Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
KTP Sebagai Alat Menjaga Nasionalisme pada Anak
9 Oktober 2021 11:40 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Agus Sarkoro tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Hari Jumat lalu saya begitu bersemangat menyambutnya. Sejak bangun tidur, mandi, sholat subuh sudah dengan perasaan yang antusias. Karena hari ini adalah hari yang menurut saya sangat bersejarah dalam perjalanan Kabier, anak saya yang bungsu.
ADVERTISEMENT
Pagi hari itu saya mengantarnya ke Dukcapil untuk mengurus KTP. Dia baru genap 17 tahun usianya satu bulan yang lalu. Dan baru hari ini dia hendak mengurus Kartu Tanda Penduduknya. Sejak semalam saya sudah sibuk mempersiapkan kelengkapan persyaratan seperti Kartu Keluarga dan Akte Kelahirannya.
Sebenarnya, mengurus KTP adalah hal yang biasa dilakukan oleh setiap orang ketika usianya menginjak 17 tahun yang ditetapkan oleh Undang-Undang sebagai batas umur untuk seseorang berhak memiliki Kartu Tanda Penduduk.
Tetapi, bagi saya, momen itu sangat spesial. Ia bukan sekadar sebuah proses administratif untuk mendapatkan selembar Kartu Tanda Penduduk. Pemberian Kartu Tanda Penduduk adalah sebuah peristiwa yang sangat penting, khususnya bagi anak saya. Karena saat itulah ia mulai diakui secara sah menurut hukum sebagai Penduduk Negara Republik Indonesia.
ADVERTISEMENT
Bagi saya, pemberian KTP oleh Dukcapil adalah sebuah penganugerahan negara kepada anak saya. Ia sekarang menjadi anak bangsa, menjadi bagian resmi dari sebuah negara yang sangat kita cintai bernama Indonesia. Karena itu, saya tidak bisa menyambutnya dengan biasa-biasa saja.
Saya dengan penuh semangat mengantar sendiri Dika ke Kantor Dukcapil, menemaninya antre untuk mengikuti tahapan pengajuan KTP, mulai dari mengambil nomor antrean, mengisi formuli, foto sampai mengambil hasil berupa selembar Kartu Tanda Penduduk.
Tidak hanya saya yang mengantar. Saya juga mengajak Ibunya untuk ikut. Saya ingin Ibunya menjadi orang pertama yang secara seremonial memberikan KTP kepada anak kami, sebagai simbol pengalihan status dari anak seorang Ibu Kandung kepada Ibu Pertiwi. Iya anak saya sekarang telah mempunyai dua orang Ibu. Ibu kandung dan Ibu Pertiwi.
Seremonial penyerahan KTP yang hanya disaksikan oleh kami bertiga, tetapi saya punya keyakinan bahwa ada Allah dan para malaikat yang menyaksikan prosesi itu. Karena itulah, saya menjadi sangat serius mengikuti proses peng-KTP-an anak saya. Bahkan seperti ada sebuah keharuan tersendiri yang saya rasakan.
ADVERTISEMENT
Dalam perjalanan pulang dari Kantor Dukcapil, sepanjang perjalanan saya memberikan tausiyah, wejangan atau motivasi kepada anak saya, tentang betapa pentingnya KTP itu layaknya Bapak Prabowo Subianto yang sedang memberikan sambutan pada saat pembukaan Komando Cadangan Bela Negara. Karena bagi saya, sekali lagi, KTP hanya sekedar pelengkap persyaratan membuat SIM dan rekening tabungan saja.
KTP mengandung makna tanggung jawab kepada negara yang harus dipikul dan disadari oleh seluruh pemiliknya sejak kartu itu terbitkan. Apapun profesi yang dinantinya akan ia jalankan, ia harus mengingat bahwa semua itu diperuntukkan sebagai pengabdian kepada negara. Karena itu, ia tidak boleh melakukan hal-hal yang berlawanan atau dilarang oleh negara. Jika kelak ia menjadi pejabat, ia tidak boleh korupsi.
ADVERTISEMENT
Setelah pulang dari Kantor Dukcapil, saya dan Dika, berangkat salat Jumat. Ini juga masih dalam rangkaian penganugerahan Kartu Tanda Penduduk. Selama perjalanan ke masjid, saya masih melanjutkan tausiah kepada anak saya itu.
Salat Jumat kali ini pun menjadi istimewa dibandingkan dengan salat Jumat sebelumnya. Kami sengaja memilih masjid yang kami anggap paling tepat untuk menyampaikan permohonan kepada Allah di hari spesial ini. Biasanya kami salat Jumat di masjid dekat rumah, yang cukup berjalan kaki 5 menit sudah sampai.
Kali ini kami memilih masjid terbesar di kota kami, yang jaraknya 5 kilometer dari rumah. Di situlah kami bermunajat, memanjatkan doa dan rasa syukur kami telah resmi menjadi Warga Negara Republik Indonesia, diikuti segala rentetan doa dan harapan agar kehidupan kami bisa berguna bagi negeri kami.
ADVERTISEMENT
Setelah salat Jumat, rangkaian prosesi peng-KTP-an anak saya belum selesai. Ibunya menyiapkan bubur merah putih sebagai tanda janji setia kepada negeri tercinta. Sebenarnya buburnya tidak berwarna merah putih, terapi berwarna coklat dari gula kelapa, dan putih dari bubur nasi.
Bubur merah putih ini memiliki makna merah yang berarti berani dan putih yang berarti benar atau suci. Ada makna lain dari bubur merah putih merupakan simbol kehidupan baru, karena bubur adalah makanan pertama yang dikonsumsi bayi setelah asi.
Jadi bubur merah putih yang istri saya buat untuk anaknya bermakna anaknya menempuh kehidupan baru sebagai seorang yang resmi menjadi penduduk Republik Indonesia, dan harapan kelak menjadi orang yang berani membela kebenaran, dan menjadi pembela merah putih atau Indonesia. Selain itu juga, bubur merah putih disimbolkan sebagai permohonan agar terhindar dari segala mara bahaya dan derita.
ADVERTISEMENT
Dan sebelum istri saya menyuapkan bubur merah putih kepada anaknya, saya minta Dika menyuarakan dengan keras teks Pancasila untuk menguji apakah anak saya itu hafal Pancasila. Setelah dibacakan Pancasila dengan lancar, barulah suapan bubur diberikan ibunya sebagai penutup dari prosesi peng-KTP-an anak saya.
***
Saya kemudian berpikir, seandainya menghafal Pancasila dijadikan syarat untuk mengurus KTP bagi seluruh penduduk Indonesia, mungkin itu bisa menjadi terobosan baru dalam upaya dari menjaga idealisme negara dan cara untuk terus menanamkan sila-sila dari dasar negara kita. Toh, itu bukan sebuah syarat yang berat, tetapi memiliki makna yang dalam.