Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Kebohongan Hanya Berakibat Penderitaan, Maka Jujurlah
21 September 2021 20:45 WIB
Tulisan dari Agus Sarkoro tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Seperti biasa, setiap hari minggu acara rutin saya adalah pergi ke pasar besar di kota saya. Meskipun tidak selalu berbelanja kebutuhan dapur, tetapi pergi ke pasar di hari libur adalah kegemaran saya. Kadang hanya untuk beli jajan pasar, atau buah-buahan, atau membeli barang remeh-temeh yang tak terlalu penting. Atau hanya mengamati perilaku orang-orang di pasar.
ADVERTISEMENT
Dan setiap kali ke pasar, hal pertama yang saya nikmati adalah kesemrawutan. Meskipun sudah diatur lapak dagangannnya, para pedagang di pasar selalu saja tidak taat, dan selalu berusaha untuk menempatkan lapak dagangannya di daerah paling dekat dengan jalan atau pintu masuk ke pasar.
Suatu hari minggu,ketika saya hendak masuk ke pasar, ada pedagang mangga menggelar lapaknya tepat dipinggir pintu masuk. Ada dua keranjang buah mangga disamping tempat ia duduk, dan tepat ditempatnya duduk, satu karung manggnya dihamparkan di atas karung pembungkusnya.
“Mangga….mangga…Mangga manis Pak” Teriaknya menjajakan dagangan ke saya dengan cengkok khas Madura. Tiba-tiba, tumben, saya kok tergoda untuk membelinya. “Beneran manis Bik ?” tanya saya. “Beneran Pak. Ini manis Pak” jawab Ibu pedagang mangga tadi.
ADVERTISEMENT
“Berapa satu kilonya ?” Tanya saya lagi. “ Sepoloh ribu Pak” jawabnya. “Ya udah, beli tiga kilo Bik” kata saya tanpa menawar lagi. Laki-laki memang pantang menawar untuk hal-hal yang beginian. Ibu itu dengan sigap menimbang, memasukkan ke dalam kantong plasik, lantas menyerahkan pada saya sambil menerima uang 30 ribu.
Sampai di rumah, saya ambil satu biji mangga, dikupas, lalu dipotong-potong. Saya cicipi satu potong. Hueeeekkks……spotan muka saya berubah masam, semasam rasa buah mangganya. Meskipun warnanya kuning, tetapi rasanya kecut sekali.
Saya coba kupas satu buah lagi. Berharap ada perbedaan rasa dari buah mangga yang pertama. Hueeeeekkkkkkss…. Ternyata sama saja. Kecut. Waah, saya dibohongi.
***
Minggu berikutnya, saya ke pasar lagi. Saya cari Ibu penjual mangga yang telah membohongi saya itu. Persis di samping pintu masuk, Ibu itu masih seperti minggu lalu, menawarkan buah mangganya. “Mangga….mangga…..Mangga manis Pak”, teriak Ibu itu ke saya, sama seperti dia lakukan seminggu yang lalu.
ADVERTISEMENT
Langsung saya saya berhenti di depannya. “Bik…sampean membohongi saya. Minggu kemarin saya beli mangga disini, kata ibu mangga ini rasanya manis. Ternyata rasanya kecut sekali. Ibu bohong” kata saya memprotes kejadian minggu lalu.
“Bapak beli berapa kilo ?” Ibu penjual itu balik bertanya. Mendengar pertanyaan itu, saya berpikir, “Wah…bakal diganti rugi nih” . Langsung saya jawab “Saya beli tiga kilo Bik”
“Bapak baru dibohongi 3 kilo. Lha saya dibohongi 3 keranjang Pak. Gitu aja kok protes Pak” jawabnya dengan nada datar sambal menunduk memilah-milah mangga yang masih menggunung di lapaknya. Mungkin dia kesal juga dibohongi oleh penjual sebelumnya, hingga terpaksa ia harus melanjutkan kebohongan agar dagangannya laku.
Mendengar jawaban itu, saya hampir ketawa. Tapi buru-buru saya tahan. Saya merenung sejenak. Kalau ada beberapa pembeli seperti saya yang membeli hanya 3 kilo merasa tertipu, lantas marah, maka alangkah menderitanya Ibu ini. Tertipu 3 keranjang jelas itu sudah dirugikan. Resiko tidak laku, itu penderitaan kedua, di marahi pembeli yang kecewa seperti saya, jelas itu akan menjadi siksaan berikutnya. Timbul rasa iba di hati saya.
ADVERTISEMENT
“Bik, beli 10 kilo” kata saya. “Lhoh, katanya kecut Pak” jawab Ibu itu seolah memberi serangan balik atas keluhan saya sebelumnya. “Nggak papa, istri saya nitip di beliin untuk dibuat manisan” jawab saya berbohong.