Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Setahun Sudah, Masih Juga Soal Data dan Perilaku COVID-19
2 Maret 2021 11:37 WIB
Tulisan dari Agus Samsudrajat S tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pandemi COVID-19 masih menunjukkan angka ribuan per hari meskipun positive rate masih di atas 30%. Bahkan angka kematian yang dipublikasikan satgas nasional masih direntang 150-300an per hari di akhir bulan Februari 2021. Artinya sudah setahun lebih sejak kasus pertama di Cina, dan setahun di Indonesia kita masih dalam suasana COVID-19 yang belum terkendali secara konsisten hingga kini.
ADVERTISEMENT
Berbagai kebijakan nasional sudah diadopsi, dibuat lalu dimodifikasi hingga disampaikan dengan berbagai cara dan media. Meskipun inti kebijakan penanggulangan COVID-19 di belahan dunia sama, tapi tataran implementasi dan seni di setiap negeri termasuk RI memberikan warna tersendiri.
Khusus Indonesia, secara umum penanggulangan wabah COVID-19 masih belum terkendali. Apalagi standar minimal pemerintah untuk tes, trace, dan isolasi sulit kita lihat termasuk penerapan protokol (Penggunaan Masker, Jaga jarak & Cuci Tangan pakai Sabun) tidak konsisten terpublikasi terutama pada level Provinsi dan Kabupaten Kota. Bahkan info itu saat ini cenderung turun dan hilang.
Jika berbicara mengenai angka data COVID-19, seolah masalah ini sangat sulit atau memang dibuat sulit. Sehingga masalah data dan selisih angka COVID-19 yang jauh antara Nasional/Provinsi dan Kabupaten/Kota belum cukup satu tahun untuk membenahi dan memperbaikinya. Kemungkinannya antara memang belum dibuka, belum dilaporkan karena masalah teknis pelaporan, atau memang tidak dilaporkan sekaligus atau mengatur laporan data harian guna menjaga status zonasi dan besaran angka.
ADVERTISEMENT
Faktanya hasil temuan penulis di lapangan sejak awal COVID-19 masuk ke-Indonesia melalui data yang dirilis Provinsi dan Kabupaten/Kota, tidak semua kasus konfirmasi positif dan kematiannya dipublikasikan ke publik setiap hari sesuai waktu yang sudah terpublikasi. Menariknya hal ini juga menjadi perhatian rekan-rekan kawalcovid19.id yang ikut mengawal masalah data COVID-19, baik perbedaan atau selisih data yang selisihnya bisa sampai 48% per 28/02/2021 data pusat dengan Kabupaten/Kota. Meskipun beberapa temuan dan laporan kawalcovid19.id di satu daerah masih ada yang belum sesuai atau jauh lebih sedikit (masih ad selisih) dari data yang penulis amati dan temukan.
Masalahnya angka yang tidak diperbarui dengan baik ini adalah angka harian kematian dengan hasil positif COVID-19 selain jumlah kasus konfirmasi positif. Mengingat saat ini kita sedang berada di zaman yang sudah digital, cepat dan masyarakat sudah bisa langsung melihat, menghitung, dan menilai sendiri bagaimana kondisi data di lapangan dengan publikasi resmi di daerahnya, di setiap Kabupaten Kota/Provinsi dan Nasional.
ADVERTISEMENT
Masalah kepentingan data ini bisa mempengaruhi zonasi. Sedangkan zonasi menjadi acuan daerah terkait semua aktivitas sosial di daerah. Artinya masalah ini bisa menjadi peluang pencitraan politik bagi daerah, tetapi dampaknya justru akan merugikan semua sektor di daerah sendiri.
Negara lain seperi Arab Saudi, Australia, Malaysia, Singapura, Jepang, terlihat tidak ada masalah dengan data dan fokus konsisten kepada pencegahan dan penanggulangan. Indonesia masih memperlihatkan sendiri ke jagat maya termasuk dunia, dengan data-data yang terpublikasikan meskipun sudah setahun berlalu, masih saja terlihat kesulitan dalam merekap, menghitung dan menampilkan data ke publik secara harian. Sehingga upaya dan status terkait COVID-19 yang ada saat ini bisa dikatakan semu, palsu atau jauh lebih kecil dari keadaan yang sebenarnya. Hal ini bisa jadi kemungkinan yang membuat pandemi kita tidak kunjung selesai hinggai kini.
ADVERTISEMENT
Selain masalah data, adalah perilaku masyarakat kita juga sulit terpotret dengan baik. Hal ini banyak penolakan termasuk dari para tokoh masyarakat dan beberapa oknum pemerintah yang tidak atau kurang mendukung survei atau penelitian terkait penerapan protokol atau terkait COVID-19 lainya. Padahal perilaku masyarakat saat kondisi wabah, menjadi salah satu kunci keberhasilan pengendalian wabah.
Sejauh ini tidak mudah kita bisa melihat bagaimana potret tiap wilayah kementerian atau daerah, sejauh apa kepatuhan protokol COVID-19 selain tes, trace, isolasi dan vaksinasi yang dilakukan pemerintah setiap periode tertentu. Misal sejauh apa penerapan protokol tempat umum, tempat ibadah, tempat kerja, dan tempat lain, berapa persen yang masih mengikuti fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan anjuran pemerintah, disaat masih dalam situasi COVID-19. Data itu seharusnya menjadi pembelajaran, evaluasi dan informasi periodik yang harus dijaga agar mudah dilihat secara bersama, baik oleh pihak pemerintah maupun pihak masyarakat sebagai pelaku langsung.
Sebuah survei yang dirilis di instagram Satgas Nasional Satgascovid19.id dengan keterangan Kementerian Perhubungan pada bulan September 2020 dengan 90.967 sampel, menemukan pengemudi yang pakai masker hanya 57,58%, Penumpang yang jaga jarak, 49,88%, dan penumpang yang pakai masker 96,73%. Tetapi satgas perubahan perilaku memiliki hasil grafik pengamatan terbaru bahwa upaya penggunaan masker dan jaga jarak masyarakat pada tanggal 15-21 februari 2021 cenderung mengalami penurunan seperti awal pengamatan. Apalagi Ketua Satgas Nasional Prof. Wiku menyampaikan dalam channel youtube BNPB 18/02/2021 bahwa turunnya angka kesakitan dan kematian yang terjadi karena tes yang turun drastis setelah sempat mencapai rekor ketercapaian target WHO selama lima minggu berturut turut di minggu kedua Januari 2021.
ADVERTISEMENT
Maka tidak heran jika Survei saya dan tim, November 2020, menemukan fakta bahwa 44% masyarakat di salah satu Kabupaten memiliki tingkat kepercayaan yang rendah terhadap data COVID-19 yang dipublikasikan Pemerintah. Selain itu 74,1% responden yakin masih banyak tokoh yang tidak percaya COVID-19, dan ketika responden ditanya faktor apa saja yang membuat kasus COVID-19 tidak kunjung reda, sebagian besar responden (63,5%) menjawab kalau penyebabnya adalah masyarakat tidak percaya COVID-19. Apalagi Survei BPS september 2020 menyatakan bahwa tokoh masyarakat merupkan media yang cukup populer untuk informasi protokol COVID-19 (40,7%) setelah media sosial dan Pemerintah.
Akan lebih baik jika kita mau evaluasi kenapa kita tidak bisa sabar dan konsisten untuk menurunkan wabah selama ini, seperti dibeberapa negara lain yang juga sudah vaksin lebih, tapi masih tetap sabar dan konsisten menerapkan protokol kesehatan dan tes secara ketat dimanapun, meskipun angka kematian dan kasus positifnya terkendali dan jauh lebih kecil dari Indonesia. Bagaimana mereka bisa menjaga kualitas data dan perilaku sehingga wabah COVID-19 ini bisa terkendali. Semoga kita bisa lebih baik segera, meskipun tidak sebaik negara-negara lain yang lebih dulu. Aamiin.
ADVERTISEMENT