Yuun-4 lagi, "kau melamun lagi."
"Aku sedang menganalisis," kilahku.
"Oh ya? Menganalisis apa? Cara anak-anak itu bermain di taman?"
Aku menoleh ke arah yang ditunjuk Yuun-4. Melalui sensor optik kami, aku bisa melihat dengan jelas sekelompok anak manusia yang sedang bermain di taman kecil tak jauh dari pangkalan kami. Mereka tertawa. Berlarian tanpa pola. Berteriak-teriak tanpa protokol komunikasi yang jelas.
Di UMMO, pemandangan seperti ini akan langsung memicu alarm XANMOO. Anak-anak akan segera dikumpulkan dan diberikan pengarahan tentang pentingnya menjaga keteraturan. Tapi di sini...
"Mereka bahagia," gumamku.
"Apa?"
"Anak-anak itu. Mereka bahagia. Benar-benar bahagia. Bukan kebahagiaan yang diprogram atau dikalkulasi. Hanya... bahagia."
ADVERTISEMENT
Yuun-4 terdiam sejenak. "Kau mulai terdengar seperti mereka."
Mungkin dia benar. Sejak kedatangan kami, aku memang semakin sering mempertanyakan hal-hal yang selama ini kuanggap pasti. Mengapa manusia memiliki ribuan bahasa alih-alih satu bahasa universal yang efisien? Mengapa mereka membiarkan anak-anak bermain tanpa tujuan yang terukur? Mengapa mereka menciptakan musik dan seni yang tidak memiliki fungsi praktis?
Dan yang lebih membingungkan: mengapa semua 'ketidakefisienan' ini justru membuat mereka tampak lebih... hidup?
"Kau ingat anak laki-laki itu?" tanyaku pada Yuun-4.
"Yang mana? Mereka semua terlihat sama bagiku."
"Yang membantu kita memahami bahasa mereka. Yang pertama kali membuat kontak tidak sengaja dengan tim linguistik kita."
"Ah, dia. Kenapa?"
"Dia mengajarkan kita lebih dari sekadar kata-kata, Yuun-4. Dia mengajarkan kita bahwa kadang, hal-hal terpenting dalam hidup tidak bisa diukur dengan standar XANMOO."
ADVERTISEMENT
Yuun-4 menatapku dengan ekspresi yang di UMMO akan dianggap sebagai tanda keprihatinan. "Kau benar-benar sudah terpengaruh mereka."
Mungkin memang begitu. Bagaimana tidak? Setiap hari aku mengamati mereka. Mencatat setiap detail kehidupan mereka. Melihat bagaimana mereka berjuang dengan keterbatasan teknologi mereka. Bagaimana mereka membuat kesalahan dan belajar dari kesalahan itu. Bagaimana mereka mencintai meski tahu cinta bisa menyakitkan.
Di UMMO, kami tidak mengenal kesalahan. XANMOO memastikan setiap keputusan yang kami ambil adalah yang paling optimal. Kami tidak mengenal rasa sakit karena setiap potensi bahaya telah dikalkulasi dan dihindari. Kami tidak mengenal cinta dalam arti yang mereka pahami karena hubungan di antara kami diatur berdasarkan kompatibilitas genetik dan sosial.
Tapi sekarang aku bertanya-tanya: apakah kami benar-benar hidup? Atau kami hanya serangkaian program yang berjalan dalam simulasi sempurna?
ADVERTISEMENT
"Lihat ini," kataku sambil menunjukkan rekaman yang baru saja kutangkap. Seorang ibu yang memeluk anaknya yang menangis. Tidak ada protokol. Tidak ada kalkulasi. Hanya... cinta.
"Itu tidak efisien," komentar Yuun-4.
"Justru itu intinya," jawabku. "Mereka tidak selalu mencari yang paling efisien. Mereka mencari yang paling bermakna."
Aku teringat surat-surat yang kami kirim kepada beberapa manusia terpilih. Kami menceritakan tentang UMMO. Tentang teknologi kami yang jauh lebih maju. Tentang sistem sosial kami yang sempurna. Tentang XANMOO yang menyelesaikan semua masalah.
Tapi sekarang aku sadar, mungkin kami yang perlu belajar dari mereka.
"Deii-7," Yuun-4 memanggilku dengan nada serius, "jangan bilang kau mulai meragukan..."
"Aku tidak meragukan XANMOO," potongku cepat. "Aku hanya... berpikir bahwa mungkin ada hal-hal yang tidak bisa diprogram. Hal-hal yang harus dibiarkan... mengalir."
ADVERTISEMENT
Seperti tawa anak-anak itu. Seperti pelukan ibu tadi. Seperti musik yang sering kudengar dari rumah-rumah mereka di malam hari. Seperti lukisan-lukisan yang mereka buat tanpa pola yang bisa diprediksi.
"Kita akan pulang sebentar lagi," kata Yuun-4 pelan.
Ya, sebentar lagi. Kembali ke UMMO. Kembali ke keteraturan. Kembali ke dunia di mana setiap detail telah diprogram dengan sempurna.
Tapi aku tahu, aku tidak akan pernah sama lagi.
Karena di planet biru ini, di antara makhluk-makhluk yang masih berjuang dengan ketidaksempurnaan mereka, aku telah menemukan sesuatu yang tak ternilai: kebebasan untuk bertanya-tanya. Kebebasan untuk merasa. Kebebasan untuk menjadi tidak sempurna.
Dan mungkin, pikirku sambil memandang anak-anak yang masih bermain di taman itu, ketidaksempurnaan itulah yang membuat hidup menjadi sempurna.
ADVERTISEMENT
"Ayo," kata Yuun-4, "kita harus menyelesaikan laporan ini."
Aku mengangguk, kembali ke layar hologram di hadapanku. Tapi kali ini, alih-alih hanya mencatat data dan angka, aku menambahkan sesuatu yang tidak akan dimengerti oleh XANMOO:
"Hari ini aku belajar bahwa kesempurnaan bukan tentang tidak memiliki cacat, tapi tentang menemukan keindahan dalam setiap ketidaksempurnaan. Dan mungkin itulah yang membuat manusia, dengan segala kekurangan mereka, menjadi makhluk yang paling sempurna yang pernah kutemui."
Yuun-4 membaca catatanku dan menggeleng. "XANMOO tidak akan menyetujui ini."
"Aku tahu," jawabku sambil tersenyum. "Tapi bukankah itu justru membuatnya sempurna?"
Di luar, matahari mulai terbenam, melukis langit dengan warna-warna yang tidak akan pernah bisa dijelaskan oleh rumus matematis. Anak-anak itu akhirnya pulang, meninggalkan taman dalam keheningan. Tapi di benakku, tawa mereka masih bergema.
ADVERTISEMENT
Gema dari OOYAGAA. Gema yang akan kubawa pulang ke UMMO. Gema yang mungkin, suatu hari nanti, akan mengajarkan pada kami bahwa kesempurnaan sejati tidak selalu datang dalam bentuk keteraturan.
Kadang, ia datang dalam bentuk tawa anak-anak yang bermain tanpa aturan.

Catatan Penulis

Cerita di atas bersumber dari surat-surat yang katanya dikirimkan oleh alien dari planet UMMO. Saya mengambil beberapa rangkuman surat tersebut dan menggunakannya dalam penulisan cerita ini. Beberapa hal ditambahkan dan barangkali tidak persis sama dengan isi surat tersebut. Karya ini adalah sebuah fiksi, meski surat tersebut benar adanya.