Lebih Baik Mana, Amandemen UUD 1945 Tentang PPHN atau Nambah Utang?

Agus Sarkoro
Auditor KAP, Ketua DeWas Yayasan Al-Ikhlas Tarakan
Konten dari Pengguna
20 Agustus 2021 19:07 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Agus Sarkoro tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Amandemen UUD 1945 Untuk Kepentingan Mega Proyek (Sumber Ilustrasi: Agus Sarkoro)
zoom-in-whitePerbesar
Amandemen UUD 1945 Untuk Kepentingan Mega Proyek (Sumber Ilustrasi: Agus Sarkoro)
ADVERTISEMENT
Wacana reformulasi sistem perencanaan pembangun nasional model GBHN mendapat respons dari berbagai lapisan masyarakat. Dorongan terhadap gagasan itu juga datang dari beberapa Organisasi Kemasyarakatan serta Lembaga Penelitian.
ADVERTISEMENT
Gagasan tersebut juga telah direkomendasikan MPR periode 2009-2014. Kemudian ditindaklanjuti MPR periode 2014-2019 dengan memunculkan gagasan melakukan amendemen konstitusi terbatas, yaitu dengan mengembalikan wewenang MPR untuk menetapkan pedoman pembangunan nasional model GBHN, yang dalam rekomendasi MPR 2014-2019 disebut dengan nomenklatur Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN).
"PPHN akan menjadi landasan setiap rencana strategis pemerintah seperti pemindahan Ibu Kota Negara dari Provinsi DKI Jakarta ke Provinsi Kalimantan Timur, pembangunan infrastruktur tol laut, tol langit, koneksitas antar wilayah, dan rencana pembangunan strategis lainnya," kata Bamsoet.
Bambang mengatakan PPHN akan menjadi payung ideologi dan konstitusional dalam penyusunan Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, Rencana Pembangunan Jangka Panjang, dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah yang bersifat lebih teknokratis.
Presiden Jokowi mengapresiasi MPR yang mengkaji PPHN lewat amandemen UUD 1945. "Agenda MPR untuk mengkaji substansi dan bentuk hukum Pokok-pokok Haluan Negara juga perlu diapresiasi untuk melandasi pembangunan Indonesia yang berkelanjutan lintas kepemimpinan," kata Jokowi.
ADVERTISEMENT
Menurut saya sebagai orang awam hukum dan politik, tidak ada pengaruh apa pun jika PPHN yang merupakan perubahan istilah dari GBHN dimasukkan pada Amandemen UUD 1945. Karena yang jauh lebih penting adalah pelaksanaanya katimbang aturan-aturan yang telah begitu banyak dibuat dan direvisi.
Sebenarnya, tanpa membuat amandemen untuk memasukkan PPHN ke dalam pasal 3 UUD 1945, jumlah utang negara yang begitu besar yang mengakibatkan pemerintahan selanjutnya harus bertanggung jawab membayar angsuran pokok dan bunga utang yang dibuat oleh pemerintahan sekarang dan sebelumnya, sejatinya sudah menjadi PPHN yang akan menjadi pertimbangan setiap kebijakan yang akan di ambil oleh pemerintahan berikutnya.
Bank Indonesia (BI) melaporkan Utang Luar Negeri per akhir Mei 2021 adalah USD 415 miliar. Dengan asumsi USD 1 setara dengan Rp 14.503 seperti kurs tengah BI kemarin, maka jumlah itu adalah Rp 6.018.74 triliun.
ADVERTISEMENT
Pemerintah harus memenuhi pembayaran bunga utang dalam RAPBN 2022 sebesar Rp 405,87 triliun. Angka tersebut naik 10,8% dari outlook APBN 2021 yang sebesar Rp 366,2 triliun.
Dalam Buku Nota Keuangan RAPBN 2022 dijelaskan, program pengelolaan utang negara pada RAPBN 2022 terdiri atas pembayaran bunga utang dalam negeri sebesar Rp 393,7 triliun dan Rp 12,2 triliun untuk pembayaran bunga utang luar negeri.
Pada tahun 2021, rasio utang terhadap PDB menembus level psikologis baru mencapai angka 41,35 persen. Angka tersebut menjadi rasio utang tertinggi sepanjang kepemimpinan Jokowi, namun dengan catatan belum memperhitungkan rasio utang pada 2021 di akhir tahun mendatang. Angka tersebut masih jauh dari ketentuan batas maksimal utang yang diperbolehkan sebesar 60% terhadap PDB.
ADVERTISEMENT
Terlepas dari validitas angka-angka di atas, dengan berapa pun posisi utang saat ini, secara otomatis akan menjadi tanggung jawab bagi pemerintahan selanjutnya untuk membayar angsuran pokok dan bunga dari perjanjian utang yang dilakukan oleh pemerintahan sekarang.
Jadi, daripada membuat amandemen dan memasukkan Pokok-pokok Haluan Negara ke dalam Pasal 3 Undang-Undang Dasar 1945, menurut saya, menambah jumlah utang negara akan menjadi cara yang lebih efektif, sehingga pemerintahan selanjutnya tinggal membayar kebijakan pemerintahan sekarang.
Bahkan, jika perlu, berutang sampai batas maksimal 60% terhadap PDB, sampai pemerintahan berikutnya tak bisa lagi untuk menambah utang baru.
Bukankah tujuan PPHN adalah untuk “membelenggu” arah kebijakan pemerintahan berikutnya agar berkesinambungan dengan kebijakan yang sudah dibuat oleh pemerintahan sekarang? Sama persis dengan utang negara yang tinggi yang bisa mencapai batas tertinggi yang di diperbolehkan oleh Undang-Undang yang pembayaran angsuran pokok dan bunganya akan menjadi belenggu yang dikalungkan kepada pemerintahan berikutnya.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, daripada menghabiskan anggaran untuk membuat Pokok-Pokok Haluan Negara, lebih baik pemerintah dan DPR segera merealisasikan rencana pemindahan ibu kota. DPR dan eksekutif segera merumuskan dan melakukan perjanjian kerja sama dengan para investor, dan menambah utang untuk pembangunannya.
Demikian juga dengan rencana proyek tol laut, pengembangan tol langit, dan pembangunan koneksitas antar wilayah. Semua rencana dan tahap awal pembangunannya diselesaikan di masa pemerintahan sekarang.
Jika hal tersebut bisa dilaksanakan, itu akan akan menjadi legacy yang jelas dari pemerintahan Jokowi untuk pemerintahan selanjutnya. Sehingga fokus pemerintahan selanjutnya menjadi lebih mudah, jelas, dan tidak neko-neko. Tinggal mikir bayar utang.
Para calon presiden berikutnya juga bisa mempersiapkan diri dengan lebih baik. Selain berpikir keras mencari solusi untuk tepat waktu membayar pokok angsuran dan bunga juga membuat terobosan-terobosan baru untuk mencari cara meningkatkan APBN agar rencana pembangunan yang dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang bisa tercapai dengan tanpa mengganggu anggaran bayar utang.
ADVERTISEMENT
Rasanya, strategi politik dan ekonomi yang kurang tepat di periode pertama pemerintahan Jokowi dan badai COVID-19 di periode keduanya telah meluluhlantakkan perekonomian kita. Sementara, menambah utang hanya untuk kebutuhan mengatasi pandemi tanpa ada rencana proyek besar yang mempunyai nilai strategis hampir sebuah kemustahilan.
Jadi, menambah utang untuk membiayai mega proyek yang sudah direncanakan adalah satu-satunya jalan keluar agar ekonomi tidak semakin hancur. Saya yakin, pemikiran awam dan ide gila saya ini, mau tidak mau akan dilaksanakan.