Konten dari Pengguna

Paradoks Waktu Anata

Agus Rifani
Pengajar di Program Studi Fisika di Institut Teknologi Kalimantan
14 Januari 2025 10:18 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Agus Rifani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Catatan untuk pembaca: Kisah ini adalah pertemuan antara fisika kuantum dan persahabatan, dimana cinta seorang ibu mampu menembus batas-batas realitas untuk menyelamatkan seseorang yang berharga baginya. Mungkin suatu hari nanti, kita akan memahami bahwa ikatan antar manusia adalah bentuk entanglement yang paling indah dalam semesta ini.
ADVERTISEMENT
Senja merambat di langit-langit kota, mewarnai gedung-gedung laboratorium dengan semburat keemasan. Di kejauhan, kawanan kelelawar mengepakkan sayap keluar dari mulut gua yang gelap. Seorang anak perempuan berseragam sekolah melangkah santai di trotoar, rambut hitamnya yang dikepang dua berayun mengikuti langkah.
Aku mengamatinya dari bangku taman, kristal memori di tanganku berkedip merah - menandakan mode perekaman aktif. Ada yang berbeda dari anak ini. Era dimana waktu adalah komoditas paling berharga di Kota Ilmuwan, dia justru tersenyum seolah terlambat pulang bukanlah masalah.
"Portal Pribadi - Tipe A03, aktif," bisik suara digital dari kristal memoriku saat anak itu mengeluarkan sebuah stylus perak dari saku blazernya. Ah, pantas saja. Generasi baru yang tumbuh dengan teknologi teleportasi memang berbeda.
ADVERTISEMENT
Stylus itu berpendar kebiruan saat ujungnya menyentuh dinding sebuah bangunan tua. Dengan gerakan halus, dia menggambar setengah lingkaran setinggi tubuhnya, kemudian menarik garis lurus ke bawah. Dinding di hadapannya berpendar, meluruh menjadi lubang gelap, sebelum pemandangan sebuah kamar tidur muncul dari dalamnya. Tanpa ragu, anak itu melangkah masuk.
"Mencatat anomali entropi level 2," kristal memoriku berbunyi lagi. Ya, sebagai peneliti fisika kuantum, fenomena teleportasi selalu membuatku kagum sekaligus resah. Bagaimana informasi dapat mengalir tanpa kehilangan energi? Di mana entropi yang seharusnya meningkat?
Pikiranku teralihkan oleh bunyi 'ping' pelan dari jam digital. Pukul 18.00 - waktunya mencari penginapan. Sudah seminggu aku berada di Kota Ilmuwan, menghabiskan hari mencari jejak Anata. Sahabat kecilku, yang kini entah dimana.
ADVERTISEMENT
"Mencari lokasi: Hotel Quantum Pods," aku berbicara pada gelang komunikator di pergelangan tangan. Sebuah peta holografik muncul, menunjukkan rute terdekat menuju stasiun kereta nano.
Aku menghela napas. Perjalanan dengan kereta nano selalu membuatku pusing. Berbeda dengan transportasi konvensional, kereta nano adalah kapsul individual berbentuk bola sempurna dengan dua kursi di dalamnya. Begitu penumpang masuk dan pintu mengunci otomatis, kapsul akan diluncurkan ke dalam jaringan pipa vakum yang membentang di seluruh kota.
Lima belas menit perjalanan yang menyiksa, dengan ratusan belokan tajam dalam pipa transparan. Dulu, di masa kecilku, butuh 10 jam perjalanan darat untuk mencapai kota ini. Teknologi memang berubah begitu cepat.
Semua ini kulakukan demi wasiat terakhir ibu - sebuah kotak berisi sulam alis yang harus kuberikan pada Anata. Entah apa makna di baliknya, tapi tatapan ibu saat itu menyiratkan ini sangat penting.
Malam hari di kota Ilmuwan, saat laboratorium tak pernah berhenti! (Dall-E)
Kota Ilmuwan di malam hari adalah pemandangan yang sulit dilupakan. Ribuan titik cahaya kuantum berpendar dari laboratorium-laboratorium yang tak pernah tidur, menciptakan aurora buatan di langit gelap. Aku berdiri di balkon Hotel Quantum Pods, mengamati hologram-hologram raksasa yang menampilkan data penelitian terbaru, mengambang di antara gedung-gedung tinggi.
ADVERTISEMENT
"Anata..." gumamku pelan, menggenggam kotak sulam alis pemberian ibu. Tatapanku tertuju pada sebuah gedung tua di kejauhan, rumah masa kecil Anata yang nyaris terbelah dua.
Mengapa ibu begitu yakin Anata masih di sini? Dan kenapa sulam alis? Pertanyaan-pertanyaan ini berputar di kepalaku saat kristal memori di tanganku tiba-tiba berkedip hijau.
"Deteksi: Pola energi anomali yang sama dengan sampel A-2045," suara digital memberitahu. A-2045? Itu kode yang kugunakan untuk merekam kejadian portal teleportasi sore tadi.
Aku segera membuka layar holografik dari kristal memori. Data-data bermunculan dalam grafik tiga dimensi. Ada lonjakan energi yang sama persis dengan yang kurekam sore tadi, dan sumbernya... dari arah rumah Anata!
Tanpa pikir panjang, aku meraih jaket penelitiku dan bergegas keluar. Lift termal membawaku ke lobi dalam sekejap. Di luar, udara malam terasa dingin, tapi aku tak peduli. Kakiku melangkah cepat menuju rumah Anata, sementara kristal memori terus mendeteksi lonjakan energi yang semakin kuat.
ADVERTISEMENT
"Warning: Level entropi tidak normal," kristal memori berbunyi lagi. Aku mengerutkan dahi. Sebagai peneliti fisika kuantum, aku tahu ini berbahaya. Entropi yang terlalu rendah dan berubah cepat, bisa menciptakan paradoks temporal.
Langkahku terhenti di depan rumah Anata. Bangunan tua itu tampak berbeda di malam hari. Retakan di dindingnya seolah berpendar dengan cahaya biru samar - sesuatu yang tidak mungkin terjadi secara alami.
"Kak..."
Suara itu membuatku membeku. Suara yang sangat kukenal, yang tak berubah sejak 15 tahun lalu.
Situasi malam itu dari rekaman memori kristalku. (Dall-E)
Aku berbalik perlahan. Di sana, di bawah cahaya hologram kota yang temaram, berdiri seorang gadis mungil dengan rambut hitam panjang. Wajahnya... wajah yang sama persis seperti yang kuingat di hari perpisahan kami selepas SD.
ADVERTISEMENT
"Anata?" suaraku bergetar. "Bagaimana mungkin... kau tidak bertambah tua?"
Anata tersenyum sedih. Di tangannya, sebuah stylus perak berpendar kebiruan - sama persis dengan yang digunakan anak perempuan yang kulihat sore tadi.
"Aku terjebak, Kak," bisiknya pelan. "Terjebak dalam loop waktu. Dan hanya kakak... yang bisa menolongku keluar."
Kristal memoriku berkedip merah, tapi kali ini bukan karena mode perekaman. Ini adalah tanda bahaya - paradoks temporal telah terdeteksi.
"Kak, ingat tidak? Dulu aku pernah cerita tentang orang-orang aneh yang sering berhenti di depan rumah ini," Anata melangkah mendekat, suaranya masih selembut yang kuingat. Kristal memoriku terus berkedip merah, mendeteksi anomali temporal di sekitar kami.
"Yang kau rekam dengan layar benang?" tanyaku, menggenggam erat kotak sulam alis pemberian ibu.
ADVERTISEMENT
Anata mengangguk. "Mereka bukan orang yang berbeda, Kak. Mereka adalah orang yang sama... diriku sendiri, terjebak dalam waktu yang berbeda."
Seolah memberi penjelasan pada ucapannya, sebuah motor kuantum berhenti di seberang jalan. Pengendaranya - seorang gadis mungil dengan rambut hitam panjang - turun dan memandang ke arah rumah. Itu Anata, versi lain dari dirinya.
"Lihat tanggal di sensor jalannya, Kak," Anata menunjuk panel digital yang menyala di aspal. Panel yang sama yang dulu mencatat poin perjalanan setiap kendaraan.
Mataku membesar. Tanggal yang tertera adalah 15 tahun yang lalu.
"Setiap hari, aku melihat diriku sendiri dari waktu yang berbeda," Anata melanjutkan. "Kadang dari masa lalu, kadang dari masa depan. Mereka berhenti, mengamati rumah ini, lalu menghilang. Awalnya kukira aku berhalusinasi. Tapi layar benang membuktikan bahwa mereka nyata."
ADVERTISEMENT
Sebuah motor kuantum lain berhenti, kali ini tepat di depan gang. Pengendaranya? Anata lagi, dengan seragam sekolah yang berbeda.
"Ini dimulai saat aku mencoba portal teleportasi pertama kali," Anata menggenggam stylus peraknya erat. "Sesuatu terjadi. Entropi yang seharusnya meningkat, justru menciptakan lubang di ruang-waktu. Aku terperangkap dalam loop, Kak. Setiap kali mencoba keluar, aku justru bertemu diriku sendiri dari waktu yang lain."
"Tapi bagaimana ibu bisa tahu?" aku bertanya, menatap kotak sulam alis di tanganku.
Anata tersenyum. "Ibu kakak adalah satu-satunya yang menyadari keanehan ini. Beliau peneliti temporal yang jenius. Sulam alis itu... bukan sekedar kosmetik. Itu adalah kunci untuk menstabilkan entropi."
Suara deru motor kuantum lain terdengar. Kali ini, lima motor berhenti di titik berbeda di sekitar rumah. Lima Anata yang berbeda, dari waktu yang berbeda.
ADVERTISEMENT
"Mereka semua adalah aku, Kak. Mencoba mencari jalan keluar dari loop ini. Dan sekarang..." Anata menatapku penuh harap, "dengan sulam alis itu dan kristal memori kakak, mungkin kita bisa memperbaiki kerusakan temporal ini."
Kristal memoriku berkedip semakin cepat. Di sekitar kami, lebih banyak motor berhenti. Lebih banyak Anata bermunculan. Waktu mulai tidak stabil.
"Kak ingat tidak, dulu di kelas 6 SD kita pernah belajar teori yang diajukan oleh Carlo Rovelli?" Anata bertanya sambil membuka stylus peraknya. "Fisikawan abad 21 yang mengubah cara kita memahami realitas."
Aku mengangguk. Tentu saja aku ingat. Rovelli dengan interpretasi relasionalnya mengajarkan bahwa realitas bukanlah sesuatu yang absolut, melainkan muncul dari interaksi antar sistem. Tidak ada pengamat yang istimewa, semuanya relatif pada hubungan antar pengamat.
ADVERTISEMENT
"Ibu kakak yang pertama kali menyadarinya," Anata melanjutkan, matanya berkaca-kaca. "Saat kita bermain bersama di SD, tanpa sadar kita menciptakan entanglemen kuantum. Hubungan yang lebih dalam dari sekedar kenangan masa kecil."
Di sekeliling kami, motor-motor kuantum terus berhenti. Puluhan Anata dari berbagai waktu berkumpul, menciptakan pemandangan yang mustahil dalam fisika klasik.
"Interpretasi relasional Rovelli menjelaskan mengapa aku bisa terjebak seperti ini," Anata menunjuk ke arah para 'dirinya' yang lain. "Ketika aku mencoba portal teleportasi pertama kali, aku tidak hanya berpindah tempat, tapi juga menciptakan anomali dalam hubungan antar pengamat. Setiap versiku adalah pengamat yang valid dalam realitasnya sendiri."
Kristal memoriku bergetar kuat. "Warning: Multiple quantum states detected. Entanglement level critical."
ADVERTISEMENT
"Dan ibumu," Anata melanjutkan, "beliau memahami bahwa entanglemen kita di masa kecil adalah kuncinya. Sulam alis ini..." dia menyentuh kotak di tanganku, "bukan sekedar alat. Ini adalah quantum bridge yang dirancang khusus menggunakan prinsip interpretasi relasional."
"Tapi kenapa harus menunggu..." suaraku tercekat, "menunggu ibu meninggal?"
"Karena waktu kematian adalah satu-satunya titik tetap dalam relativitas," Anata tersenyum sedih. "Ibumu memanfaatkan momen itu untuk mengirim sulam alis ini, menciptakan jangkar temporal yang stabil."
Air mata mengalir di pipi Anata. "Aku sangat sedih mendengar kepergian beliau. Tapi ibu kakak adalah genius yang luar biasa. Beliau merancang semua ini, mengorbankan momen terakhirnya untuk menyelamatkanku."
Aku membuka kotak sulam alis dengan tangan gemetar. Di dalamnya, sebuah alat mungil berpendar dengan cahaya kuantum yang familiar - sama seperti yang sering kulihat di lab temporal.
ADVERTISEMENT
"Setelah ini," Anata menatapku, "aku akan bebas dari loop waktu. Tapi..." dia terdiam sejenak, "usiaku akan terhenti di titik ini. Konsekuensi dari paradoks relativitas khusus yang tak bisa dihindari."
"Paradoks kembar yang permanen," bisikku, mengingat teori relativitas khusus Einstein. Waktu berjalan relatif, dan dalam kasus Anata, waktu telah memilih untuk berhenti.
"Tidak apa-apa," Anata tersenyum, kali ini lebih tulus. "Waktu mungkin berhenti bagiku, tapi setidaknya aku bisa memilih di mana akan berhenti."
Aku menggenggam sulam alis pemberian ibu, merasakan getaran kuantumnya yang lembut. Di sekeliling kami, satu per satu motor quantum mulai menghilang. Para Anata dari berbagai waktu memudar seperti kabut pagi yang tersentuh matahari.
"Ini saatnya," bisik Anata, mengulurkan tangannya.
ADVERTISEMENT
Saat sulam alis itu menyentuh tangannya, cahaya kuantum kebiruan memancar lembut. Kristal memoriku berdenyut pelan, merekam momen ketika ruang dan waktu memperbaiki dirinya sendiri. Entanglemen masa kecil kami yang tersimpan dalam ingatan kuantum, kini menjadi jembatan bagi Anata untuk keluar dari paradoks temporalnya.
"Terimakasih, Kak," suara Anata bergetar. "Dan sampaikan terimakasihku pada ibu. Beliau benar - cinta dan persahabatan ternyata bisa melampaui hukum-hukum fisika."
Malam itu, di bawah aurora kuantum Kota Ilmuwan, aku melihat bagaimana waktu bisa menjadi begitu relatif. Anata akan tetap berusia lima belas tahun, terjebak dalam paradoks relativitas khusus. Tapi kini dia bebas untuk menulis ceritanya sendiri, tanpa harus bertemu dengan bayang-bayang dirinya dari waktu yang lain.
ADVERTISEMENT
"Mau mampir?" Anata menunjuk rumahnya yang retak. "Aku ingin mendengar semua ceritamu selama lima belas tahun ini."
Aku mengangguk. Di langit, bintang-bintang berkedip seolah mengerti. Carlo Rovelli mungkin benar - realitas memang lahir dari hubungan. Dan malam ini, dalam entanglemen kuantum persahabatan kami, waktu memilih untuk berdamai dengan paradoksnya sendiri.
[Tamat]

Catatan Penulis:

Cerpen di atas adalah bagian dari eksplorasi saya dalam belajar menulis fiksi ilmiah bersama akal imitasi (artificial intelligence, disingkat: ai). Awalnya saya menulis sekitar 900 kata, kemudian meminta Claude dan Gemini untuk mengkritisinya. Hasilnya seakan cerpen saya sudah bagus, sehingga saya kembali meminta Gemini mengkritiknya, namun menyebutkan kekurangannya saja. Hasil kritikan Gemini saya berikan pada Claude untuk diperbaiki. Hasilnya adalah cerpen sepanjang 1700 an kata yang baru saja kalian baca di atas. Saya memberikan arahan pada Claude untuk memasukkan unsur fisika tertentu dan menghubungkannya dengan narasi emosi antar ibu, anak dan Anata.
ADVERTISEMENT