Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Dualisme Dosen-Pegawai
22 Februari 2024 17:35 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Agus Rifani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Beberapa hari ini (dari tanggal 20 Februari 2024) ramai tagar #JanganJadiDosen di platform X. Keresahan yang disuarakan para dosen berpusat pada dua masalah: menumpuknya beban kerja dan gaji yang rendah.
ADVERTISEMENT
Pendapatan Dosen
Saya sendiri melihat bagaimana seorang dosen yang masih CPNS harus menerima kenyataan mendapat gaji di bawah UMR (sebab 80%), padahal dia lulusan S2. Ternyata dosen memang dipandang juga sebagai pegawai. Buktinya gaji dia disamakan dengan pegawai golongan III lainnya. Sebagai informasi antara IIIa (lulusan sarjana) dan IIIb (lulusan magister) hanya selisih beberapa ratus ribu saja.
Lebih menyedihkan lagi, sebagai dosen, dia tidak mendapat tunjangan kinerja saat masih CPNS, sementara CPNS tenaga administrasi sudah mendapatkan tunjangan, sehingga mereka menerima dua kali gaji.
Dosen Sebagai Pendidik Profesional dan Ilmuwan
Rupanya dualisme tidak hanya terjadi dalam fisika, seperti sifat gelombang dan partikel yang mewujud pada objek kuantum, begitu pula pengajar di tingkat sarjana, kami adalah dosen sekaligus pegawai. Buktinya, selain menyusun Sasaran Kinerja Pegawai (SKP), kami juga menyusun Beban Kerja Dosen (BKD).
ADVERTISEMENT
Padahal kalau membaca UU Guru dan Dosen, maka disebutkan pertama kali bahwa dualismenya bukan dosen-pegawai, namun pendidik profesional dan ilmuwan.
Memang ada dosen yang bukan pegawai? Rasa-rasanya tidak ada, meski tidak tetap, mereka bakal disebut pegawai. Pengecualian barangkali pada dosen praktisi, mereka adalah dosen yang bukan pegawai, tetapi dosen yang juga praktisi. Namun dualisme mereka tidak tumpang-tindih. Saat di kampus, mereka dosen, saat di perusahaan, mereka adalah praktisi. Pembagiannya jelas.
Dualisme dosen dan pegawai juga memicu diskusi berkepanjangan, mengenai apakah dosen harus masuk pagi dan pulang sore sebagaimana halnya pegawai atau dapat masuk sesuai penugasan beban kerja sebagaimana halnya dosen.
Diskusi lain adalah mengenai apakah dosen berhak lembur. Suara di pojok sana bilang tidak boleh, pojok lain bilang boleh. Kemudian apakah dosen mendapatkan hak cuti 12 hari dalam setahun, ada yang bilang iya, ada yang tidak. Namun peraturan pemerintah, sepanjang yang saya tahu, menetapkan pegawai berhak atas cuti tahunan. Pada pendekatannya, penyusun aturan barangkali memandang dosen adalah pegawai pemerintah yang memiliki tugas tridarma.
ADVERTISEMENT
Sertifikasi Kompetensi
Kehebohan ini berlanjut pada pandangan bahwa dosen adalah pekerja fungsional, yaitu ia memiliki fungsi spesifik dengan kompetensi khusus. Masalahnya, penyusun kurikulum tingkat magister tidak pernah mewadahi kompetensi tersebut, hanya bidang ilmu saja.
Akibatnya, lulusan magister yang diterima sebagai pegawai (yaitu dosen tadi) harus melalui proses tambahan supaya dapat berfungsi (baca: mendapatkan fungsional). Kemudian melalui proses lain lagi agar berkompetensi (baca: sertifikasi kompetensi) yaitu proses supaya eligible dan lulus sertifikasi dosen.
Beberapa tahun lalu, pada pegawai selain dosen (tenaga administrasi) tidak ada hal seperti itu, namun belakangan ini dengan semangat transformasi ke jabatan fungsional, maka pegawai yang tadinya saat mendaftar dan diterima kerja sudah dianggap layak dan berkompeten, kini mereka juga seperti dosen, dianggap belum layak dan harus melalui tes kompetensi.
ADVERTISEMENT
Saya dengar saat ini tengah disusun undang-undang guru dan dosen yang baru. Semoga permasalahan di atas dapat terselesaikan dalam peraturan itu.