Konten dari Pengguna

Hilangnya Dominasi Indonesia dan China dalam Perbulutangkisan Dunia

Agus Siswanto
Guru Sejarah SMAN 5 Magelang.
18 Juni 2022 15:16 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Agus Siswanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ginting kembali gagal balas dendam atas Axelsen (sumber: kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ginting kembali gagal balas dendam atas Axelsen (sumber: kumparan)
ADVERTISEMENT
Pada saat periode Perang Dingin berlangsung di dunia (1945 – 1990-an) dunia mengenal istilah ‘bipolarisasi’. Istilah ini secara sederhana dapat diartikan dengan terbaginya dunia pada dua kutub yang saling bermusuhan. Kutub tersebut selanjutnya disebut blok, Amerika Serikat dan Uni Sovyet. Kondisi ini memaksa setiap negara harus mengakui hegemoni salah satu dari kedua negara tersebut.
ADVERTISEMENT
Kondisi ini pun pernah terjadi di dunia bulu tangkis. Pada saat itu kekuatan bulu tangkis dunia terbagi pada dua kutub yang berseberangan, Indonesia dan China. Pebulu tangkis dari kedua negara ini mendominasi hampir di setiap kejuaraan yang dihelat. Kehadiran pebulu tangkis kedua negara, menjadi momok bagi siapa pun.
Kehebatan pebulu tangkis keduanya pada akhirnya mempertemukan keduanya pada babak final sebuah kejuaraan. Posisi saling mengalahkan, menjadi pemandangan sehari-hari, sehingga terkesan pemilik arena hanya dua negara tersebut, Indonesia dan China. Kalaupun ada sedikit selingan, paling muncul dari Denmark, Malaysia, Jepang, dan India.
Sejalan dengan perkembangan zaman, cabang olah raga bulu tangkis pun mulai tertarik untuk dipertandingkan di ajang Olimpiade. Konsekuensi dari keinginan ini adalah cabang olah raga bulu tangkis harus menyebar di banyak negara, tidak hanya ada di beberapa negara tertentu saja.
ADVERTISEMENT
Dampak dari keharusan ini ternyata sangat luar biasa. Sejak saat itu mulai bermunculan raksasa-raksasa baru di perbulutangkisan dunia. Bahkan raksasa-raksasa baru itu muncul dari negara-negara yang tidak mempunyai sejarah bulu tangkis sama sekali. Contoh yang paling kentara adalah tampilnya Thailand sebagai raksasa baru.
Tidak dapat dimungkiri negara Gajah Putih ini terhitung mempunyai kekuatan yang imbang di semua lini. Dibandingkan dengan Malaysia, negara yang lebih dahulu mengenal bulu tangkis, kekuatan Thailand dan Cina Taipei lebih merata di sektor putra dan putri. Prestasi mereka pun sangat mendunia, dan diperhitungkan oleh pemain dari negara mana pun, termasuk Indonesia.
Jika dilihat dari nomor individu, raksasa-raksasa bulu tangkis yang lahir lebih banyak lagi. Siapa sangka bahwa Spanyol, sebuah negara yang identik dengan sepak bola dan olah raga bermotor mempunyai jagoan juga, Carolina Marin. Bahkan seorang Cordon dari Guatemala pernah menjadi kejutan saat menjadi semi finalis Olimpiade Tokyo 2020.
ADVERTISEMENT
Melihat situasi semacam ini maka tiada cara lain bagi para raksasa lama bulu tangkis dunia, Indonesia dan Cina untuk berbenah. Tingkat persaingan yang begitu ketat, membuat nama besar mereka tidak lagi menjadi jaminan untuk berjaya di sebuah kejuaraan. Lihat saja di Indonesia Open 2022, wakil Indonesia yang menjadi tuan rumah harus rontok di babak perempat final.
Namun ada satu sisi yang menarik dengan pesatnya perkembangan perbulutangkisan dunia. Sisi itu adalah peran para pelatih Indonesia yang melanglang buana. Mereka mempunyai andil yang sangat besar atas prestasi-prestasi para raksasa baru tersebut. Seperti yang terakhir kita saksikan seorang Rexy Mainaki berdiri di belakang para pasangan ganda putra Malaysia.
Berkaca dari semua itu, tidak ada salahnya jika kita pun harus mampu ‘mencuri’ resep-resep rahasia para raksasa baru, sehingga mampu melahirkan ‘momok-momok’ baru di dunia bulu tangkis.
ADVERTISEMENT
Lembah Tidar, 18 Juni 2022