Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Menakar Kebijakan Reformasi Sistem Kesehatan Nasional 2022 Bagi Daerah
30 Juni 2022 21:56 WIB
Tulisan dari Agus Samsudrajat S tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Secara bahasa “reformasi” diartikan sebagai perubahan secara drastis untuk perbaikan (bidang sosial, politik atau agama) dalam suatu masyarakat atau negara. Sudah lama permasalahan inkonsistensi dan kesenjangan kebijakan atau regulasi antar lembaga nasional ataupun dalam satu lembaga yang sama kerap membuat daerah dan publik bingung mewujudkan menjadi kebijakan daerah, meski setiap kebijakan itu dibungkus dengan kata “reformasi”. Salah satu contoh kebijakan ini tertuang dalam dokumen dengan judul "buku putih reformasi sistem Kesehatan Nasional (SKN)" yang diterbitkan dan dipublikasikan oleh Bappenas via instagram 19 maret 2022.
ADVERTISEMENT
Menariknya, jika kita mau cermati dokumen-dokumen kebijakan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Kementerian Kesehatan (Kemkes) 10-20 an tahun lalu, ada bagian yang cukup mencolok terlihat dalam reformasi SKN dari tahun ke tahun. Bagian penting itu adalah pada jenis tenaga kesehatan, khususnya "Sarjana Kesehatan Masyarakat" (SKM) di reformasi menjadi Kesehatan Masyarakat, tenaga kesehatan masyarakat, kemudian terakhir menjadi tenaga promosi kesehatan.
Selain pada jenis, juga terjadi pada data jumlah lulusan 3 tahun terakhir jenis tenaga promosi kesehatan yang tertulis hanya 82 lulusan. Padahal Bappenas dan Kemkes sudah lama dan banyak menggunakan lulusan SKM yang tersebar di berbagai perguruan tinggi, yang total jumlahnya hingga Juni 28 Juni 2022 via data resmi Kementerian Pendidikan ada 225 Program studi S-1 Kesehatan Masyarakat sejak era 1980-an. Bisa di bayangkan jumlah lulusanya jika setiap perguruan tinggi meluluskan 100 SKM setiap tahun maka sudah ada 22.500 lulusan SKM dengan berbagai peminatan. Padahal saat ini masih terus berkembang selain 7-8 peminatan didalam SKM itu sendiri selain perkembangan peminatan yang diijinkan menjadi program studi sendiri.
ADVERTISEMENT
Dokumen Bappenas perencanaan tenaga kesehatan 2005, analisis kewilayahan pembangunan kesehatan 2021, selain dalam dokumen Peraturan Menteri Kesehatan nomor 33/2015 yang merujuk kepada Keputusan Menteri Koordinastor Kesejahteran Rakyat 54/2013 dan beberapa jurnal kajian tenaga kesehatan sudah sangat lugas, tegas dan jelas, bahwa redaksinya sangat jelas tertulis “Sarjana Kesehatan Masyarakat” (SKM) adalah salah satu jenis tenaga kesehatan.
Artinya setelah undang-undang tenaga kesehatan 36/2014 diberlakukan, jejak redaksi Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM) masih ditemukan dalam dokumen kebijakan atau regluasi yang diterbitkan Bappenas dan Kemkes hingga tahun 2021. Uniknya sebagian jejak redaksi “SKM” diregulasi lain juga telah hilang atau tergantikan dengan redaksi “tenaga promosi kesehatan” di beberapa regulasi lainya seperti permenkes tentang Puskesmas tahun 2019 dan buku putih reformasi SKN 2022 Bappenas setelah hilangnya sarjana menjadi tenaga, ahli atau hanya kesehatan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Meskipun faktanya yang sudah terjadi dan masih terjadi, tenaga promkes di lingkungan Kemkes masih banyak diisi oleh jenjang pendidikan apa saja jika tidak ada SKM. Bahkan meskipun ada SKM, tidak sedikit posisi itu di isi oleh siapa saja yang jenjang pendidikanya bukan dari SKM atau asal ada orang. Belum sempat kebijakan SKM dalam SKN 10-20 tahun lalu terealisasi dengan baik, kini sudah banyak perubahan dalam perjalananya yang tidak konsisten dan komitmen dalam setiap jenjang regulasi.
Mungkin terkesan sepele, dengan adanya atau hilangnya kata “sarjana” digantikan kata lain, dihilangkan, apalagi berubah menjadi promosi kesehatan, tentu akan mengubah makna dan persepsi kebijakan Kebutuhan SKM menjadi yang bukan hanya SKM. Lalu bagaimana mungkin kita bisa mengejar target kebutuhan yang selalu berubah. Apa harus didukung, dikuti dan tidak boleh disampaikan ada kepentingan tertentu karena berubahnya redaksi kebutuhan jenis tenaga kesehatan khususnya SKM?. Menariknya, sesuai dokumen Bappenas, hanya SKM yang mengalami perubahan drastis terkait redaksi nama dalam perjalanan setiap kebijakan dan angka kebutuhanya.
ADVERTISEMENT
Tetapi bagi daerah yang menjunjung prinsip-prinsip dasar nilai Pancasila, dan faham dalam melihat masalah, data dan sejarah, tentu tidak akan mengikuti dan menerima mentah-mentah utuh kebijakan nasional terkait termasuk kebijakan reformasi SKN 2022. Kebijakan yang demikian itu menimbulkan kesenjangan, ketidakadilan, dan resiko konflik dan kebingungan dalam monitoring, implementasi dan evaluasi kebijakan. Selama ini tidak ada larangan dan hukuman bagi daerah yang berani memiliki kebijakan lebih baik dari kebijakan nasional yang pernah ada. Semoga kedepan konten reformasi SKN terbaru ini khususnya pada jenis tenaga kesehatan bisa dievaluasi dan direvisi segera, kalaupun tidak dengan kebijakan nasional, bisa dengan kebijakan daerah.
Mengingat kondisi kebijakan dan kebutuhan didaerah tidak sama persis dengan masalah kebijakan nasional, yang mungkin selama proses perumusan kebijakan itu ada hal-hal lain yang belum terlihat dan masuk yang pada akhirnya belum bisa mewakili kondisi disetiap daerah. Justru ada baiknya Nasional mengapresiasi dan menjadikan dasar kebijakan daerah yang menjunjung prinsip kesetaraan, keadilan sosial sesuai prinsip-prinsip Pancasila dalam reformasi SKN.
ADVERTISEMENT
Sehingga itulah alasan kenapa kebijakan nasional termasuk SKN harus disikapi lebih hati-hati untuk kebutuhan daerah. Bahkan tidak sedikit kebijakan nasional itu dibuat karena melihat atau merujuk keberhasilan dari kebijakan daerah atau biasa disebut dengan istilah dari kebijakan bottom-up menjadi sebuah kebijakan top-down.
Rekomendasi SKN 2022 ke SKD (Sistem Kesehatan Daerah)
Ada sebuah contoh bentuk kebijakan daerah yang lebih baik dari kebijakan nasional “reformasi SKN 2022” yaitu Kebijakan yang dibuat Pemerintah Kota Bandung. Bukti itu ada di instagram Pemerintah Kota Bandung yang mengumumkan perekrutan SKM bukan hanya unttuk tenaga promosi kesehatan tapi juga tenaga Epidemiolog dan Administrasi Kebijakan Kesehatan. Sedangkan dibeberapa kabupaten lain SKM juga juga menjadi tenaga Pembimbimbing K3, sanitasi atau kesehatan lingkungan dan tenaga gizi kesmas, selain punyuluh dan analis program kesehatan, merupakan sebuah wujud reformasi kebijakan yang lebih lengkap dari konten kebijakan reformasi SKN terabru. Kebijakan serupa juga sudah pernah dilakukan Kota Semarang, Jawa Timur, bahkan dalam rapat dengar pendapat DPR RI untuk menempatkan SKM sebagai tenaga kesehatan masyarakat di Desa/Kelurahan.
ADVERTISEMENT
Lebih bagus lagi, Jika daerah berani membuat kebijakan daerah bahwa SKM menjadi pendamping Desa/Kelurahan yang dibiayai oleh daerah untuk prioritas program kesehatan sebagaimana sejarah kebijakan pemenuhan kebutuhan SKM yang tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan 33/2015 dan rencana kebutuhan tenaga kesehatan Bappenas 2005, 2018 dan analisis kewilayahan Bappenas 2021.
Mengingat selain porsi anggaran kesehatan dalam Undang-Undang Kesehatan yang lebih besar dibebankan kepada daerah, kebijakan bidan desa sejauh ini belum sepenuhnya menjadi solusi terbaik desa, sehingga harus ada SKM untuk mempercepat target target program nasional yang akar permasalahanya ada pada integrasi dan kolaborasi antar sektor dan lingkungan di daerah selain masalah sosial yang perlu pendekatan intensif spesifik yang tidak bisa hanya sambilan.
ADVERTISEMENT
Belum lagi jika terjadi wabah penyakit menular dan keracunan makanan yang kebijakanya harus dilaporkan kurang dari 24 jam oleh petugas epidemiolog, siapa yang akan melakukan investigasi wabah dan sumber masalah kesehatan lain berbasis sosial dan lingkungan. Selain kondisi geografis wiliayah kerja di Puskesmas khususnya wilayah perbatasan dan pesisir saat ini, perlu waktu lebih dari 24 jam untuk sampai ke wilayah kerjanya. Jika hanya asal menempatkan orang di fungsi ini maka akibatnya masalah akan meluas dan menggangu sistem kesehatan dan kehidupan lain.
Jangan sampai Pemerintah sering gaungkan jargon kerjasama dan kolaboraksi mewujudkan kesehatan, hak berkumpul dan berserikat, tapi justru enggan mengakui secara jelas, enggan melibatkan, enggan memberikan payug hukum dan kebijakan/regulasi yang semakin baik dan jelas, baik secara individu maupun kelompok/organisasi yang setara. Barangkali opini pribadi ini bisa menjadi solusi dan kajian lanjutan dalam mewujudkan turunan konsep reformasi SKN di daerah sesuai prinsip-prinsip dasar Pancasila. Aamiin.
ADVERTISEMENT