Wedangan dan Ruang Publik

Agus Triyono
Dosen Ilmu komunikasi Universitas Muhammadiyah Surakarta, praktisi dan pendamping pengembangan desa wisata
Konten dari Pengguna
27 Agustus 2023 5:52 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Agus Triyono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Penulis (kanan) bersama dengan Don Hasman disalah satu wedangan di Kota Solo.
zoom-in-whitePerbesar
Penulis (kanan) bersama dengan Don Hasman disalah satu wedangan di Kota Solo.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Bagi masyarakat Jawa, wedangan adalah bagian tidak terlepaskan dalam kehidupan sehari-hari. Wedangan, kadang ada yang menyebutnya HIK, ataupun angkringan adalah sebuah tempat makan sederhana yang dapat kita temui di setiap sisi kota dengan gerobak sebagai media utama untuk menyajikan sekaligus menjadi meja makan.
ADVERTISEMENT
Secara istilah, kata wedangan berasal dari kata wedang yang artinya adalah minuman. Orang bisa memilih berbagai pilihan minuman seperti teh, jeruk atupun jahe. Varian minuman ini pun berkembang, mulai dari teh kampul, jeruk kencur jahe, dan lain-lain.
Tidak hanya itu, dari aspek makanan, wedangan tidak bisa dilepaskan dengan sajian sego kucing, yakni sebungkus nasi bandeng yang dilengkapi dengan sambal. Entah sejak kapan istilah sego kucing tersebut muncul, yang jelas istilah tersebut merujuk pada dua hal yakni bandeng sebagai makanan kucing serta porsi nya yang sedikit. Sajian pelengkapnya adalah berbagai gorengan seperti mendoan, bacem, bakwan, dan lain-lain.
Dari sisi harga, seorang pembeli tidak merogoh kantong terlalu dalam untuk membelinya. Biasanya, dengan uang 10 ribu, maka seseorang sudah bisa menikmati makanan, lengkap dengan lauk dan minuman. Tak pelak, wedangan menjadi tempat favorit bagi masyarakat untuk mengisi perutnya dan melekat dalam aktivitas sehari-hari masyarakat.
ADVERTISEMENT

Ruang Publik

Ilustrasi nasi kucing. Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
Biasanya, sebuah warung makan terdiri dari meja-meja kecil, di mana satu pengunjung dengan pengunjung yang lain saling terpisah. Konsep yang demikian membuat proses komunikasi hanya terjadi pada mereka yang berada dalam satu meja dan tidak membuka kemungkinan interaksi antar meja. Dengan demikian, keterikatan yang terbentuk karena didasarkan pada kesetaraan sulit terwujud.
Jika dikaji lebih mendalam, wedangan pada dasarnya lebih dari sekadar warung untuk sekadar menikmati makanan dan minuman. Sebagai masyarakat yang gemar hidup berkelompok dan dibangun berdasarkan konsep guyub, wedangan sebenarnya merupakan salah satu ruang publik bagi masyarakat.
Hal ini karena, dalam sebuah warung wedangan berbagai kelompok masyarakat dengan latar belakang berbeda bisa berkumpul dan membuka obrolan dengan topik yang beragam tema tanpa ada sekat didalamnya.
ADVERTISEMENT
Dengan berkumpulnya masyarakat yang heterogen tersebut berimplikasi pada tema obrolan yang sangat beragam, mulai dari obrolan politik, budaya, ekonomi, bahkan undangan nikah yang berduyun-duyun datang menjelang Suro pun tak terhindarkan.
Semua topik tersebut dibicarakan dengan bebas, tidak ada pemandunya, hanya sesekali ada pemantik obrolan yang bisa diperankan oleh siapa saja. Masing-masing bebas menuangkan gagasannya dalam obrolan yang mengalir tersebut. Alhasil, bukan hanya perut kenyang yang didapat, namun tambahan pengetahuan baru tentunya.

Distorsi Fungsi

Potret sejumlah angkringan di Kota Yogyakarta, Sabtu (16/7/2022). Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
Namun demikian, saat ini bermunculan warung wedangan dengan wajah baru, dengan sajian menu yang lebih lengkap, tempat yang lebih “mewah” meskipun tetap menawarkan konsep tradisional. Harga yang ditawarkan pun cenderung lebih mahal dibanding wedangan pada umumnya.
ADVERTISEMENT
Wedangan jenis ini memang menyasar pada masyarakat kelas tertentu yang hanya sekadar berkumpul bersama keluarga ataupun kolega namun tetap ingin mendapatkan kesan tradisional.
Jangan berharap pada diskusi dan interaksi terbuka antar pengunjung bahkan dengan dengan penjualnya. Akhirnya wedangan mengalami distorsi fungsi dari ruang publik yang membuka kesempatan berinteraksi tanpa sekat menjadi sekadar tempat untuk berbincang dan melepas penat.
Kehadiran wedangan dengan menu sekadarnya, harga yang merakyat memberikan makna bahwa tidak ada yang istimewa dari sajian di wedangan. Segala sajian tersedia apa adanya, terbuka, blak-blakan serta tidak ada yang disembunyikan. Keramahan interaksi, diskusi terbuka yang terbangun serta suasana yang hangat pun tercipta dengan sangat alami menjadi penciri yang tidak bisa lepas di warung wedangan.
ADVERTISEMENT