Konten dari Pengguna

Berbagi Kebaikan Selalu Berbalas Kebaikan

Agus Sarkoro
Auditor KAP, Ketua DeWas Yayasan Al-Ikhlas Tarakan
7 September 2021 10:23 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Agus Sarkoro tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Bunga Wijaya Kusuma, sibol bunga yang penuh kebaikan (Sumber: Agus Sarkoro)
zoom-in-whitePerbesar
Bunga Wijaya Kusuma, sibol bunga yang penuh kebaikan (Sumber: Agus Sarkoro)
ADVERTISEMENT
Berbekal tekad yang kuat, Karso, pemuda asal Peniron, Kebumen, berangkat merantau ke Kalimantan. Menempuh perjalanan naik kereta api dari Stasiun Kebumen ke Surabaya. Sampai di Surabaya, ia harus menunggu jadwal pemberangkatan kapal menuju Kalimantan.
ADVERTISEMENT
Selama seminggu menunggu, Karso menginap di rumah Lik Pardi, pamannya yang kebetulan rumahnya di daerah Perak, tidak terlalu jauh dari pelabuhan pemberangkatan kapal. Perjalanan mengarungi lautan dilalui selama 3 hari. Sampailah ia di pelabuhan kota Balikpapan.
Sampai di Balikpapan, Karso bingung tidak tahu harus menuju ke mana. Turun dari kapal, ia duduk di teras pelabuhan. Tiga hari ia menggelandang di pelabuhan. Kekhawatiran mulai melanda perasaannya, seiring bekal yang sudah hampir habis.
Di tengah kebingungannya, ia beranjak keluar dari pelabuhan menyisir jalan di Kota Balikpapan, tanpa tahu ke mana arah hendak dituju. Yang ada dalam benaknya hanya tekad untuk mencari pekerjaan.
Setelah berjalan satu kilometer, Karso melihat beberapa orang sedang bekerja menggali lubang parit di tepi jalan. Ia berhenti sejenak, mengamati para pekerja itu. Ada sepuluh orang yang sedang asyik menggali tanah, dan satu orang yang berdiri mengawasi. Karso mendekati orang ini yang ia pikir pastilah ia mandor proyek itu.
ADVERTISEMENT
“Maaf, Pak, bolehkah saya ikut bekerja di sini?” dengan mengumpulkan segala nyalinya, Karso menawarkan diri untuk ikut bekerja.
Mendengar logat ngapak, logat khas bahasa jawa bagian barat, mandor itu seperti kaget dan menoleh ke arah Karso. Sejenak ia mengamati Karso. “Kamu siapa? Kamu dari mana?” tanya si Mandor.
“Nama saya Karso, Pak. Saya dari Kebumen, baru datang ke sini, merantau, mencari pekerjaan, Pak,” jawab Karso penuh semangat karena melihat reaksi sang mandor yang nampak antusias.
“Kamu di sini ikut siapa?” tanya mandor lagi.
“Nggak ikut siapa-siapa Pak,” jawab Karso polos.
“Nggak ada saudara di sini,“ tanya mandor lagi.
Mboten wonten Pak,” jawab Karso dalam bahasa jawa yang artinya tidak ada.
ADVERTISEMENT
“Ya sudah, kamu di sini saja. Nanti sore kamu ikut aku ke rumah. Besok kamu mulai kerja di sini,” kata sang Mandor.
Mendengar jawaban itu, hati Karso seperti tersambar petir. Rasa putus asa yang semula mulai merasuki hatinya seketika lenyap.
“Bener Pak? Terima kasih Pak," jawab Karso sambil menahan tangis bahagia.
Sejak hari itu, Karso tinggal di rumah Pak Bambang, pegawai Dinas Pekerjaan Umum yang ternyata juga asli Kebumen. Tiga bulan bekerja dan tinggal di rumah Pak Bambang, Karso mengurus syarat-syarat kelengkapan untuk menjadi pegawai Dinas Pekerjaan Umum. Waktu itu, untuk menjadi pegawai negeri, apalagi di luar pulau jawa sangat mudah. Cukup dengan Kartu Tanda Penduduk.
Setahun Karso bekerja, ia mendapat jatah rumah dinas. Meskipun sempit, rumah itu sangat cukup untuk tinggal seorang diri. Ia selalu rutin berkirim surat pada Ibunya yang tinggal di kampung. Keponakannya yang di masih di kampung, diajaknya menyusul ke Balikpapan.
ADVERTISEMENT
Ia ingat kebaikan Pakde Wira yang selalu menjaga Ibunya di kampung. Ia ingin membalas kebaikan Pakde-nya dengan mengajak Kalimun, anaknya menyusul ke Kalimantan. Ia juga mengajak Kardi, anaknya Lik Pardi yang telah menampungnya ketika hendak berangkat ke Kalimantan.
Karso ingat pesen Ibunya untuk selalu berbuat baik kepada siapa pun, membalas budi kepada orang yang telah berbuat baik padanya. Teruslah berbuat baik, karena kebaikan itu menular, begitu kata Ibunya yang selalu diingatnya.
Apalagi sekarang ia benar-benar merasakan kebaikan orang-orang yang mengantarkannya bisa menjadi pegawai. Sebuah status yang sangat diidam-idamkan oleh setiap pemuda masa itu.
Tak lama berselang, Kalimun, anak Pakde Wira, dan Kardi, anak Lik Pardi, menyusul ke Kalimantan. Kedua keponakannya dimasukkan Karso bekerja di tempatnya bekerja menjadi anak buahnya di kantor.
ADVERTISEMENT
***
Setelah 3 tahun bekerja, kehidupan Karso semakin membaik. Ia selalu mengirim surat, dan wesel untuk Ibu dan adik-adiknya di kampung. Surat terakhir ke Ibunya, Karso meminta izin untuk menikah dengan wanita yang telah memikat hatinya, Parni, nama gadis itu. Dari pernikahannya, Karso dikaruniai enam anak. Dua orang laki-laki dan empat orang perempuan.
Umur manusia hanya Tuhan yang tahu. Umur 47 tahun, ketika baru setahun Karso dipindah tugas ke Semarang, ia dipanggil menghadap yang Maha Kuasa. Ia meninggalkan 6 anak-anak yang masih kuliah dan sekolah. Parni, istrinya, harus pontang-panting mengatur gaji pensiunan suaminya untuk membiayai hidup dan sekolah anak-anaknya.
Merasa kasihan melihat Ibunya, Nani, anak kedua Karso, ingin segera bekerja untuk bisa membantu meringankan beban Ibunya. Berbekal ijazah D3 Gizi, ia membulatkan hati untuk berangkat ke Kalimantan, tempat ia dilahirkan.
ADVERTISEMENT
Rupanya, keberuntungan ayahnya menurun ke Nani. Baru seminggu di Balikpapan ia sudah diterima bekerja di sebuah Rumah Sakit. Setahun bekerja, Nani memutuskan menikah dengan laki-laki yang menjadi pujaan hatinya. Setelah lahir anaknya yang pertama, Nani memutuskan untuk berhenti bekerja, dan memilih fokus mengasuh anak dan membantu adik-adiknya.
Beruntung Nani punya suami yang berpenghasilan sangat cukup. Bersama Agus, suaminya, ia membantu Ibunya, menyekolahkan adik-adiknya sampai tuntas semua menjadi sarjana. Kakak dan adiknya ia kuliahkan sampai menjadi Notaris. Salah satu adiknya menjadi seorang akuntan.
Nani selalu mengingat pesan almarhum Pak Karso, ayahnya, yang selalu menceritakan perjalanan hidupnya yang selalu mendapat kebaikan orang, dan mewanti-wanti kepada semua saudaranya untuk selalu menebar kebaikan.

Tidak ada balasan lain dari kebaikan, selain kebaikan. Jadi teruslah berbuat baik, karena kebaikan itu menular. Balasan kebaikan tidak selalu dari orang orang yang kita beri kebaikan. Jika kebaikan itu kita tujukan kepada Tuhan, Dia-lah yang akan membalas kebaikan, dari mana pun datangnya, dari siapa pun asalnya.

Jika berkenan, silakan klik like dan tulis komentar.
ADVERTISEMENT