Amandemen UUD 1945 Dibuat untuk 'Diingkari'

Agus Sarkoro
Auditor KAP, Ketua DeWas Yayasan Al-Ikhlas Tarakan
Konten dari Pengguna
24 Agustus 2021 17:49 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Agus Sarkoro tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
UUD 1945 & GBHN (Sumber: Agus Sarkoro)
zoom-in-whitePerbesar
UUD 1945 & GBHN (Sumber: Agus Sarkoro)
ADVERTISEMENT
Wacana perlunya amandemen konstitusi untuk menetapkan pokok-pokok haluan negara telah disampaikan oleh Ketua MPR, Bambang Soesatyo pada Dalam Sidang Tahunan MPR pada tanggal 16 Agustus 2021 yang lalu. Politikus Golkar tersebut mengatakan amandemen UUD 1945 hanya akan menambahkan kewenangan MPR menetapkan PPHN, dan tidak akan merembet ke pasal-pasal lainnya.
ADVERTISEMENT
Presiden Jokowi mengapresiasi MPR yang mengkaji PPHN lewat amandemen UUD 1945. "Agenda MPR untuk mengkaji substansi dan bentuk hukum Pokok-Pokok Haluan Negara juga perlu diapresiasi untuk melandasi pembangunan Indonesia yang berkelanjutan lintas kepemimpinan," kata Jokowi.
Beberapa Organisasi Kemasyarakatan, para akademisi dan peneliti juga turut mendukung wacana amandemen UUD 1945 ini.
Tetapi, alih-alih wacana yang terlihat bagus secara niat, teori dan logika, hal itu belum tentu sejalan dengan praktik pelaksanaannya. Apalagi jika merunut dari perjalanan Konstitusi Indonesia, awal kelahiran Undang-Undang Dasar 1945 itu dibuat bukan untuk benar-benar dipakai sebagai dasar negara, melainkan hanya sekadar formalitas prasyarat kemerdekaan Indonesia.
UUD 1945 dibuat oleh BPUPKI di akhir masa pendudukan Jepang. Jepang memerintahkan pembentukan itu karena merasa kalah dari sekutu, sehingga mereka harus sesegera mungkin melengkapi persyaratan kemerdekaan Indonesia, salah satunya adalah UUD 1945.
ADVERTISEMENT
Para pemimpin negara, sejatinya sejak awal telah mengkhianati Undang-Undang Dasar 1945. Pada masa Orde Lama, beberapa hari setelah merdeka, Indonesia mengangkat Perdana Menteri. Ada M. Sutan Syahrir, Amir Sjarifoedin, dan Mohammad Hatta. Itu jelas bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 yang baru saja dibuat.
Pada pasal BAB III Pasal 4 ayat 2 jelas tertulis “Dalam melakukan kewajibannya Presiden dibantu oleh satu orang Wakil Presiden”. Tidak ada satu pun pasal pada UUD 1945 yang menyatakan tentang Perdana Menteri. Presiden telah mengeluarkan peraturan dalam bentuk Penetapan Presiden. Yang hal itu tidak dikenal di UUD 1945.
MPRS dengan ketetapan No. I/MPRS/1960 telah menetapkan Pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1959 yang berjudul Penemuan Kembali Revolusi Kita (Manifesto Politik Republik Indonesia) sebagai GBHN tetap.
ADVERTISEMENT
Pimpinan lembaga-lembaga negara diberi kedudukan sebagai menteri-menteri negara. Yang berarti sejajar dengan pembantu Presiden.
Hak Budget tidak berjalan, karena setelah tahun 1960 Pemerintah tidak mengajukan RUU APBN untuk mendapat persetujuan DPR sebelum berlakunya tahun anggaran yang bersangkutan.
Pada tanggal 5 Maret 1960, lewat Penetapan Presiden No.3 tahun 1960, Presiden membubarkan anggota DPR hasil pemilihan umum 1955. Lalu lewat penetapan Presiden No.4 tahun 1960, tanggal 24 Juni 1960 dibentuklah DPR Gotong Royong (DPR-GR).
MPRS mengangkat Ir.Soekarno sebagai Presiden seumur hidup melalui ketetapan Nomor III/MPRS/1963.
Politik Luar Negeri RI yang bebas aktif yang tercantum dalam UUD 1945 juga diselewengkan menjadi politik poros-porosan, di mana Indonesia hanya menjalin kerja sama dengan Blok Negara Komunis dan memusuhi negara-negara Barat. Kemudian, Indonesia keluar dari PBB pada tanggal 19 September 1960.
ADVERTISEMENT
Pada masa Orde Baru juga banyak terjadi pelanggaran terhadap UUD 1945. Di antaranya, MPR berketetapan tidak berkehendak dan tidak akan melakukan perubahan terhadap UUD 1945 serta akan melaksanakannya secara murni dan konsekuen (Pasal 104 Ketetapan MPR NO. 1/MPR/1983 tentang tata tertib MPR).
Hal ini bertentangan dengan Pasal 3 UUD 1945 yang memberikan kewenangan kepada MPR untuk menetapkan UUD dan GBHN, serta Pasal 37 yang memberikan kewenangan kepada MPR untuk mengubah UUD 1945. MPR juga mengeluarkan Ketetapan MPR No. IV/MPR/1983 tentang referendum yang mengatur tata cara perubahan UUD yang tidak sesuai dengan Pasal 37 UUD 1945.
Adanya KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme), tidak adanya kebebasan berorganisasi dan Pers serta Pemilu yang pelaksanaannya tidak berasaskan 'Luber' dan 'Jurdil'.
ADVERTISEMENT
Dalam perjalanan sejarah, Konstitusi Indonesia telah mengalami beberapa kali pergantian baik nama, subtansi materi yang dikandungnya maupun masa berlakunya, beserta perubahan-perubahannya yakni dengan rincian sebagai berikut :
Undang-undang dasar 1945 (18 Agustus 1945-27 Desember 1949);
Konstitusi Republik Indonesia Serikat (27 Desember 1949-17 Agustus 1950);
Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950 (17 Agustus 1950-5Juli 1959);
Undang-undang Dasar 1945 (5 Juli 1959-19 Oktober 1999);
Undang-undang Dasar 1945 dan Perubahan I (19 Oktober 1999-18 Agustus 2000);
Undang-undang Dasar 1945 dan Perubahan I dan II (18 Agustus 2000-9 November 2001);
Undang-undang Dasar 1945 dan Perubahan I, II, dan III (9 November 2001 – 10 Agustus 2002);
Undang_undang Dasar 1945 dan perubahan I,II, III dan IV (10 Agustus 2002).
ADVERTISEMENT
Begitu juga dengan GBHN. Perjalanan GBHN hanya seusia penguasanya saja. Dibuat oleh penguasa saat itu, untuk kepentingan saat itu. Dilaksanakan sepanjang waktu kekuasaannya saja. Dan setelah masa kekuasaannya berakhir, berakhir pula GBHN. Sesuatu yang semula amat berharga dan penting pada era Orde Baru, menjadi hal yang dianggap buruk dan tidak sesuai zaman pada masa Orde Reformasi.
Sejarah selalu dibuat menurut versi pemenang dan penguasa. Begitu juga dengan Hukum dan Undang-Undang. Jika merunut jejak UUD 1945 dan GBHN, semua juga dibuat oleh dan untuk kepentingan penguasa saat itu, dan hampir selalu berubah ketika kekuasaan berganti.
Jika amandemen jadi dilakukan dengan memasukkan pasal PPHN, ternyata di kelak kemudian hari, misalnya, diketahui ternyata pembuatannya hanya untuk pengamanan kepentingan kekuasaan saat ini, atau ternyata tidak sesuai dengan situasi yang terjadi di kelak kemudian hari, maka sangat mungkin PPHN diubah atau diganti lagi juga.
ADVERTISEMENT

Jadi, menurut saya sebagai orang awam hukum dan politik, tidak ada pengaruh apa pun jika PPHN yang merupakan perubahan istilah dari GBHN dimasukkan pada Amandemen UUD 1945. Karena yang jauh lebih penting adalah pelaksanaannya daripada aturan-aturan yang telah begitu banyak dibuat kemudian direvisi, bahkan dikhianati.